JALUR
MATI MADIUN - PONOROGO
Madiun adalah salah satu kota yang
cukup ramai yang ada di Provinsi Jawa Timur. Kota yang terkenal dengan nasi
pecelnya ini menyimpan banyak sejarah masa lalu yang sangat panjang. Bukti sejarah
mengenai pentingnya kota ini dimasa lalu adalah banyaknya bangunan-bangunan
kolonial serta industri peninggalan Belanda seperti pabrik gula yang masih bisa
kita jumpai hingga sekarang.
Perkembangan perekonomian Madiun
kala itu tidaklah terlepas dari pengaruh pembangunan jalur kereta api milik
Staats Spoorwegen (SS) yaitu perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia
Belanda yang menghubungkan Madiun dengan kota-kota lain di Jawa seperti Solo
dan Surabaya. Bahkan untuk menggeliatkan roda perekonomian di Kota Madiun, SS
juga membangun sebuah jalur kereta api yang menghubungkan Madiun dengan
Ponorogo.
Sedikit
menyinggung sejarah kereta api yang dulu pernah menghubungkan Kota Madiun dan
Kota Ponorogo, jalur kereta api tersebut dibangun di awal abad 19 yaitu sekitar
tahun 1907 oleh perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda kala itu Staats
Spoorwegen (SS) dari Stasiun Madiun hingga Stasiun Slahung di Ponorogo. Panjang
jalur tersebut kurang lebih sepanjang 58 kilometer. Karakteristik jalur
Madiun-Ponorogo hampir menyerupai jalur yang menghubungkan Kota Solo dengan
Baturetno di Wonogiri.
Jalur
tersebut dahulu diramaikan oleh penduduk yang mayoritas adalah pedagang yang
akan menjual hasil buminya kepasar. Hingga tahun 1970-an jalur ini masih
menjadi primadona masyarakat karena dianggap murah. Seiring berjalannya waktu
dan berkembangnya zaman, kereta api mulai ditinggalkan. Masyarakat mulai
beralih menggunakan moda transportasi lain berbasis jalan raya dalam mobilitas
hariannya karena dianggap lebih cepat dari pada kereta api. Pada tahun 1984,
jalur kereta api Madiun-Ponorogo resmi ditutup karena kalah bersaing dengan
moda transportasi lain. Kini sisa-sisa jalur yang menghubungkan dua kota
tersebut masih bisa kita temukan meskipun jumlahnya tinggal sedikit. Sisa-sisa
rel besi yang dulunya menjadi pijakan kereta api dibeberapa titik masih
terlihat jelas dan kokoh seolah-olah menanti untuk dilewati kereta api kembali.
Peta Jalur
Kereta Api Madiun – Ponorogo
Sumber: kitlv.nl
Bertepatan
dengan Tahun Baru Imlek 2015, akhirnya saya bisa melakukan blusukan jalur mati
lagi ditempat yang berbeda. Kali ini tujuan blusukan saya adalah jalur mati di
petak Madiun - Ponorogo. Rencana blusukan ke Madiun hingga Ponorogo ini
sebenarnya saya rencanakan di awal bulan Februari, akan tetapi karena banyaknya
tugas yang harus diselesaikan dan kondisi cuaca yang masih kurang mendukung
memaksa saya untuk menunda blusukan saya di Madiun dan Ponorogo. Akhirnya di
tanggal 19 Februari 2015 saya bisa melaksanakan misi penting ini untuk
menelisik sisa-sisa keberadaan jalur kereta api yang pernah menghubungkan kedua
kota tersebut.
Tepat
pada pukul 6 pagi saya berangkat meninggalkan Solo sebagai titik start saya menuju Kota Madiun. Kali ini
jalur yang saya lalui adalah via Sarangan di Kabupaten Magetan. Suhu pegunungan
yang dingin serta pemandangan alam pegunungan yang indah menghiasi perjalanan
saya. Kurang lebih pukul 8 pagi saya mulai memasuki wilayah Maospati di
Kabupaten Magetan. Disini saya berjalan melambat karena ada hal menarik yang
saya temukan. Saya memperhatikan disebelah kanan dan kiri jalan tampak ada gundukan-gundukan
tanah yang menurut saya berbentuk tak lazim terbentang menuju perkebunan milik
warga yang dimanfaatkan warga sebagai jalan menuju ke ladang. Hipotesis saya
itu adalah bekas decauville.
Tak
berapa lama hipotesis saya ternyata benar, disekitar area tersebut saya
menjumpai banyak decauville yang
berpotongan dengan jalan raya. Bahkan dibeberapa titik saya masih bisa
menjumpai sisa-sisa besi yang masih utuh tersamarkan oleh tanah. Ini adalah
sesuatu yang langka bagi saya, hal
semacam ini sudah tidak bisa saya temui lagi di tempat asal saya di Kabupaten
Sragen yang notabene juga terdapat sebuah Pabrik Gula (PG) atau Suiker Fabriek dimana semua decauville sudah hilang tergusur oleh pembangunan
kota.
Sebagai
informasi, decauville adalah jalur
kereta lori pengangkut tebu yang biasa dimiliki oleh pabrik gula. Decauville memiliki gauge yang lebih kecil jika dibandingkan dengan gauge pada kereta api. Saat ini sudah
jarang bisa kita temukan jalur decauville
yang masih aktif. Seiring berkembangnya zaman, pabrik gula lebih memilih
menggunakan truk untuk mengangkut tebunya ke pabrik karena dianggap lebih murah
dan efisien.
Bekas Decauville di Maospati
Puas
mengamati sisa-sisa decauville di
Maospati, saya segera tancap gas menuju Kota Madiun. Sebelumnya saya juga
sempat melewati jalur kereta api non aktif dari Lanud Iswahjudi menuju Stasiun
Barat yang dulu pernah saya bahas di tulisan saya sebelumnya. Kurang lebih
pukul setengah sembilan saya mulai memasuki Kota Madiun. Tujuan pertama saya
adalah mencari Stasiun Madiun yang merupakan titik awal jalur dari Madiun
menuju Ponorogo.
Ini
adalah pertama kali bagi saya blusukan ke Kota Madiun, meskipun sebelumnya saya
juga pernah berkunjung ke kota ini. Sesampainya di Stasiun Madiun, saya
menyempatkan diri untuk melihat pabrik kereta api atau PT. INKA yang berdiri
diseberang stasiun meskipun hanya dari luarnya saja. Menurut sebuah artikel,
PT. INKA adalah satu-satunya pabrik kereta api yang ada di Asia Tenggara.
Selain memproduksi kereta api untuk kebutuhan dalam negeri, perusahaan ini juga
telah mengekspor kereta api kebeberapa negara di Asia. Sungguh sangat
membanggakan.
PT. INKA Madiun
Didepan
PT. INKA terdapat jalur kereta aktif yang menghubungkan Stasiun Madiun dengan
dipo milik Pertamina. Jalur ini sepintas mirip dengan jalur antara Lanud
Iswahjudi dengan Stasiun Barat di Magetan yang dulu juga digunakan untuk
mengangkut avtur dari Stasiun Barat ke Lanud Iswahjudi. Kebetulan saya hadir disaat
yang tepat, saat saya berada disana ada serangkaian gerbong milik Pertamina
melaju menuju dipo dengan ditarik lokomotif jenis BB. Ini menjadi tontonan
menarik bagi saya yang sebelumnya belum pernah melihat pemandangan seperti ini.
Kereta dari Stasiun
Madiun Menuju Dipo Pertamina
Puas
melihat sisi lain Kota Madiun, tepat pukul 9 pagi blusukan saya mulai dengan
mengambil titik awal dari Stasiun Madiun. Dalam blusukan saya kali ini, ada
sebanyak 26 stasiun dan halte yang akan saya lintasi, akan tetapi sesuai dengan
data yang sudah saya persiapkan dan referensi yang saya baca sebelumnya hanya
beberapa stasiun saja yang saat ini masih berdiri, sisanya sudah hilang
tergusur pembangunan kota.
Daftar stasiun dan halte yang terletak
di sepanjang jalur dari Madiun hingga Ponorogo adalah: Stasiun Madiun – Halte
Madiun Pasar Besar – Halte Sleko – Stasiun Kanigoro – Halte Kepuh – Stasiun
Pagotan – Halte Uteran – Halte Slambur – Halte Delopo – Halte Umbul – Stasiun
Milir – Halte Kanten – Halte Polorejo – Stasiun Ponorogo – Halte Surodikraman –
Stasiun Siman – Halte Brahu – Halte Grageh – Halte Demangan – Stasiun Jetis –
Halte Ngasinan – Stasiun Balong – Halte Nailan – Halte Banggel – Halte Broto –
Stasiun Slahung.
Stasiun Madiun Tempo
Dulu
Sumber: kitlv.nl
Perjalanan saya yang pertama adalah
mencari bekas jalur percabangan dari Stasiun Madiun menuju Halte Madiun Pasar
Besar. Sesuai dengan peta Belanda tahun 1922, jalur percabangan tersebut
terletak disebelah timur Stasiun Madiun. Saya pun segera meluncur ke sisi timur
Stasiun Madiun. Benar saja, disebelah timur stasiun atau tepatnya di Jalan
Kemuning, saya menjumpai sebuah portal besi dimana terdapat bekas jalur keluar
area Stasiun Madiun, tepatnya disebelah gang kecil menuju perkampungan warga.
Bekas jalur tersebut samar tertutup
semak yang sangat lebat. Akan tetapi jika kita perhatikan secara seksama bekas
percabangan rel masih bisa kita temukan.
Selain melalui pengamatan, sebenarnya kita juga bisa mencocokkan antara
sudut jalan dititik percabangan tersebut dengan peta buatan Belanda yang persis
membentuk sudut melengkung.
Bekas Jalur Percabangan di Sisi Timur Stasiun Madiun
Beranjak dari Jalan Kemuning,
perjalanan saya lanjutkan menyusuri perkampungan warga yang saya duga sebagai
bekas jalur kereta. Tidak mudah bagi saya menemukan bekas jalur kereta di
lokasi tersebut. Padatnya perumahan penduduk dan sedikitnya patok milik PT. KAI
serta minimnya pengetahuan saya mengenai daerah tersebut membuat saya agak
kesulitan mencari bekas jalur kereta menuju Halte Pasar Besar. Saya pun masuk
ke Jalan TGP di Kelurahan Oro-Oro Ombo kemudian tembus di Jalan Halmahera.
Disana saya melihat patok besi tertancap dipinggir jalan. Menurut perkiraan
saya jalur kereta masuk ke Jalan Halmahera memotong jalan Diponegoro kemudian
berbelok menuju Halte Pasar Besar.
Bekas Jalur
Kereta di Oro-Oro Ombo
Masuk
ke Jalan Halmahera saya berhasil menemukan beberapa patok besi milik PT. KAI.
Saya kembali dibingungkan dengan banyaknya gang yang ada disana. Saya putuskan
untuk ambil jalan kekanan dan tembus di Jalan Bali. Di traffic light Jalan Bali terdapat sebuah patok tertancap disebelah
kiri jalan. Dari titik tersebut berbelok ke kanan menuju Pasar Besar Madiun.
Sesampainya di Pasar Besar Madiun hanya bangunan modern yang saya temui.
Menurut informasi yang saya dapatkan, Halte Pasar Besar Madiun dulu terletak
diseberang Pasar. Bangunan halte sudah dirubuhkan dan digantikan dengan
bangunan ruko modern.
Sepanjang
penelusuran saya dari Stasiun Madiun hingga Pasar Besar Madiun saya sudah tidak
menjumpai bekas jalur kereta api yang masih terlihat. Asumsi saya bekas jalur
tersebut kini telah tertimbun oleh aspal jalan raya serta telah tertutup oleh
bangunan-bangunan baru milik masyarakat.
Pasar Besar
Madiun
Bekas Jalur
Kereta di Depan Pasar Besar Madiun Tahun 1930
Sumber: kitlv.nl
Kereta Melintas di
Tengah Kota Madiun
Sumber: Copyright Rob Dickinson
Jika
dilihat dari peta buatan Belanda, sebenarnya di jalur tengah Kota Madiun
terdapat percabangan jalur kereta menuju ke kawasan Kauman. Akan tetapi jalur
menuju Kauman tersebut buntu hingga sungai yang membelah Kota Madiun. Saya
kurang tahu persis apa fungsi jalur tersebut, namun kemungkinan jalur tersebut
ada kaitannya dengan aktivitas perdagangan yang ada di Kota Madiun zaman dulu.
Beranjak
dari Pasar Besar Madiun, perjalanan saya lanjutkan menuju Pasar Sleko untuk
mencari lokasi Halte Sleko. Jalan menuju Sleko searah dengan jalan menuju ke
Ponorogo sehingga tidaklah sulit untuk menemukannya. Kurang lebih 15 menit
akhirnya saya tiba di Pasar Sleko. Disekitar area pasar saya sudah tidak
menjumpai bangunan yang menyerupai bangunan stasiun atau halte, yang tampak
hanyalah sebuah plang milik PT. KAI tertancap diseberang jalan tepat di depan
barisan ruko bertingkat. Itulah satu-satunya petunjuk yang bisa saya temukan
disana. Menurut referensi, bangunan Halte Sleko memang sudah tidak ada. Lokasi
bekas bangunan halte kini telah digantikan dengan barisan ruko modern
bertingkat. Berhubung tidak ada petunjuk lain yang bisa saya dapatkan,
perjalananpun saya lanjutkan kembali.
Bekas Lokasi
Halte Sleko
Perjalanan
saya lanjutkan kembali menuju PG Kanigoro. Menurut informasi yang saya dapatkan
di PG Kanigoro dulu terdapat sebuah stasiun untuk mengangkut penumpang dan
tetes tebu dari pabrik gula. Jarak dari Sleko menuju Kanigoro lumayan jauh.
Disepanjang perjalanan saya berusaha mencari jejak jalur kereta api menuju ke
Kanigoro. Tiba di Kelurahan Banjarejo Kecamatan Taman atau tepatnya di Jalan
Mangkuprajan, saya mulai menjumpai banyak patok milik PT. KAI. Patok-patok
tersebut tertancap di pinggir jalan perkampungan di dekat UII Madiun dan tembus
hingga Jalan Kapten Tendean.
Dari Jalan Kapten Tendean saya lurus
masuk ke perkampungan hingga tembus ke PG Kanigoro. Sesampainya di pabrik gula,
saya mulai menjumpai sisa-sisa rel kereta yang berubah fungsi menjadi pagar
pabrik. Saya mencoba mengamati di sekitar pabrik mencari bangunan yang
menyerupai bangunan stasiun. Pencarian saya nihil tak membuahkan hasil.
Akhirnya saya putuskan untuk kembali berputar arah. Saya mencoba masuk kesebuah
gang di kanan jalan tepat disamping pabrik. Sambil terus mengamati
bangunan-bangunan di sekitar pabrik akhirnya saya tiba di ujung gang dimana
terdapat sawah dan kebun tebu. Ternyata secara tak disengaja saya menemukan
bangunan Stasiun Kanigoro yang masih gagah berdiri di kanan saya.
Bekas Jalur
Kereta di Jalan Mangkuprajan Menuju Kanigoro
Bekas
Stasiun Kanigoro
Stasiun
Kanigoro dibangun pada tahun 1907 di ketinggian 78 meter. Stasiun ini dulu
digunakan untuk angkutan penumpang dan angkutan gula dari PG Kanigoro. Seiring
dengan berjalannya waktu, stasiun ini mulai sepi penumpang karena kecepatan
kereta yang lambat dan mulai banyaknya moda transportasi lain berbasis jalan
raya. Selain itu, prasarana kereta api yang sudah tua juga menjadi alasan
ditutupnya jalur ini. Akhirnya pada tahun 1984 stasiun ini resmi ditutup. Kini
bangunan stasiun nampak sepi tak berpenghuni. Kondisi bangunan stasiun pun
masih bisa dikatakan bagus dengan warna cat yang beraneka ragam. Disekitar stasiun saya sudah tidak bisa menemukan
bekas rel kereta api. Mungkin bekas rel sudah dicabuti warga untuk dijadikan
pagar seperti yang saya lihat di depan pabrik gula. Dari Stasiun Kanigoro
perkiraan saya jalur kereta melintas di tengah kebun dan persawahan milik warga
menuju ke arah Ponorogo.
Sebenarnya
sebelum sampai di Stasiun Kanigoro saya sempat tersesat hingga daerah
Kertosari. Disana saya menemukan banyak bekas jalur kereta api tepat berdiri
sejajar di samping jalan raya Madiun-Ponorogo. Mungkin jika ditarik sebuah
garis, bekas rel di Kertosari akan terhubung dengan Stasiun Kanigoro yang ada
di sebelah utara.
Beranjak
dari Stasiun Kanigoro, perjalanan saya lanjutkan menuju PG Pagotan untuk
mencari lokasi Stasiun Pagotan. Niat hati ingin mencari jalan pintas, apa daya
saya justru malah tersesat. Beberapa kali saya harus bertanya kepada orang
dipingir jalan untuk menunjukkan arah menuju Pagotan. Dengan petunjuk dari
orang yang saya tanyai di pinggir jalan, akhirnya saya menuju Pagotan via
Dagangan. Sebenarnya bekas jalur rel
menuju Pagotan berada di wilayah Kertosari, akan tetapi dari pada harus memutar
balik dan pertimbangan efisiensi waktu akhirnya saya putuskan untuk tetap
melanjutkan perjalanan via Dagangan. Kurang lebih 30 menit perjalanan akhirnya
saya sampai di Pasar Pagotan yang berada tepat disamping PG Pagotan. Disekitar
pasar saya tidak menjumpai bangunan yang mirip dengan bangunan stasiun. Hanya
bangunan ruko modern yang berjejer menghiasi pasar. Akhirnya saya mencoba masuk
kesebuah gang di belakang pabrik gula yang cukup sepi. Dikiri jalan secara tak
sengaja saya menemukan bangunan Stasiun Pagotan yang tampak kumuh tapi masih
utuh berdiri. Bangunan tampak tak terawat dengan ditutupi seng.
Bekas Jalur
Kereta Menuju Pagotan di Kertosari
Stasiun
Pagotan memiliki fungsi yang sama seperti Stasiun Kanigoro. Selain melayani
penumpang, dulu stasiun ini juga melayani angkutan gula dari PG Pagotan.
Stasiun ini didirikan pada tahun 1922 pada ketinggian 84 meter. Senasib dengan
Stasiun Kanigoro, pada tahun 1984 stasiun harus ditutup karena sepinya
penumpang yang mulai beralih ke moda transortasi lain.
Bekas Stasiun
Pagotan
Stasiun Pagotan
Tahun 1969
Sumber: Copyright James Waite
Lokomotif B5012
Melintas di Pagotan
Sumber: Copyright James Waite
Dari
Pagotan perjalanan saya lanjutkan menuju Ponorogo. Sebenarnya disepanjang
Pagotan hingga Ponorogo ada beberapa halte dan stasiun, akan tetapi menurut
referensi yang saya dapatkan semua bangunannya telah hilang tak bersisa.
Melintasi daerah Milir saya banyak menemukan sisa-sisa bekas jalur rel kereta
api dan pondasi jembatan kereta api berdiri tepat disamping jalan raya. Bekas
jalur kereta kadang berada di sebelah kanan jalan, namun dibeberapa titik jalur
berpindah ke kiri jalan bersinggungan dengan jalan raya Madiun-Ponorogo.
Sebenarnya jika diamati lebih detail, didaerah Milir ini bekas jalur kereta
hampir berdampingan dengan jalur decauvile
milik PG Pagotan. Hal ini saya buktikan dengan adanya sebuah bekas jembatan
lori yang terletak hampir berdampingan dengan bekas jembatan kereta menuju
Ponorogo.
Tak
berapa lama kemudian, akhirnya saya mulai memasuki wilayah Kabupaten Ponorogo.
Disana saya masih bisa menemukan beberapa bekas pondasi jembatan kereta api
yang kokoh berdiri di pinggir jalan. Menurut analisa saya, dulu posisi rel
lebih tinggi dari jalan raya, hal ini dibuktikan dengan posisi bekas pondasi
penyangga jembatan yang memiliki ketinggian lebih tinggi dari jalan raya.
Bekas Jalur
Kereta di Milir
Kereta Berhenti
di Milir
Sumber: Copyright Rob Dickinson
Gapura Masuk
Kota Ponorogo
Masuk
kedalam kota saya bergegas mencari lokasi bekas Stasiun Ponorogo. Di Jalan
Soekarno-Hatta tepatnya disamping traffic
light, saya menemukan sebuah bekas tiang sinyal berdiri di kanan jalan.
Sinyal tersebut kemungkinan adalah sinyal masuk Stasiun Ponorogo. Terus
berjalan akhirnya saya menjumpai sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai
warung makan bertuliskan rumah dinas Stasiun Ponorogo. Perkiraan saya di
sekitar area itulah dahulu Stasiun Ponorogo pernah berdiri.
Tak puas dengan hanya menjumpai
bangunan rumah dinas kepala stasiun, saya pun mencoba mencari jejak keberadaan
Stasiun Ponorogo yang menurut cerita disana dulu juga terdapat turntable untuk memutar lokomotif. Sayapun
mencoba masuk ke sebuah gang kecil dibelakang rumah dinas kepala stasiun dengan
harapan bisa menemukan petunjuk. Disana terdapat sebuah pabrik tempe dimana
saya melihat sebuah lubang melingkar tertutup semak-semak di belakang pabrik
tersebut. Sayang sekali saya tidak bisa mendekat, karena area tersebut ditutupi
pagar oleh siempunya rumah. Saya hanya bisa memperkirakan bahwa kemungkinan itu
adalah bekas turntable milik Stasiun
Ponorogo. Diarea yang saya perkirakan adalah bekas emplasemen Stasiun Ponorogo
tersebut, saya juga menemukan bekas jalur kereta yang mengarah ke Slahung. Akan
tetapi sayang, saya tidak bisa memperkirakan berapa jalur yang ada di
emplasemen karena kondisi rel yang sudah tidak utuh akibat telah tertutup tanah
dan hilang.
Kereta Melintas
di Ponorogo
Sumber: Copyright Rob Dickinson
Bekas Sinyal
Masuk Stasiun Ponorogo
Bekas Rumah Dinas Kepala Stasiun Ponorogo
Bekas Emplasemen
Stasiun Ponorogo
Stasiun Ponorogo
Tempo Dulu
Sumber: Copyright Rob
Dickinson
Stasiun Ponorogo
adalah stasiun terbesar dilintas jalur Madiun Ponorogo setelah Stasiun Madiun
yang dibangun oleh perusahaan kereta Hindia Belanda Staats Spoorwegen (SS).
Stasiun ini dibuka pada kisaran tahun 1922. Pada zaman dahulu stasiun ini juga
terhubung dengan jalur kereta api menuju Sumoroto sebelum akhirnya jalur
tersebut dibongkar oleh Jepang. Tahun 1984 adalah tahun terakhir stasiun ini
beroperasi setelah ditutup oleh pemerintah karena menurunnya jumlah penumpang.
Dari
lokasi bekas Stasiun Ponorogo perjalanan saya lanjutkan kembali menuju Jetis.
Saat melintasi daerah Siman saya menjumpai banyak sekali bekas rel yang masih
utuh berjajar tepat dipinggir jalan. Di daerah Siman ini dahulu juga terdapat
stasiun dan halte. Akan tetapi menurut referensi yang saya dapatkan bangunan
stasiun dan halte disepanjang area tersebut sudah dirubuhkan.
Akhirnya
tak berapa lama kemudian perjalanan saya tiba di Pasar Jetis, sayapun segera
mencari lokasi posisi Stasiun Jetis. Tak sulit bagi saya menemukan bangunan
bekas Stasiun Jetis. Bangunan bekas Stasiun Jetis terletak disebelah kanan
jalan setelah pasar. Bangunannya masih tampak terawat dengan cat warna putih
bersih. Sayapun menyempatkan untuk masuk ke area emplasemen stasiun yang saya
perkirakan berada dibagian belakang bangunan. Diarea tersebut saya masih bisa
melihat dua jalur kereta api yang membentang menuju Slahung meskipun kondisinya
sudah tertutup oleh tanah dan semak belukar.
Bekas Jalur
Kereta di Siman
Bekas Bangunan
Stasiun Jetis
Bekas Emplasemen
Stasiun Jetis
Dari
Stasiun Jetis perjalanan saya lanjutkan kembali menuju daerah Balong. Sepanjang
perjalanan saya menuju Balong, saya kembali menjumpai banyak bekas rel kereta
berjajar disamping jalan raya. Rata-rata kondisi rel masih utuh meskipun
dibeberapa titik ada yang sudah hilang. Kondisi ini mengingatkan saya pada
blusukan di Grobogan - Blora dimana posisi rel juga berada tepat disamping
jalan raya.
Tak lama kemudian saya tiba di
Ngasinan. Dulu di daerah ini terdapat sebuah halte kereta api, tetapi saat saya
berada di Pasar Ngasinan saya sudah tidak menjumpai bekas bangunan halte.
Kemungkinan bangunan halte sudah dirubuhkan. Untuk menuju darerah Balong, dari
perempatan Ngasinan berbelok ke kanan jika dari arah Jetis. Saya sempat
tersesat diperempatan ini karena salah mengambil arah. Seharusnya arah yang
saya ambil adalah berbelok kekanan, akan tetapi waktu itu saya justru mengambil
arah lurus sehingga sempat tersesat cukup jauh.
Saat saya memasuki wilayah Balong
hujan mulai turun. Kondisi bekas jalur rel disana rata-rata sudah tertutup oleh
perumahan warga dan sedikit sekali bekas rel yang masih utuh. Hanya beberapa
bekas pondasi jembatan kereta yang sesekali terlihat. Tak lama kemudian
akhirnya saya menjumpai bekas bangunan Stasiun Balong. Bangunan stasiun berdiri
tepat di sebelah kanan jalan raya. Letaknya berada sebelum perempatan Balong
atau sebelum Pasar Balong.
Bekas Jalur
Kereta di Ngasinan
Bekas Bangunan
Stasiun Balong
Bekas
Jalur Kereta di Emplasemen Stasiun Balong
Stasiun
Balong dibangun pada tahun 1922 oleh perusahaan kereta api Hindia Belanda
Staats Spoorwegen (SS). Sama dengan stasiun-stasiun sebelumnya, Stasiun Balong ditutup
pada tahun 1984 karena jumlah penumpang yang menurun drastis. Kini bangunan
stasiun dimanfaat sebagai tempat tinggal dan toko kelontong dengan kondisi yang
masih cukup terawat.
Beranjak
dari Stasiun Balong, dengan kondisi diguyur hujan perjalanan saya lanjutkan
menuju Slahung. Tiba di perempatan Balong, saya kembali bingung dengan jalan
yang harus saya ambil. Dua kali saya salah mengambil arah. Ternyata jalan
menuju Slahung adalah berbelok kekiri dari Stasiun Balong. Saat perjalanan
menuju Slahung hujan semakin deras menghujam. Hal ini menyulitkan saya untuk
mengamati bekas jalur kereta api yang mungkin masih tersisa.
Untuk
menghemat waktu, perjalanan tetap saya lanjutkan meskipun kondisi hujan deras.
Sambil berjalan pelan, beberapa kali saya menemukan bekas rel menuju Slahung
berada dikiri jalan. Dibeberapa titik yang tersisa hanyalah gundukan tanah
bekas jalur kereta yang melintasi perkebunan warga.
Disepanjang
jalur dari Madiun hingga Ponorogo, patok penanda bekas jalur kereta api masih
menggunakan patok lama (patok dengan logo PT. KAI lama) dan patok dari bekas besi
rel. Tak jarang beberapa patok tersebut sudah tidak jelas logo dan tulisannya.
Hal ini berbeda dengan kondisi patok yang saya temui dibeberapa tempat yang
pernah saya datangi dimana sudah menggunakan patok dengan logo PT. KAI yang
baru.
Bekas Rel di
Area Pasar Balong
Memasuki
wilayah Slahung, kondisi jalan mulai sedikit berkelok-kelok. Pemandangan di
sana sangat indah dengan bukit-bukit hijau menjulang yang nampak dari kejauhan.
Mungkin pemandangan seperti itu akan semakin indah jika disaksikan dari atas
kereta api. Pemandangan seperti ini mengingatkan saya akan jalur kereta api
Wonogiri-Baturetno yang memiliki nasib serupa dengan jalur di Slahung ini.
Mungkin jika jalur tersebut masih aktif, pemandangannya juga akan seindah di
jalur ini.
Di Slahung saya melihat gundukan tanah
yang saya perkirakan adalah bekas jalur kereta api terbentang memanjang di tengah
persawahan. Bahkan saya juga sempat menemukan bekas perpotongan jalur kereta
dengan jalan raya. Tak terasa perjalanan saya telah sampai di Pasar Slahung
yang juga berfungsi sebagai Sub Terminal Slahung. Saya mencoba memasuki area
pasar yang saya duga dibelakang pasar tersebutlah bekas Stasiun Slahung
Berdiri. Dugaan saya tepat, dibelakang pasar itulah Stasiun Slahung berdiri.
Perpotongan Rel dengan Jalan Raya di Slahung
Bekas Bangunan
Stasiun Slahung
Stasiun Slahung
Tempo Dulu
Sumber: Copyright Rob Dickinson
Kereta Menuju
Slahung
Sumber: Copyright Rob Dickinson
Stasiun
Slahung didirikan pada tahun 1922 dan terletak pada ketinggian 154 meter.
Menurut referensi yang saya baca, dulu jalur di stasiun ini sempat akan
diperpanjang hingga Trenggalek. Namun hingga masa pendudukan Belanda berakhir
rencana tersebut tak kunjung terealisasi. Stasiun ini menjadi stasiun paling
ujung di jalur Ponorogo. Tahun 1984 adalah tahun terakhir stasiun ini
beroperasi. Sedikitnya jumlah penumpang membuat pemerintah harus menutup jalur
kereta disepanjang Madiun-Ponorogo. Sisa-sisa alat kereta api pun sudah tidak
bisa saya temui disini. Bahkan di bagian bekas emplasemen stasiun pun sudah
tidak tampak bekas rel kereta api. Kini bangunan stasiun digunakan warga sebagai
tempat menyimpan jahe.
Setelah
hujan cukup reda, perjalanan saya lanjutkan. Kali ini tujuan saya yang terakhir
adalah menuju kawasan Badegan Sumaroto. Menurut peta Kota Ponorogo buatan
Belanda yang saya miliki, dulu terdapat sebuah jalur percabangan dari Ponorogo
menuju Badegan. Menurut refensi dijalur tersebut terdapat beberapa halte dan
stasiun, diantaranya adalah: Badegan – Kapuran – Srandil – Sumoroto – Karanglo.
Kebetulan jalur ini searah dengan jalan pulang saya via Purwantoro Wonogiri.
Setibanya
di Badegan, saya sama sekali tidak menemukan jejak peninggalan kereta api
disana. Bahkan patok milik PT. KAI satupun tidak saya jumpai. Bekas bangunan
seperti pondasi jembatan kereta api juga tidak saya temukan. Menurut informasi
yang saya peroleh, jalur kereta api dari Ponorogo hingga Badegan dulu dibongkar
oleh Jepang saat menjajah Indonesia. Entah dipindah kemana rel-rel tersebut
saya juga belum menemukan referensi yang jelas. Tapi menurut sebuah artikel
yang saya baca, Bekas lokasi Stasiun Badegan terletak di komplek Pasar Badegan,
akan tetapi bangunan stasiun sudah tidak bersisa sama sekali.
Karena tak satupun jejak kereta yang
saya temukan di Badegan, sayapun lanjut meneruskan perjalanan pulang menuju
Solo via Wonogiri. Sesampainya di Wonogiri sebenarnya ada rencana untuk mampir
ke Stasiun Wonogiri untuk melihat persiapan reaktivasi jalur Solo-Wonogiri yang
rencananya akan di lewati railbus
Batara Kresna. Akan tetapi saya kurang beruntung, sesampainya di Wonogiri saya
disambut dengan hujan yang amat deras hingga Solo. Terpaksa rencana tersebut
urung saya lakukan.
Tepat pukul setengah lima sore
akhirnya saya tiba di Solo dengan kondisi basah kuyup. Jika kembali mengingat
bekas jejak jalur kereta api dari Madiun hingga Ponorogo, saya rasa akan sulit
untuk menghidupkan kembali jalur tersebut meskipun hal itu bisa saja dilakukan.
Hal ini saya dasarkan pada kondisi jalur yang berada di tengah kota dan banyak
bersinggungan dengan jalan raya. Akan tetapi saya secara pribadi juga berharap
suatu saat jalur tersebut bisa dihidupkan kembali sebagai sarana transportasi
alternatif bagi warga Madiun dan Ponorogo.
_________________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
_________________________
PRIMA UTAMA / 2015 / WA: 085725571790 / FB, MAIL: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama