TERGUSURNYA
JALUR PURWODADI – BLORA
Keberadaan jalur kereta api lintas
Grobogan belakangan ini menarik perhatian saya. Kabupaten yang berjarak kurang
lebih 50 kilometer arah utara Kota Solo ini ternyata pernah dilewati dua jalur
kereta api sekaligus, yakni jalur kereta api milik NIS dan jalur kereta api
milik SJS. Sungguh istimewa memang mengingat Grobogan bukanlah kabupaten yang
besar dan bukan pula pusat perdagangan dimasa itu. Melaui beberapa referensi
saya mencoba menggali informasi mengenai hal tersebut.
Menurut informasi yang saya peroleh
jalur kereta api lintas Demak – Grobogan - Blora dibangun oleh salah satu
perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda kala itu yang bernama SJS atau Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij.
Perusahaan ini dulunya membangun jalur kereta api di wilayah Jawa Tengah dan
sebagian Jawa Timur dengan daerah operasi di sekitar Semarang seperti Kabupaten
Demak, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang, Kabupaten Jepara,
sebagian di Kabupaten Blora, sebagian di Kabupaten Grobogan, sebagian di
Kabupaten Bojonegoro, dan sebagian di Kabupaten Tuban. Total jalur yang pernah
dibangun oleh SJS mencapai 417 kilometer. Pembangunan jalur tersebut dilakukan
sekitar akhir abad 18 hingga awal abad 19.
Pembangunan jalur kereta api oleh Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij
dilatar belakangi oleh banyaknya komoditi perdagangan yang dihasilkan oleh
wilayah diatas seperti komoditi gula, kapuk, kayu jati, tras dan bahan bangunan
lainnya. Selain itu belum adanya alat transportasi masal diwilayah tersebut
juga menjadi alasan dibangunnya jalur tersebut. Diawal abad 19 jalur tersebut
ramai oleh kereta lokal yang mengantarkan warga bepergian dari Kabupaten Demak
hingga Kabupaten Blora. Seiring dengan berjalannya waktu kereta api mulai
ditinggalkan karena kecepatannya yang lambat dibandingkan dengan bus dan moda
transportasi lain.
Sepinya jalur kereta api yang
menghubungkan wilayah Kabupaten Demak hingga Kabupaten Blora membuat pemerintah
harus menutup jalur tersebut ditahun 1987. Sejarahnya yang panjang serta sisa-sisa
jalur peninggalan SJS di Kabupaten Grobogan ini lah yang menarik saya untuk
mencari tahu jejak keberadaan jalur tersebut.
Peta Jalur
Kereta Api di Demak hingga Blora Tahun 1913
Sumber: kitlv.nl
Blusukan saya kali ini saya lakukan
pada hari Sabtu 3 Januari 2015. Ini adalah blusukan pertama saya di tahun 2015.
Perjalanan saya mulai dari Kota Solo pada pukul 6 pagi. Rute yang saya ambil
adalah rute dari Solo – Gemolong (Kabupaten Sragen) – Grobogan kurang lebih
sejauh 50 kilometer. Diperjalanan saya juga menyempatkan diri untuk mampir
dibeberapa stasiun yang kebetulan saya lewati. Bergerak kearah utara saya
melaju menuju Gemolong. Sebelum masuk wilayah Gemolong saya sempat mampir di Stasiun
Kalioso yang masuk dalam wilayah Kabupaten Karanganyar.
Setibanya
di Stasiun Kalioso hanya suasana sepi yang nampak. Tidak ada aktivitas yang
berarti di stasiun ini. Hal ini terjadi karena stasiun ini memang sudah tidak
melayani perjalanan kereta api regular. Kemudian perjalanan saya lanjutkan ke
utara menuju Gemolong. Di jalur ini terdapat dua stasiun yang masuk dalam
wilayah Kabupaten Sragen yaitu Stasiun Salem dan Stasiun Sumberlawang. Dari dua
stasiun tersebut hanya Stasiun Salem saja yang masih melayani perjalanan kereta
api.
Stasiun Kalioso
Stasiun Salem
Stasiun
Sumberlawang
Selepas
dari wilayah Sumberlawang perjalanan saya mulai memasuki wilayah Kabupaten
Grobogan. Kurang lebih 15 kilometer perjalanan, akhirnya saya tiba di wilayah
Gundih. Disini berdiri Stasiun Gundih yang ukurannya cukup besar. Disini pula
terdapat titik percabangan jalur kereta api menuju ke Semarang dan ke Kabupaten
Grobogan. Di Stasiun Gundih ini dulunya terdapat banguan dipo lokomotif yang
ukuran lumayan besar. Akan tetapi sayang, bangunan dipo tersebut sekarang sudah
tidak terpakai dan kondisinya tak terawat, bahkan kesan angker pun sangat
kental terasa.
Stasiun
Gundih adalah stasiun besar dimasanya. Hal ini bisa dilihat dari ukuran
bangunan stasiun dan fasilitas pendukung yang ada disana. Hal ini dikarenakan
wilayah Gundih adalah kawasan yang kaya akan hasil hutan seperti kayu. Di
bagian barat stasiun, saya masih bisa menjumpai bangunan rumah dinas kepala
stasiun yang beberapa diantaranya masih dimanfaatkan sebagai tempat tinggal dan
bangunan menara air yang dulu digunakan untuk mensuplai air untuk
lokomotif-lokomotif yang singgah disana. Disebelah selatan bangunan stasiun
terdapat sebuah bangunan gudang yang sudah tidak terpakai dengan kondisi yang
sangat memprihatinkan. Sementara itu dibagian emplasemen timur stasiun
terparkir beberapa gerbong bekas berkarat yang sudah lama tidak difungsikan.
Stasiun Gundih
Stasiun Gundih
Tahun 1910
Sumber: Tropen
Museum
Bekas Bangunan
Dipo Stasiun Gundih
Perjalanan
saya lanjutkan kearah pusat Kota Purwodadi. Sebelum memasuki pusat kota, saya
sempat melewati Stasiun Ngrombo yang berada di sebelah kiri jalan. Menurut
informasi yang saya peroleh, di stasiun ini lah dulunya terdapat jalur
percabangan kereta dengan Stasiun Purwodadi. Dari titik inilah blusukan saya
mencari jejak jalur kereta api sepanjang Grobogan – Blora dimulai.
Stasiun Ngrombo
Beranjak
dari Stasiun Ngrombo perjalanan saya lanjutkan kearah Simpang Lima Purwodadi.
Selama diperjalanan menuju Simpang Lima, saya menemukan beberapa petunjuk
mengenai keberaadaan jalur kereta api. Menurut pengamatan saya percabangan
jalur kereta dari Stasiun Ngrombo berada di sebelah kiri jalan dan kemudian
memotong jalan raya berpindah kesebelah kanan jalan menuju Simpang Lima. Asumsi
ini saya dasarkan pada bekas jalur rel kereta api yang berpotongan dengan jalan
raya yang saya temukan.
Disepanjang
jalur tersebut saya masih menjumpai beberapa potongan besi rel kereta api dan
beberapa tiang listrik yang menggunakan besi bekas dari rel kereta. Beberaa
patok milik PT. KAI pun juga tertancap dilokasi tersebut. Terus berjalan
mengikuti bekas jalur kereta, akhirnya perjalanan saya tiba di lapangan Simpang
Lima Purwodadi. Di tengah lapangan Simpang Lima terdapat dua garis lurus
sejajar yang terbuat dari semen mengarah kearah Pasar Purwodadi. Menurut
informasi yang saya peroleh, sepasang garis tersebut adalah bekas jalur kereta
menuju Stasiun Purwodadi yang memang sengaja dibuat sebagai penanda.
Perjalananpun kemudian saya lanjutkan mencari keberadaan Stasiun Purwodadi yang
menurut informasi berada di area Pasar Purwodadi.
Bekas Jalur
Kereta dari Stasiun Ngrombo
Bekas Jalur
Kereta Menuju Simpang Lima
Cukup membingungkan ternyata mencari
bekas lokasi Stasiun Purwodadi. Banyaknya percabangan jalan dari Simpang Lima
serta jalan searah membuat saya harus tersesat beberapa kali. Bahkan saya harus
bertanya kepada beberapa orang warga untuk bisa menemukan lokasi Pasar
Purwodadi.
Selang kemudian saya berhasil
menemukan lokasi Pasar Purwodadi. Salah satu tanda yang bisa dijadikan petunjuk
mengenai keberadaan bekas Stasiun Purwodadi adalah plang milik PT. KAI yang
tertancap di samping jalan raya. Dibelakang plang tersebut terdapat sebuah
bangunan besar berkerangka besi yang kini digunakan sebagai terminal angkot.
Perkiraan saya, itulah bangunan bekas Stasiun Purwodadi yang saya cari.
Stasiun
Purwodadi didirikan pada tahun 1884 oleh SJS atau Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij. Dahulu stasiun ini
terhubung dengan jalur menuju Stasiun Ngrombo, Stasiun Godong, dan Stasiun
Wirosari. Stasiun ini resmi ditutup pada tahun 1980 karena sepinya penumpang
dan kalah bersaing dengan moda transportasi jalan raya. Saat ini kondisi
bangunan stasiun masih tampak megah dengan besi-besinya yang masih kokoh.
Bekas Jalur
Kereta di Simpang Lima Purwodadi
Sumber: ajarkonmuter.wordpress.com
Perkiraan
Stasiun Purwodadi Tempo Dulu
Sumber: kitlv.nl
Bekas Bangunan
Stasiun Purwodadi
Beranjak
dari Stasiun Purwodadi perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Godong yang
masih terletak di Kabupaten Grobogan. Stasiun ini terletak di jalur menuju
Kabupaten Demak. Cukup jauh memang jarak antara Stasiun Purwodadi dengan
Stasiun Godong. Dulu diantara kedua stasiun tersebut berdiri beberapa halte
kereta diantaranya Halte Nglejok, Halte Cekok, dan Halte Mulungan. Menurut
informasi yang saya dapatkan semua bangunan halte tersebut kini sudah tidak
tersisa karena telah dirobohkan.
Selama diperjalanan hanya sedikit
sisa keberadaan jalur kereta api yang bisa saya temukan. Beberapa jejak
tersebut diantaranya adalah gundukan tanah bekas jalur kereta,
potongan-potongan rel besi, bantalan kayu rel kereta serta pondasi jembatan
kereta. Jalur kereta api dari Stasiun Purwodadi menuju Stasiun Godong terletak
disebelah kanan jalan atau disisi utara jalan raya.
Kurang
lebih 30 menit perjalanan, akhirnya saya tiba di daerah Godong. Disana saya
melihat sebuah bekas tiang sinyal kereta api tepat berdiri di depan dealer motor milik warga. Sesampainya di
Pasar Godong akhirnya saya berhasil menemukan bekas bangunan stasiun yang kini
dimanfaatkan sebagai kios buah. Bangunan asli Stasiun Godong hampir
keseluruhannya terbuat dari kayu. Jika kita tidak teliti, mungkin kita tidak
akan menyadari jika bangunan kayu yang berada tepat didepan Pasar Godong
tersebut adalah bekas bangunan stasiun. Kondisi emplasemen stasiun memang sudah
sangat sulit dikenali karena banyaknya penambahan bangunan baru. Dibagian
belakang stasiun kini dimanfaatkan sebagai lahan parkir bus antar kota.
Bekas Jalur
Kereta Menuju Godong
Bekas Sinyal
Masuk Stasiun Godong
Bekas Bangunan
Stasiun Godong
Stasiun
Godong didirikan oleh SJS atau Samarang-Joana
Stoomtram Maatschappij pada tahun 1888. Stasiun ini dulunya melayani
perjalanan kereta api hingga ke Demak. Pada tahun 1987 stasiun ini resmi
ditutup oleh pemerintah karena kalah bersaing dengan moda transportasi berbasis
jalan raya.
Beranjak
dari Stasiun Godong perjalanan saya lanjutkan kembali menuju Simpang Lima
Purwodadi. Kali ini perjalanan saya lanjutkan menuju Kabupaten Blora. Menurut
beberapa referensi yang saya peroleh, dahulu jalur kereta api yang
menghubungkan Purwodadi dan Blora memiliki beberapa bangunan stasiun dan halte,
diantaranya adalah: Halte Mayahan, Halte Jono, Halte Ngantru, Halte sambirejo,
Stasiun Wirosari, Halte Pengkol, Halte Truwolu, Halte Ngaringan, Halte Ngariang
Pasar, Stasiun Kunduran, Halte Brengus, Halte Klokan, Halte Trembul, Stasiun
Ngawen, Halte Kembang, Halte Sembong, Halte Tutup, Halte Blora Pasar, dan
Stasiun Blora.
Petunjuk Arah
Menuju Blora
Tujuan
saya selanjutnya adalah menuju Wirosari untuk mencari keberadaan bekas Stasiun
Wirosari. Posisi bekas jalur kereta menuju Wirosari tepat berada di sebelah
kanan jalan raya. Hal ini cukup menyulitkan saya untuk menemukan bekas jalur
kereta karena posisi saya yang berada disebelah kiri jalan raya. Selama
perjalanan menuju Wirosari hanya sedikit bekas jalur kereta yang bisa saya
temui. Sebagian bekas rel telah hilang dan tertimbun jalan raya akibat
pelebaran jalan. Dibeberapa titik saya juga menemukan bekas rel yang dijadikan
tiang listrik oleh masyarakat.
Sebelum
memasuki wilayah Wirosari saya sempat menemukan bekas rel yang berada tepat di
depan Masjid Baiturahman. Bekas rel tersebut masih nampak terlihat jelas.
Selain itu dititik tersebut saya juga menjumpai bekas rel yang bercabang dua. Menurut analisa saya dulunya di area tersebut
terdapat sebuah halte pemberhentian kereta karena terdapat dua percabangan
jalur kereta seperti yang lazim saya temui dibeberapa halte kereta di Magelang.
Didekat percabangan jalur tersebut terdapat sebuah rumah yang saya perkirakan
adalah bekas lokasi Halte Sambirejo.
Bekas Rel di
Sambirejo
Dari
Sambirejo perjalanan saya lanjutkan menuju Wirosari. Sesampainya di daerah
Wirosari tepatnya di dekat Pasar Wirosari, saya menjumpai bekas rel kereta
bersilangan dengan jalan raya berpindah ke sebelah kiri jalan raya. Rel
tersebut menembus pertokoan disekitar
pasar dan masuk ke perkampungan warga. Setelah saya ikuti ternyata rel tersebut
mengarah ke Stasiun Wirosari yang terletak tidak jauh dari pasar.
Bangunan
Stasiun Wirosari saat ini digunakan sebagai toko bahan bangunan. Bangunan asli
stasiun yang didominasi oleh kayu masih bisa saya saksikan meskipun dibeberapa
bagian sudah mengalami perubahan. Stasiun ini didirikan oleh SJS atau Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij.
Kemungkinan stasiun ini didirikan pada tahun 1894 seiring dengan dibukanya
jalur Purwodadi menuju Wirosari. Dahulu stasiun ini melayani perjalanan dari
Purwodadi menuju Blora. Distasiun ini pula terdapat percabangan jalur terhubung
dengan jalur kereta milik NIS di Kradenan. Seiring berjalannya waktu stasiun
ini mulai sepi dan ditinggalkan masyarakat hingga akhirnya ditutup pada tahun
1987.
Bekas Jalur
Kereta Menuju Stasiun Wirosari
Bekas Bangunan
Stasiun Wirosari
Beranjak
dari Stasiun Wirosari perjalanan saya lanjutkan menuju Kunduran untuk mencari
lokasi bekas Stasiun Kunduran. Setelah Stasiun Wirosari posisi rel
berubah-ubah. Dibeberapa titik posisi rel berada disebelah kiri jalan dan di
beberapa titik posisi rel berpindah disebelah kanan jalan. Hal ini lah yang
agak menyulitkan saya dalam mencari jejak jalur kereta. Selain itu ada beberapa
titik dimana lokasi bekas jalur kereta masuk ke area persawahan dan
perkampungan warga.
Selama perjalanan menuju Kunduran,
saya mulai menemui beberapa pos milik Perhutani dimana ditempat tersebut
terdapat banyak kayu gelondongan hasil hutan yang siap dijual. Menurut saya
inilah salah satu alasan kenapa jalur kereta ini dahulu dibangun, yaitu untuk mengangkut
hasil kayu yang akan dijual ke beberapa wilayah disekitar Purwodadi.
Beberapa saat saya menemukan sebuah
bekas tiang sinyal kereta berdiri di depan pos Perhutani. Tiang sinyal tersebut
nampak masih kokoh meskipun kondisinya sudah berkarat. Setelah saya amati
ternyata di dekat tiang sinyal tersebut terdapat bekas rel yang bercabang masuk
ke area Perhutani. Bekas rel nya masih nampak bagus dengan menyisakan dudukan
wesel. Mungkin pada zaman dahulu Perhutani memiliki kereta khusus untuk
mengangkut hasil kayu seperti yang terdapat di daerah Cepu Blora dimana
terdapat jalur khusus angkutan kayu.
Bekas Tiang
Sinyal di Dekat Area Perhutani
Rel Bercabang ke
Area Perhutani
Dari
area Perhutani tersebut perjalanan saya lanjutkan menuju Kunduran Blora. Posisi
jalur kereta berpindah kesebelah kanan jalan raya. Kali ini bekas rel sudah
jarang saya temui, yang tersisa hanyalah bekas rel kereta yang digunakan warga
sebagai tiang listrik.
Di beberapa titik sesekali jalur
kereta masuk ke perkampungan warga dan ke area persawahan. Selain bekas rel,
saya juga menemui beberapa bekas jembatan kereta api melintas dibeberapa sungai
yang saya lewati. Meskipun besi penyangga rel sudah tidak ada dan hanya menyisakan
pondasi jembatan, akan tetapi saya bisa memprediksi betapa kokohnya jembatan
kereta kala itu dengan plengkung khas jembatan buatan Belanda.
Mendekati
perbatasan Purwodadi dan Blora saya kembali menemukan bekas rel yang bercabang
seperti yang saya temui di area Sambirejo sebelumnya. Bekas rel tersebut terletak
disebelah kanan jalan dengan ukuran yang lumayan panjang. Perkiraan saya dulu
disekitar area tersebut terdapat sebuah halte pemberhentian kereta. Sayang
sekali saya tidak bisa menemukan bangunan yang saya duga sebagai halte karena
bangunan disekitar lokasi sudah didominasi bangunan baru.
Bekas Rel di
Perbatasan Grobogan dengan Blora
Dari
lokasi bekas rel tersebut hanya berjarak kurang lebih 30 meter saya mulai masuk
kedalam wilayah Kabupaten Blora. Perjalanan mulai saya percepat untuk mengejar
waktu yang kala itu nampak mendung. Kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya
saya tiba di wilayah Kunduran. Dulu diwilayah ini terdapat sebuah stasiun
bernama Stasiun Kunduran.
Terus
berjalan saya mencoba mencari pasar central di Kunduran. Perlu menjadi sebuah
acuan, lazimnya pada zaman dahulu stasiun-stasiun yang di bangun oleh Belanda
terletak di wilayah sekitar pasar karena pasar merupakan pusat perekonomian
warga dan tempat distribusi barang. Tak berapa lama akhirnya saya tiba di Pasar
Kunduran. Kondisi pasar sangat ramai kala itu. Disana saya agak kesulitan untuk
melacak keberadaan bekas jalur kereta karena telah tertutup oleh bangunan
pertokoan disekitar pasar. Akhirnya saya mencoba untuk masuk kesebuah gang yang
berada di belakang komplek pasar. Dari bagian belakang pasar terlihat bekas
jalur kereta melintas di tengah-tengah pasar.
Terus
berjalan akhirnya saya menjumpai sebuah bekas tiang sinyal yang berdiri tepat
di rumah seorang warga yang tertutup oleh pohon pisang. Tiang sinyal tersebut
sampai saat ini masih dipertahankan. Mungkin sebagai penanda bahwa disana dulu
terdapat jalur kereta. Riuhnya suasana pasar membingungkan saya mencari lokasi stasiun.
Saya sempat bertanya kepada seorang kakek yang kebetulan melintas di samping
pasar. Kakek tersebut mengatakan bahwa bekas stasiun berada dipinggir jalan
dekat pasar dan telah berubah menjadi warung makan. Dengan penuh semangat saya
segera tancap gas menuju kesana.
Tak
berapa lama akhirnya saya berhasil menemukan bekas bangunan Stasiun Kunduran.
Bangunannya masih utuh hanya berubah fungsi sebagai warung makan mie ayam. Sebenarnya
saat itu sempat berniat untuk makan siang dilokasi bekas Stasiun Kunduran, akan
tetapi saya kurang beruntung warung tersebut saat itu tutup. Stasiun Kunduran
dibangun oleh SJS pada tahun 1894. Stasiun ini merupakan perpanjangan dari
Grobogan menuju Kota Blora. Selain untuk angkutan penumpang, dahulu stasiun ini
juga digunakan sebagai sarana distribusi barang. Sepinya jumlah penumpang
membuat pemerintah menutup stasiun ini pada tahun 1987.
Bekas Sinyal
Masuk Stasiun Kunduran
Bekas Bangunan
Stasiun Kunduran
Bekas Rumah
Dinas Kepala Stasiun Kunduran
Beranjak
meninggalkan Stasiun Kunduran, perjalanan saya lanjutkan menuju Ngawen untuk
mencari keberadan Stasiun Ngawen. Cukup jauh perjalanan dari Kunduran hingga
Ngawen. Kondisi jalan yang bergelombang menjadi tantangan tersendiri bagi saya.
Tibalah saya di Pasar Ngawen. Kondisi pasar sangat ramai karena bersebelahan
dengan Terminal Ngawen. Pasar Ngawen memiliki ukuran yang lebih luas jika
dibandingkan dengan Pasar Kunduran. Disini sekali lagi saya menjumpai bekas
tiang sinyal tepat berada di depan pasar.
Saya sempat kebingungan mencari
lokasi Stasiun Ngawen karena asumsi saya letak bangunan stasiun berada di
pinggir jalan seperti beberapa stasiun sebelumnya. Kebingungan saya berakhir
setelah mendapat informasi dari seorang tukang parkir yang memberi informasi
kepada saya bahwa lokasi Stasiun Ngawen berada masuk di dalam gang yang ada di
depan terminal. Sayapun mengikuti petunjuk dari tukang parkir tersebut dengan
masuk kesebuah gang yang ada didepan terminal. Ternyata gang tersebut menuju
kesebuah perkampungan warga yang berada dibelakang pasar. Terus berjalan
akhirnya saya tiba dipertigaan jalan yang kebetulan saat itu ada beberapa anak
kecil yang sedang bermain bola. Tak disangka ternyata bekas bangunan stasiun
tepat berdiri disamping kiri saya.
Bekas Sinyal
Masuk Stasiun Ngawen
Bekas Bangunan
Stasiun Ngawen
Bentuk
bangunan Stasiun Ngawen sendiri sangat mirip dengan bangunan Stasiun Kunduran.
Disamping bangunan stasiun berdiri bangunan rumah dinas kepala stasiun yang
hingga kini masih digunakan. Kondisi bangunan stasiunpun masih nampak terawat
meskipun terlihat sudah tidak terpakai. Yang saya sayangkan adalah saya hanya
bisa melihat bagian depan bangunan stasiun saja, karena sisi emplasemen stasiun
sudah dikelilingi pagar dan nampak ada beberapa bangunan tambahan baru. Bekas
jalur rel pun sudah tidak bisa saya temui karena jalan disekitar bangunan
stasiun sudah tertutup paving. Stasiun Ngawen didirikan oleh SJS pada tahun
1894 yang melayani perjalanan hingga ke Blora. Stasiun ini ditutup pada tahun
1987 bersamaan dengan ditutupnya jalur tersebut.
Dari
Ngawen perjalanan saya lanjutkan menuju Kota Blora. Selama perjalanan saya menuju
Kota Blora saya sudah tidak melihat jejak bekas jalur kereta api lagi. Menurut
saya posisi jalur kereta telah berpindah di area persawahan dan perkebunan yang
ada disebelah kiri jalan. Selang beberapa waktu akhirnya saya tiba di Kota
Blora. Saya agak bingung dengan kondisi Kota Blora, karena ini merupakan kali
pertama saya blusukan di Kota Blora.
Tujuan saya di Kota Blora adalah untuk
mencari daerah Tempelan mencari bekas Stasiun Blora yang menurut informasi yang
saya peroleh disanalah dulu Stasiun Blora berdiri. Setelah mendapat petunjuk
dari warga sekitar akhirnya saya tiba di daerah Tempelan. Terus berjalan
akhirnya saya menjumpai bangunan besar berwarna biru yang seluruh bangunanya
terbuat dari kayu berdiri kokoh di tengah kota tepat di depan pusat oleh-oleh
khas Blora. Ternyata itu adalah bekas bangunan Stasiun Blora.
Bangunan Stasiun Blora menurut saya
hampir menyerupai bentuk bangunan Stasiun Godong. Bangunan tersebut hampir 100
persen masih asli. Konstruksi bangunan yang terbuat dari kayu dan berarsitek
Belanda sangat kontras dengan bangunan sekitar yang bergaya modern. Bangunan
stasiun kini dijadikan kios pertokoan. Meskipun bangunan telah dialihfungsikan
sebagai kios, namun hal itu tidak merubah bentuk asli bangunan stasiun. Berbeda
dengan Stasiun Godong yang bangunan aslinya telah dirubah oleh masyarakat
akibat dialihfungsikan.
Bekas Bangunan
Stasiun Blora
Stasiun Blora
Tempo Dulu
Sumber:
priyatmaja.blogspot.com
Didekat
stasiun saya juga menjumpai sebuah bangunan kuno yang cukup besar yang menurut
saya adalah bangunan dipo lokomotif. Bentuk bangunannya menyerupai bangunan
dipo lokomotif yang ada di Stasiun Gundih. Akan tetapi sayang nasib bangunan
tersebut tak sebaik nasib bangunan stasiun. Bangunan tampak tak terawat dan
rusak. Bangunan dipo nampaknya dimanfaatkan warga sebagai gudang. Stasiun Blora
didirikan oleh SJS atau Samarang Joana
Stoomtram pada tahun 1894. Dahulu stasiun ini merupakan stasiun terminus
atau stasiun terakhir dari arah Wirosari. Akan tetapi pada tahun 1904, SJS
memperpanjang jalur dari stasiun ini menuju Rembang dan menuju Cepu. Stasiun
Blora resmi ditutup oleh pemerintah pada tahun 1987 karena menurunnya jumlah
penumpang yang banyak beralih ke bus dan kendaraan lainnya.
Bekas Bangunan
Dipo Stasiun Blora Tampak Samping
Beranjak
dari Stasiun Blora perjalanan saya lanjutkan ke arah Jepon untuk mencari
keberadaan bekas Stasiun Jepon. Kurang lebih membutuhkan waktu 20 menit
perjalanan dari Stasiun Blora menuju Jepon. Selama diperjalanan saya tidak
menjumpai bekas jalur kereta. Yang tampak hanyalah patok KAI yang tertancap di
sisi kanan jalan. Karena asyiknya mengendarai motor, tanpa sadar ternyata saya
telah melewati lokasi stasiun. Saya sempat bertanya kepada seorang kakek di
pinggir jalan yang sangat ramah menunjukkan letak Stasiun Jepon kepada saya.
Ternyata saya telah melewatkan lokasi stasiun sejauh 1 kilometer. Kakek
tersebut menjelaskan bahwa bangunan Stasiun Jepon berdiri persis di depan
kantor polisi Jepon. Berbekal informasi dari kakek tersebut sayapun segera
tancap gas berputar arah menuju lokasi Stasiun Jepon berada.
Sesampainya di depan kantor polisi
Jepon yang saya lihat hanyalah barisan pertokoan. Ternyata disana ada sebuah
barisan komplek toko yang didepannya tertancap plang milik PT. KAI. Setelah
saya amati ternyata bangunan toko itulah bekas bangunan Stasiun Jepon. Bentuk
bangunan stasiun mirip dengan bangunan Stasiun Ngawen dan Stasiun Kunduran,
hanya saja bangunan stasiun sudah sangat berubah sehingga agak sulit untuk
mengenalinya.
Sayapun
mencoba melihat sisi belakang bangunan stasiun yang ternyata tepat berada di
pinggir sungai. Bangunaan dinding stasiun dibeberapa titik sudah dimodifikasi
seperti menghilangkan jendela dan pintu stasiun. Bekas emplasemen stasiunpun
sekarang sudah tertutup tanah. Tak ada bekas rel yang terlihat di sekitar bekas
bangunan stasiun.
Emplasemen
Stasiun Jepon
Stasiun Jepon dibangun oleh SJS dimana
pembangunan stasiun ini bebarengan dengan pembangunan jalur perpanjangan dari
Stasiun Blora kurang lebih pada tahun 1904. Stasiun ini juga terhubung dengan
Stasiun Cepu. Akan tetapi pada tahun 1987 jalur menuju Cepu dan Rembang di
tutup oleh pemerintah karena jumlah penumpang yang menurun. Penutupan jalur
kereta api disepanjang rute Godong Purwodadi hingga Jepon Blora sebenarnya
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah: letak jalur kereta yang
berada dipinggir jalan raya sehingga sering menimbulkan kecelakaan, laju kereta
api yang dianggap lambat karena masih menggunakan kereta uap dan kereta
lokomotif jenis D300 atau D301 yang saat ini hanya digunakan untuk langsiran,
dan penumpang yang beralih ke moda transportasi lain sehingga jumlah penumpang
yang menurun drastis.
Bagian Belakang
Stasiun Jepon
Dengan
sampainya saya di bekas Stasiun Jepon, berakhir pula perjalanan blusukan saya
menyusuri jejak jalur kereta api lintas Purwodadi - Blora. Kurang lebih pukul
setengah satu siang saya beranjak pergi meninggalkan Stasiun Jepon kembali
menuju Kota Solo. Perjalanan kali ini tentu saja masih menyisakan beberapa
misteri yang perlu ditelaah lebih lanjut. Harapan saya kepada pemerintah semoga
bisa merawat peninggalan dari Samarang
Joana Stoomtram ini dengan baik. “Kita tidak membuat, tapi kita mewarisi”.
Sudah selayaknya peninggalan yang “mahal” ini harus kita jaga dengan
sebaik-baiknya.
Kurang lebih pukul setengah lima
sore akhirnya saya tiba di Kota Solo dengan selamat meskipun sempat basah kuyup
akibat diguyur hujan diwilayah Gundih. Banyak kenangan yang tersisa. Harapan
saya, semoga dilain kesempatan saya bisa meneruskan blusukan saya hingga ke
Kota Cepu dimana disana juga terdapat banyak peninggalan kereta api milik Samarang Joana Stoomtram.
_______________________________________________
artikel terkait: jalur kereta wirosari - kradenan
_______________________________________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama