JEJAK STASIUN MATI DI YOGYAKARTA
Bulan puasa adalah bulan yang penuh
berkah. Apalagi jika setiap aktivitas yang kita lakukan memiliki manfaat dan
faedah, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Salah satu aktivitas
positif dan bermanfaat yang bisa dilakukan di bulan puasa adalah blusukan.
Blusukan disini bukanlah blusukan di rumah makan maupun dirumah orang,
melainkan blusukan stasiun-stasiun mati dijalur terlantar tak bertuan. Selain
menambah ilmu, aktivitas ini juga ampuh menambah iman kita kepada Allah SWT. Insha
Allah.
Dalam tulisan saya kali ini, saya
akan membahas mengenai stasiun-stasiun mati di Yogyakarta. Stasiun yang akan
saya bahas disini adalah stasiun yang memang sudah lama tidak digunakan alias
mati karena ditutupnya layanan perjalanan kereta dijalur tersebut. Di Propinsi
Yogyakarta sendiri sebenarnya banyak terdapat jalur kereta api non aktif. Jalur
non aktif tersebut dapat saya bagi menjadi dua, yakni jalur yang berada
disebelah selatan Stasiun Yogyakarta dan jalur yang berada disebelah utara
Stasiun Yogyakarta. Dalam artikel ini saya hanya akan membahas mengenai
stasiun-stasiun mati yang tersebar di selatan Stasiun Yogyakarta.
Sebagai sebuah wilayah yang menjadi
salah satu pusat pemerintahan di Jawa, Yogyakarta merupakan wilayah yang cukup
ramai dan sibuk dimasanya. Selain sebagai pusat pemerintahan, Yogyakarta juga
banyak memiliki potensi alam yang melimpah ruah. Hal inilah yang banyak
menimbulkan eksplorasi kekayaan alam di wilayah Yogyakarta. Salah satu bukti
aktivitas eksplorasi di wilayah Yogyakarta adalah banyak bermunculnya pabrik
gula diwilayah ini.
Tercatat pernah terdapat 17 pabrik
gula diwilayah Yogyakarta yang tersebar mulai dari wilayah Sleman, Yogyakarta, Bantul
hingga Kulon Progo. Banyaknya jumlah pabrik gula ini menjadi salah satu alasan
dibukanya jalur kereta api kebeberapa wilayah di Yogyakarta guna mendukung
aktivitas pabrik gula.
Jalur kereta api di wilayah pesisir
selatan Yogyakarta, terbagi kedalam dua cabang, yakni Yogyakarta – Pundong dan
Yogyakarta – Sewugalur. Stasiun dan halte yang pernah berdiri di petak
Yogyakarta – Pundong diantaranya adalah:
Stasiun
/ Halte
|
Keterangan
|
1. Yogyakarta
2. Ngabean
(Cabang ke Palbapang)
3. Timuran
4. Sidikan
5. Pasargede
6. Kuncen
7. Bintaran
(Cabang ke PG Kedaton Pleret)
8. Wonokromo
9. Ngentak
10. Jetis
11. Barongan
(Cabang ke PG Barongan)
12. Patalan
13. Pundong
(Cabang ke PG Pundong)
|
Jalur
kereta api dan Stasiun di bongkar Jepang
|
Jalur kereta api diatas bercabang di
Halte Ngabean yang terletak di sebelah selatan Stasiun Yogyakarta. Selain
sebagai angkutan penumpang, jalur tersebut juga ditujukan sebagai angkutan
hasil industri gula. Saat dunia mengalami krisis malaise dimana berimbas pada
perekonomian dunia, banyak harga komoditi perdagangan yang anjlok. Gula sebagai
salah satu komoditi unggulan waktu itu juga tak luput terkena imbasnya.
Akibat dari krisis ini, pada dekade
1930-an, banyak pabrik gula yang ditutup karena bangkrut yang diakibatkan
anjloknya harga jual gula dipasaran. Pada waktu itu jalur kereta yang biasa digunakan
untuk angkutan industri gula perlahan-lahan mulai surut. Nasib tragis jalur
kereta menuju Pundong ini terjadi pada tahun 1942 saat Jepang mulai masuk
kewilayah Indonesia. Akibat tingginya kebutuhan besi untuk mendukung peralatan
perang Jepang, jalur kereta api dari Ngabean menuju Pundongpun habis dipreteli
oleh tentara Jepang. Tak tanggung-tanggung, seluruh bangunan stasiun berikut
alat-alat pendukung perkeretaapianpun juga dihancurkan tanpa sisa. Kini tak
banyak bekas yang bisa ditemukan dipetak ini. Hanya beberapa gundukan tanah diarea
persawahan saja yang menjadi bukti mengenai keberadaan jalur kereta diwilayah
tersebut.
Nasib baik kiranya masih berpihak
pada jalur kereta menuju Palbapang. Jalur ini luput dari pempretelan tentara
Jepang. Hanya jalur dari Palbapang hingga Sewugalur saja yang dipreteli oleh
Jepang karena pabrik gula diwilayah tersebut sudah banyak yang bangkrut.
Jalur dari Yogyakarta menuju
Sewugalur dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama yakni Yogyakarta – Srandakan
sejauh 23 kilometer yang mulai dioperasikan pada tahun 1895. Sedangkan tahap
kedua Srandakan – Brosot sejauh 2 kilometer yang mulai dioperasikan pada tahun
1915 yang dilanjutkan pembangunan jalur hingga ke Sewugalur. Stasiun dan Halte
di petak ini diantaranya adalah:
Stasiun
/ Halte
|
Keterangan
|
1. Yogyakarta
2. Ngabean
(Cabang ke Pundong)
3. Dongkelan
4. Winongo
(Cabang ke PG Madukismo)
5. Cepit
6. Bantul
(Cabang ke PG Bantul)
7. Palbapang
8. Bajang
9. Batikan
10. Pekojan
11. Mangiran
12. Srandakan
13. Brosot
14. Pasar
Kranggan
15. Sewugalur
(ke PG Sewugalur)
|
Bangunan
sudah hilang
Dihancurkan Jepang
Dihancurkan
Jepang
Dihancurkan
Jepang
Dihancurkan
Jepang
Dihancurkan
Jepang
Dihancurkan
Jepang
Dihancurkan
Jepang
Dihancurkan
Jepang
Dihancurkan
Jepang
|
Peta Jalur
Kereta di Yogyakarta
Sumber: kitlv.nl
Berhubung
bekas stasiun yang masih tersisa hanya dipetak Jogja – Palbapang saja, maka
penelusuran saya kali ini hanya berada dipetak tersebut. Sebenarnya dua tahun
yang lalu saya sudah pernah menelusuri bekas jalur kereta dipetak ini. Namun
pada penelusuran saya kali ini akan saya memperpanjang hingga Sewugalur
Kulonprogo guna mencari puing-puing bekas pabrik gula yang banyak menyimpan
sejarah dan misteri.
Penelusuran
pertama saya kali ini saya awali menuju Stasiun Ngabean. Lokasi stasiun ini
tidaklah sulit dicari karena berada tepat disamping jalan raya. Stasiun Ngabean
terletak Notoprajan Ngampilan Yogyakarta atau di Jalan Kyai Haji Wahid Hasyim.
Jika kita menggunakan transportasi umum seperti Trans Jogja kita bisa turun di
Halte Ngabean yang berada persis disamping bekas Stasiun Ngabean ini. Kini
bekas bangunan Stasiun Ngabean dimanfaatkan sebagai kantor angkutan wisata
“siTole”.
Stasiun
Ngabean adalah satu-satumya stasiun di petak Ngabean – Palbapang yang
bangunannya masih asli. Ornamen bangunan khas Hindia Belanda masih sangat terasa
di stasiun ini. Dibagian emplasemen stasiun, kita masih bisa menjumpai bekas
jalur kereta menuju Bantul. Beberapa bekas roda kereta apipun juga masih ada
disana.
Dahulu
di Stasiun Ngabean terdiri dari dua jalur memanjang. Jalur tersebut kemudian
bercabang menuju Pundong dan Sewugalur. Selain bangunannya yang unik, Stasiun
Ngabean adalah satu-satunya stasiun non aktif dipetak Jogja – Bantul yang masih
menyisakan tiang sinyal. Tak kurang ada tiga tiang sinyal yang masih tersisa.
Tahun 1973 adalah tahun terakhir stasiun ini beroperasi. Sepinya jumlah
penumpang dan banyaknya moda transportasi jalan raya membuat kereta api dijalur
ini kalah bersaing.
Percabangan
Jalur Kereta Api Yogyakarta – Bantul
Sumber: kitlv.nl
Lokasi Halte
Ngabean dan Percabangan Menuju Kota Gede dan Pundong
Sumber: kitlv.nl
Bangunan Halte
Ngabean
Emplasemen Halte
Ngabean
Bekas Roda
Kereta Api di Emplasemen Stasiun Ngabean
Bekas Tiang
Sinyal Sebelum Halte Ngabean
Bekas Tiang
Sinyal Halte Ngabean Didepan Kecamatan Ngampilan
Bekas Tiang
Sinyal Halte Ngabean Dipekarangan Warga
Beranjak
meninggalkan Stasiun Ngabean perjalanan saya lanjutkan menuju Halte Dongkelan.
Halte ini terletak di Gedungkiwo Mantrijeron Yogyakarta atau tepatnya berada di
Jalan Bantul depan Pasty. Bangunan Halte ini sebenarnya merupakan replika
karena bangunan yang asli telah ludes terbakar. Perkiraan saya bangunan Halte
Dongkelan jaman dahulu terbuat dari material kayu. kini bangunan Halte
Dongkelan digunakan sebagai rumah makan.
Lokasi Halte
Dongkelan
Sumber: kitlv.nl
Replika Halte
Dongkelan
Selama penelusuran saya di Jalan
Bantul, bekas besi rel kereta api sebenarnya masih banyak yang bisa dijumpai
meskipun kondisinya sudah tidak utuh lagi. Beberapa besi tersebut ada yang
tertutup aspal jalan raya. Meskipun demikian bekas jejak kereta api dipetak
tersebut masih bisa dikatakan banyak.
Perjalanan saya berlanjut menuju
Halte Winongo. Jarak antara Halte Dongkelan dan Halte Winongo bisa dikatakan
lumayan jauh. Tidak seperti halte-halte yang lain, Halte Winongo memiliki
posisi yang unik yakni berada ditengah perkampungan warga. Selain itu, halte
ini juga memiliki percabangan menuju Pabrik Gula Padokan atau Madukismo.
Halte Winongo terletak di Desa
Tirtonirmolo Kasian Bantul. Halte ini dibuka pada tahun 1895 dan ditutup pada
tahun 1973. Selain ramai melayani penumpang, jaman dahulu halte ini juga ramai
oleh aktivitas kereta yang mengangkut hasil gula dari Pabrik Gula Padokan yang
hendak dikirim ke pelabuhan. Bangunan halte yang ada sekarang ini merupakan
rombakan pada masa Djawatan Kereta Api. Meskipun bangunan halte sedikit
mengalami perubahan, namun kondisi bangunan halte sendiri masih bisa dikatakan
baik. Halte ini pernah mengalami kerusakan saat gempa bumi melanda Bantul pada
tahun 2006 silam. Halte Winongo sendiri juga memiliki fasilitas rumah dinas
untuk pegawainya yang kini menjadi hak milik PG Madukismo. Kini bangunan Halte
Winongo digunakan sebagai balai pertemuan warga.
Sebelum menuju Halte Winongo dari
arah Yogyakarta, kita akan menyeberangi Sungai Winongo yang cukup lebar. Diatas
sungai ini masih menyisakan bekas jembatan kereta api yang kini dimanfaatkan
warga sebagai jembatan penyeberangan. Akan tetapi hanya sepeda motor yang bisa
melintas, itupun harus satu-persatu dan berhati-hati.
Lokasi Halte
Winongo dan Jalur Percabangan Menuju PG Padokan
Sumber: kitlv.nl
Jalur Kereta di
PG Padokan
Sumber: kitlv.nl
Bekas Jalur
Kereta Menuju Halte Winongo
Bekas Jembatan
Kereta Diatas Sungai Winongo
Bekas
Percabangan Jalur Menuju PG Padokan
Sinyal Tebeng
yang Tersisa Sebelum Masuk PG Padokan
Bekas Bangunan
Halte Winongo
Saat menapaki Halte Winongo ini
sebenarnya saya juga melakukan penelusuran di percabangan jalur kereta menuju
Pabrik Gula Madukismo. Akan tetapi penelusuran
saya tersebut saya ulas secara terpisah dan telah saya unggah pada postingan
sebelumnya.
Lanjut perjalanan saya lanjutkan
menuju Stasiun Bantul. Sebenarnya sebelum Stasiun Bantul ada satu halte yang
dulu pernah berdiri, yakni Halte Cepit. Lokasi halte tersebut tepat berada di
pertigaan Cepit. Akan tetapi sayang, bangunan halte tersebut kini sudah tidak
bersisa sama sekali.
Lokasi
Pemberhentian Cepit
Sumber: kitlv.nl
Siang bolong akhirnya saya mulai
memasuki pusat Kota Bantul. Sebelum memasuki kota, saya masih banyak menjumpai
bekas besi rel yang tersisa berada tepat disebelah kanan jalan. Sedangkan untuk
didalam Kota Bantul sendiri, bekas jalur kereta sudah tidak bisa kita jumpai
sama sekali. Hal ini dikarenakan dibekas jalur tersebut telah ditutup aspal
jalan.
Lokasi Stasiun Bantul sendiri berada
tak jauh dari pasar kota. Posisinya berada tepat disamping jalan raya. Bentuk
bangunan Stasiun Bantul mirip dengan Halte Winongo yang bercorak bangunan
stasiun era DKA. Kini bekas bangunan Stasiun Bantul digunakan untuk usaha
bengkel dan rumah makan.
Tak beda jauh dengan Halte Winongo,
Stasiun Bantul pada jaman dahulu juga terhubung dengan pabrik gula yakni PG
Bantul. Lokasi pabrik gulanya sendiri berada tak jauh dari lokasi stasiun.
Waktu itu saya sempat menyusuri bekas lokasi PG Bantul, akan tetapi sayang saya
tidak berhasil menemukan sisa-sisa bangunannya.
PG Bantul sendiri merupakan salah
satu dari tujuh belas pabrik gula yang pernah berdiri di Yogyakarya. Saya
kurang tahu alasan hancurnya PG Bantul apakah dikarenakan krisis malaise pada
dekade 1930an atau hancur karena perang agresi militer Belanda, yang jelas
dibekas lokasi Pabrik Gula Bantul tersebut tak menyisakan sedikitpun jejak
keberadaan pabrik gula.
Lokasi Halte
Bantul dan Percabangan Jalur Menuju SF Bantul
Sumber: kitlv.nl
Bagian Belakang
Stasiun Bantul
Bagian Depan
Stasiun Bantul
Aktivitas Kereta
di SF Bantul
Sumber: kitlv.nl
Cuaca kala itu begitu terik. Apalagi
Bantul merupakan kawasan pesisir yang membuat hawa panas terasa berlipat ganda
jika dibandingkan wilayah lain. Haus dahagapun sangat menggangu tenggorokan.
Perjalananpun segera saya lanjutkan menuju Stasiun Palbapang.
Jarak antara Stasiun Bantul dan
Stasiun Palbapang tidaklah begitu jauh. Kurang lebih 15 menit perjalanan saya
telah tiba di Stasiun Palbapang. Lokasi stasiun ini berada tepat disamping
jalan raya menuju Kulonprogo. Tak jauh beda dengan bangunan stasiun-stasiun
sebelumnya, Stasiun Palbapang memiliki model bangunan era DKA. Akan tetapi
bedanya bangunan Stasiun Palbapang memiliki ukuran yang lebih panjang jika
dibandingkan dengan Halte Winongo dan Stasiun Bantul.
Stasiun Palbapang sendiri sebenarnya
pernah mengalami perombakan pada 20 Juli 1990. Hal ini dikarenakan lokasi
stasiun yang dialihfungsikan menjadi terminal bus. Bangunan Stasiun Palbapang
sendiri kini dijadikan kantor Terminal Palbapang. Bangunanya masih asri dan
terawat. Dibekas emplasemen stasiun yang kini telah dirubah menjadi taman, ada
beberapa alat perkeretaapian yang dipajang disana yang dijadikan monumen.
Bekas rel di stasiun ini sudah tidak
bisa dijumpai lagi. Akan tetapi disebelah selatan stasiun masih banyak tersisa
bekas besi rel dari arah Bantul yang berada dipekarangan warga. Selain bangunan
utama stasiun, kita juga masih bisa menjumpai bekas bangunan rumah dinas
pegawai stasiun. Menurut catatan yang ada, dahulu lebar gauge di stasiun ini memakai lebar 1435 mm sebelum diubah menjadi gauge 1067 mm pada masa pendudukan
Jepang.
Lokasi Halte
Palbapang
Sumber: kitlv.nl
Stasiun
Palbapang 1896
Sumber: kitlv.
nl
Bagian Depan
Stasiun Palbapang
Emplasemen
Stasiun Palbapang
Monumen di
Halaman Stasiun Palbapang
Selesainya saya mengulik bekas
Stasiun Palbapang, maka selesai pula penelusuran saya mengenai stasiun mati di
petak Ngabean – Palbapang. Selanjutnya penelusuran akan saya lanjutkan dibekas
jalur kereta Palbapang – Sewugalur. Akan tetapi pada penelusuran saya kali ini
saya akan lebih menekankan pada bekas-bekas pabrik gula yang pernah ada dipetak
tersebut.
Salah satu motif Belanda membangun
jalur kereta api di petak Palbapang – Sewugalur adalah guna mendukung aktivitas
industri gula di wilayah tersebut. Tercatat pernah ada dua pabrik gula antara
Palbapang hingga Sewugalur, yakni PG Gesikan dan PG Sewugalur. Kedua pabrik
gula tersebut merupakan dua dari tujuh belas pabrik gula yang pernah berdiri
diwilayah Yogyakarta.
Menurut catatan yang saya peroleh
Pabrik Gula Gesikan dan Pabrik Gula Sewugalur memang telah lama hancur. Saya
kurang tahu pasti alasan apa yang menyebabkan pabrik gula tersebut hancur. Akan
tetapi menurut perkiraan saya, kedua pabrik gula tersebut lenyap akibat
bangkrut saat terjadi krisis malaise pada dekade 1930an. Hal ini saya dasarkan
pada dicabutnya jalur kereta api menuju dua pabrik gula tersebut oleh Jepang
pada tahun 1942-1943 untuk dipindah ke Bayah yang mengindikasikan bahwa pada
tahun tersebut memang sudah tidak ada aktivitas dikedua pabrik gula tersebut.
Akan tetapi ini hanya sebatas asumsi saya semata.
Perjalanan saya mulai menelusuri
jalan Bantul – Kulonprogo. Kali ini tujuan pertama saya adalah mencari bekas
Pabrik Gula Gesikan. Jalur kereta PG Gesikan merupakan percabangan dari Halte
Bajang. Jika dilihat dari peta Belanda, sebenarnya bekas jalur kereta menuju
Sewugalur terletak berdampingan dengan jalan raya. Posisinya sebagian besar
berada di kiri jalan.
Disebuah pertigaan jalan yang tak
jauh dari Stasiun Palbapang, saya ambil arah ke kanan. Jalan tersebut dulunya
merupakan percabangan jalur kearah PG Gesikan. Kurang lebih 500 meter dari
jalan raya, akhirnya saya tiba dibekas lokasi PG Gesikan. Pertama saya masih
ragu apakah benar tanah lapang didepan saya ini dulunya merupakan bekas pabrik
gula. Sembari mencermati peta yang saya bawa, sayapun berkeliling mengitari
tanah lapang yang cukup luas tersebut.
Semak belukar disisi selatan
lapanganpun tak luput dari pengamatan saya. Akhirnya saya mulai menemukan
petunjuk. Saya menemukan sebuah bongkahan pondasi bangunan yang cukup besar
tertutup oleh rerimbunan pohon. Saya semakin yakin bahwa lokasi ini memang
benar bekas dari Pabrik Gula Gesikan. Karena semakin penasaran saya mencoba
mengitari semak belukar yang ada diarea tersebut. Beberapa bekas pondasi rendah
juga sempat saya jumpai.
Meskipun dibekas lokasi pabrik
tersebut sudah tidak ada bekas bangunan yang tersisa, namun bekas bongkahan
pondasi besar tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa dahulunya dilokasi
tersebut memang pernah berdiri sebuah pabrik gula. Hal inipun juga didukung
dengan peta PG Gesikan yang persis menunjukkan lokasi tersebut.
Lokasi PG
Gesikan
Sumber: kitlv.nl
Bekas
Lokasi Pabrik Gula Gesikan
Bekas Reruntuhan
Pabrik Gula Gesikan
Bekas Area Sekitar Pabrik
Berhubung saya tidak menemukan
bangunan yang utuh di bekas lokasi Pabrik Gula Gesikan, perjalananpun saya
lanjutkan kembali. Dengan sedikit menambah kecepatan, perjalanan saya lanjutkan
menuju Sewugalur Kulonprogo. Cukup jauh memang perjalanan saya menuju Kulonprogo.
Perlu diketahui bahwa Pabrik Gula Sewugalur adalah satu-satunya pabrik gula
yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Kulonprogo.
Berdasarkan informasi yang saya
peroleh, di lokasi pabrik gula tersebut masih banyak peninggalan yang bisa kita
saksikan. Kurang lebih 20 menit perjalanan, akhirnya tiba juga saya di Galur.
Siang itu suasana kampung sepi. Tak banyak aktivitas yang terlihat. Mungkin
karena siang yang sangat terik, sehingga warga lebih memilih untuk tinggal
dirumah. Dari Pasar Galur perjalanan saya teruskan masuk kedalam sebuah
kampung. Awalnya tidak ada yang aneh dengan perkampungan disana hingga saya
tiba disebuah perkampungan kecil di tengah desa. Wow akhirnya saya tiba juga di
bekas Pabrik Gula Sewugalur.
Saya langsung bisa menduga bahwa
kampung tersebut dahulu merupakan bekas komplek pabrik gula. Hal ini bisa
dilihat dari banyaknya bangunan Belanda yang berdiri diare tersebut.
Disepanjang jalan masih banyak saya jumpai rumah-rumah tua bergaya Belanda yang
mendominasi kampung. Warga sekitar ada yang menyebutnya “Benteng”. Selain
mencari bekas lokasi Pabrik Gula Sewugalur, sebenarnya saya juga mencari
komplek makam Belanda atau Kerkof yang berada disana.
Setelah bertanya pada beberapa orang
warga yang ternyata juga tidak tahu mengenai keberadaan Kerkof dikampung mereka, akhirnya saya memperoleh petunjuk dari
seorang nenek renta yang saya jumpai dipinggir jalan. Nenek tersebut
menunjukkan bahwa lokasi makam berada di sudut sawah didekat kebun warga.
Melalui petunjuk si nenek akhirnya
saya berhasil menemukan makam tersebut. Tak mudah ternyata jalan menuju makam
tersebut. Suasananya gelap dan sepi, bahkan banyak semak belukar yang menutupi
area makam. Maklum saja, makam tersebut merupakan makam kuno tak bertuan yang
sudah tidak terawat. Bahkan masayarakat sekitarpun banyak yang tak tahu kalau
didesa mereka terdapat makam Belanda.
Dilokasi makam tersebut terdapat
beberapa makam yang ukurannya tidak terlalu besar. Nisan yang terbuat dari
marmerpun juga tampak masih merekat di bangunan kuburnya meskipun tidak utuh.
Perkiraan saya orang yang dimakamkan disini adalah kerabat keluarga dari
pegawai Belanda di Pabrik Gula Sewugalur.
Melalui makam ini saya bisa
mengambil beberapa pelajaran yakni bahwa semua manusia pasti akan mati.
Berapapun harta kita didunia dan apapun pangkat kita didunia pasti akan kita
tinggal jika kita telah mati. Bahkan waktu pula yang akan mencampakan kita.
Saya bisa melihat betapa mengenaskannya kondisi makam tersebut seolah-olah tak
memiliki nilai. Padahal mungkin dulu orang yang dimakamkan di area tersebut
adalah orang terpandang, akan tetapi semua itu seolah tak bisa memberi manfaat
sedikitpun. Semua lenyap oleh waktu. Hanya waktulah yang abadi.
Lokasi Pabrik
Gula Sewugalur dan Halte Sewugalur
Sumber: kitlv.nl
Bekas Lokasi
Pabrik Gula Sewugalur
Bekas Bangunan
Rumah Belanda di PG Sewugalur
Makam Belanda di
Sewugalur
Foto Jembatan Kereta
Api di Kali Progo Kulonprogo 1896
Sumber: kitlv.nl
Akhirnya selesai sudah penelusuran
saya di Kulonprogo. Capek tapi seru. Banyak hal baru yang saya temui selama
diperjalanan. Selain itu saya juga sempat berkenalan dengan beberapa orang
warga di Sewugalur yang cukup ramah dan banyak memberikan cerita dan informasi
sejarah kepada saya. Alhamdulilah tambah pengalaman tambah paseduluran,
begitulah kiranya. Semoga dilain kesempatan bisa blusukan di lokasi lain yang
lebih seru tentunya.
LINK: