MENCARI JEJAK TRAM DI KOTA MALANG
BAGIAN I
Siapa yang tidak kenal dengan Kota Malang.
Kota kecil berhawa sejuk ini ternyata banyak menyimpan segudang sejarah dimasa
lalu yang menarik untuk diperbincangkan. Lokasinya yang strategis, hawanya yang
sejuk, serta tanahnya yang subur, membuat warga Belanda kala itu
berbondong-bondong untuk bermukim diwilayah ini. Maka tak ayal jika disetiap
sudut Kota Malang banyak kita jumpai bangunan-bangunan tua bergaya indische yang berdiri kokoh menghiasi
kota.
Ramainya
Kota Malang dimasa lalu turut mengundang banyak perusahaan Hindia Belanda untuk
mendirikan perusahaannya di wilayah ini. Sebagai contoh adalah Malang Stoomtram
Maatschappij (MSM) yang merupakan perusahaan kereta tram swasta Hindia Belanda
yang beroperasi di wilayah Malang dan sekitarnya. MSM didirikan pada tanggal 14
November 1897 dengan kantor pusat di Jagalan. Dahulu selain ditujukan untuk
angkutan penumpang, tram di Kota Malang juga difungsikan sebagai angkutan
distribusi hasil perkebunan dan hasil industri seperti gula.
Tercatat
beberapa rute perjalanan yang pernah dilayani oleh MSM, diantaranya adalah:
Blimbing – Tumpang, Jagalan – Singosari, Jagalan – Blimbing, Kepanjen –
Gondanglegi, Malang Kotalama – Gondanglegi, dan Gondanglegi – Dampit. Dari
beberapa rute tersebut, ada rute yang terhubung dengan jalur kereta api milik
Staats Spoorwegen (SS). Hal ini ditujukan agar penumpang yang ingin bepergian
di kota lain di Pulau Jawa bisa berganti kereta dan melanjutkan perjalanan.
Beberapa
stasiun besar tercatat juga pernah dimiliki oleh MSM, diantaranya adalah:
Stasiun Jagalan, Stasiun Gondanglegi, Stasiun Dampit, Stasiun Kepanjen MSM,
Stasiun Tumpang, Stasiun Blimbing MSM, dan Stasiun Singosari MSM. Seiring
dengan berjalannya waktu dan berkembangnya moda transportasi darat, kereta tram
mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena kecepatannya yang terbatas dan kurang
fleksibel. Akhirnya pada dekade 1970-an, kereta tram di Malang resmi ditutup
oleh pemerintah karena menurunnya jumlah penumpang dan kalah bersaing dengan
moda transportasi jalan raya seperti bus dan mobil pribadi. Sarana dan
infrastruktur tram yang sudah tua juga turut menjadi alasan ditutupnya tram di
Kota Malang.
Peta Jalur Tram
di Kota Malang
Sumber: kitlv.nl
Panjangnya sejarah tram di Kota Malang membuat
saya tertarik untuk menelisik lebih jauh bukti-bukti keberadaan tram dimasa
lalu. Sabtu 8 Agustus 2015, kebetulan saya mendapatkan kesempatan berkunjung kembali
ke Kota Malang. Entah ini kunjungan saya yang keberapa, tapi kunjungan saya
kali ini berbeda dari kunjungan saya sebelumnya. Tujuan saya datang ke Kota
Malang kali ini adalah untuk blusukan mencari jejak tram di Kota Malang,
meskipun sebenarnya ada beberapa acara lain yang harus saya ikuti.
Dalam blusukan saya kali ini, saya
mencoba untuk mencari bukti-bukti keberadaan tram di Kota Malang yang masih
bisa saya jumpai. Sesuai dengan rencana, blusukan saya lakukan pada hari Sabtu
tanggal 8 Agustus 2015. Sebenarnya waktu itu ada rencana memulai blusukan pada
pukul enam pagi untuk efisiensi waktu, tapi karena kondisi jalanan yang sangat
ramai dan macet maka perjalanan saya tunda menunggu kondisi jalan raya
lenggang. Seperti biasa blusukan kali ini saya lakukan sendiri dengan
menggunakan sepeda motor pinjaman. Sebenarnya ada sedikit rasa takut mengingat
rumitnya jalan di Kota Malang serta banyaknya jalan yang belum saya ketahui
sebelumnya. Tapi dengan bermodal tekat dan nekat akhirnya rasa takut itu bisa
saya atasi.
Tepat pukul tujuh pagi saya
berangkat meninggalkan hotel. Tujuan pertama saya kali ini adalah di petak
Blimbing – Tumpang yang terletak di sebelah utara Kota Malang. Tidaklah mudah
bagi saya menemukan jalan menuju Blimbing. Saya harus berputar-putar di
Alun-Alun Kota Malang beberapa kali karena bingung dengan arah yang harus saya
ambil. Akhirnya dengan petunjuk dari seorang warga yang saya jumpai dipinggir
jalan, saya ditunjukkan jalan menuju Blimbing yang ternyata melewati Stasiun
Kotabaru Malang.
Saat melintas di Alun-Alun Kota
Malang, saya teringat akan sebuah foto lawas yang saya miliki dimana di
alun-alun tersebut dahulu pernah dilewati oleh jalur tram tepat di
tengah-tengahnya. Sebelum menuju Blimbing sesuai dengan petunjuk dari warga
yang saya temui tadi, saya menyempatkan untuk mencari jejak-jejak tram yang
mungkin masih bisa saya temui di sekitar alun-alun. Sembari berjalan pelan saya
mengitari area alun-alun dengan harapan bisa menemukan petunjuk.
Setelah
melakukan pengamatan secara seksama, ternyata tak satupun petunjuk yang bisa
saya temui disana. Bahkan patok-patok milik PT. KAI yang biasanya saya jumpai
ditempat lain sebagai penanda tidak satupun saya temukan. Sebenarnya jika
dilihat dari peta lawas buatan Belanda, banyak rute tram yang melintasi
sudut-sudut Kota Malang. Akan tetapi karena pembangunan kota yang begitu pesat
membuat bekas jalur-jalur tram tersebut tertutup oleh pembangunan kota seperti
jalan raya dan gedung-gedung baru. Akhirnya dengan berat hati perjalanan saya lanjutkan
menuju Blimbing karena pertimbangan waktu yang terbatas yang saya miliki.
Alun-Alun Kota
Malang
Tram Melintas di
Alun-Alun Kota Malang Tahun 1930
Sumber: Tropen
Museum
Tak terasa perjalanan saya tiba di
Stasiun Kotabaru Malang. Disini saya sempat beristirahat sejenak sembari
mengamati aktivitas yang ada di stasiun. Perjalananpun kemudian saya lanjutkan
kearah utara menuju Blimbing. Tak seperti yang saya bayangkan, ternyata jarak
dari Stasiun Kotabaru hingga Blimbing cukup jauh. Kondisi jalan yang ramai dan
macet dibeberapa titik cukup memakan waktu saya. Akhirnya perjalanan saya tiba di Blimbing. Disana saya menyempatkan diri
untuk mampir di Stasiun Blimbing.
Sebenarnya di Blimbing terdapat dua stasiun kereta, yakni
Stasiun Blimbing SS yang masih aktif dan Stasiun Blimbing MSM yang non aktif. Karena
waktu yang sudah terlalu siang dan kurangnya informasi yang saya miliki terkait
lokasi bekas Stasiun Blimbing milik MSM, maka saya tidak menyempatkan untuk
mencari lokasi bekas stasiun tersebut. Mungkin dilain waktu saya akan
mencarinya. Beranjak dari Stasiun Blimbing SS perjalanan saya lanjutkan menuju Tumpang.
Dari Blimbing menuju Tumpang tercatat ada beberapa halte dan stasiun,
diantaranya adalah: Stasiun Blimbing, Halte Wendit, Halte Bugis, Halte Bunut,
Stasiun Pakis, Halte Pakis, Halte Pasir, Halte Tjokro, Halte Jeru, Halte
Malangsuko, dan Stasiun Tumpang.
Stasiun Blimbing
SS
Bangunan Gudang
Stasiun Blimbing SS
Berjalan pelan menuju Wendit saya
mulai menjumpai bekas jalur tram di wilayah Blimbing yang berada disebelah
kanan jalan raya. Kondisinyapun masih bisa dikatakan baik. Posisi jalur tram
tersebut kini telah banyak yang berubah menjadi trotoar. Dibeberapa titik saya
juga menjumpai beberapa patok dan plang milik PT. KAI yang tertancap dipinggir
jalan.
Tak terasa perjalanan saya tiba diwilayah Wendit. Disini
posisi rel berpindah disebelah kiri jalan raya. Kali ini bekas jalur trem masuk
kedalam perkampungan warga. Saya agak kesulitan mencari bekas jalur tram di
wilayah ini karena bekas jalur tram banyak yang telah tertutup dengan rumah-rumah
penduduk yang sangat padat. Terus berjalan pelan, akhirnya saya menjumpai
sebuah jembatan yang ukurannya cukup besar melintang diatas sebuah sungai.
Diujung jembatan saya sempat berhenti sejenak sembari mengamati kondisi sekitar
dengan harapan akan menemukan petunjuk.
Ternyata
saya berhenti ditempat yang tepat. Disamping saya terdapat sebuah gapura kecil
sebagai gerbang masuk ke perkampungan warga yang berada di utara jalan. Di
gapura tersebut tertulis kata “Tram”. Mungkin dikampung ini ada petunjuk mengenai
jalur tram yang saya cari. Sayapun kemudian masuk kedalam perkampungan tersebut
dengan harapan akan menemukan jejak-jejak bekas jalur tram dilokasi tersebut.
Ternyata
perkiraan saya benar, di tengah-tengah perkampungan yang padat tersebut terdapat
bekas jalur tram yang membelah perkampungan menjadi dua bagian. Bahkan rel
bekas jalur tram pun masih bisa saya temui dalam kondisi yang masih utuh.
Mungkin bekas jalur tram tersebut sengaja dipertahankan oleh warga sekitar
sebagai identitas kampung dan penanda bahwa dahulu dikampung tersebut pernah
dilalui kereta tram.
Sayapun
mencoba menelusuri bekas jalur tram yang berada tepat di tengah-tengah
perkampungan warga. Sebenarnya ada perasaan aneh saat saya berjalan pelan
mengendarai motor di jalur tersebut, entah itu hanya perasaan saya saja tapi
saya merasa banyak warga yang menatap saya dengan tatapan yang aneh. Dengan
modal nekat sayapun tetap meneruskan penelusuran saya.
Akhirnya
setelah berjalan kurang lebih 100 meter, saya baru tersadar kalau jalan yang
saya lalui tersebut adalah jalur buntu. Mungkin inilah alasan tatapan aneh
warga yang saya jumpai sebelumnya yang mungkin mengisyaratkan kepada saya untuk
berputar arah karena jalan yang saya lalui adalah jalan buntu. Diujung jalan
buntu tersebut, terdapat sebuah bekas jembatan tram yang kondisinya kurang
begitu terawat. Hanya pejalan kaki saja yang bisa melewati jembatan tersebut,
karena bagian atas jembatan hanya ditutupi oleh anyaman bambu saja.
Didekat
jembatan kebetulan saya bertemu dengan sekelompok keluarga yang sedang
bersantai diteras rumah. Sayapun menyempatkan diri untuk beramah tamah sembari
menanyakan informasi mengenai jalur tram yang melintasi area tersebut. Salah
seorang dari mereka menceritakan kepada saya bahwa jalur tram yang dulu
melintas di area tersebut memanjang hingga ke area Bandara Abdul Rachman Saleh
hingga ke Tumpang. Mereka juga menyinggung sedikit mengenai keberadaan Stasiun
Blimbing MSM yang dulu menghubungkan jalur tersebut. Saya juga sempat
menanyakan beberapa halte seperti Halte Wendit dan stasiun tram yang ada
dipetak tersebut, akan tetapi sayang mereka tidak mengetahui hal tersebut.
Mereka hanya menyinggung sedikit mengenai keberadaan Stasiun Pakis dan Stasiun
Tumpang dan sayapun disarankan untuk bertanya pada warga didaerah Pakis dan
Tumpang.
Bekas Jalur Tram
di Blimbing
Bekas Jalur Tram
di Wendit Bersinggungan dengan Jalan Raya
Kampung Tram di
Wendit Barat
Bekas Jalur Tram
di Kampung Tram
Bekas Jembatan
Tram di Wendit
Halte Wendit
Tahun 1906
Sumber:
kitlv.pictura-dp.nl
Setelah cukup mendapatkan informasi
dari warga tersebut sayapun berpamitan dan tak lupa mengucapkan banyak terima
kasih. Perjalananpun saya lanjutkan meninggalkan Kampung Tram. Tak jauh dari
Kampung Tram saya menjumpai sebuah persilangan jalur tram dengan jalan raya.
Kali ini jalur tram berpindah ke sisi kanan jalan. Hari semakin siang,
mataharipun semakin terik. Sayapun segera tancap gas menuju Pakis mencari bekas
lokasi Stasiun Pakis. Sepanjang perjalanan saya menuju Pakis, tak satupun bekas
halte yang saya temui. Hal ini mungkin karena bangunannya sudah hilang tergusur
oleh pembangunan kota.
Tak terasa perjalanan saya mulai
memasuki wilayah Pakis. Sayapun tiba di pertigaan jalan menuju Bandara Abdul Rachman
Saleh. Disini saya melihat sebuah percabangan jalur tram menuju kearah bandara.
Dengan rasa penasaran, sayapun mengikuti jalur tersebut. Bekas jalur tram
diarea tersebut masih bisa saya amati dengan jelas. Kurang lebih 2 kilometer,
akhirnya saya tiba diarea Bandara. Bekas jalur tersebut masuk menuju kawasan
militer milik Angkatan Udara (AU). Sayang sekali saya tidak bisa menelusurinya
lebih lanjut, karena area tersebut adalah area terbatas.
Titik
Percabangan Jalur Tram Menuju Bandara
Bekas Jalur Tram
Menuju Landasan Udara (Lanud)
Menurut referensi yang saya peroleh,
dahulu bekas jalur tram menuju bandara tersebut digunakan untuk mengangkut
avtur bahan bakar pesawat. Hal ini serupa dengan jalur kereta yang
menghubungkan Stasiun Barat dengan Lanud Iswahjudi di Kabupaten Magetan.
Perjalananpun saya lanjutkan mencari keberadaan Stasiun Pakis. Dalam perjalanan
mencari lokasi bekas Stasiun Pakis, saya masih banyak menjumpai bekas jalur
tram yang ada di pinggir jalan raya. Kondisinya pun banyak yang masih utuh.
Akhirnya perjalanan saya tiba di
Pasar Pakis. Seperti biasa, pasar selalu bisa diandalkan untuk mencari lokasi
stasiun karena biasanya letak stasiun tidaklah jauh dari pasar. Diarea Pasar
Pakis, saya mencoba menjelajahi bagian belakang pasar dengan harapan akan
menemukan bekas bangunan stasiun. akan tetapi sayang, pencarian saya nihil.
Yang saya jumpai dibagian belakang pasar hanyalah patok-patok milik PT. KAI
saja.
Cukup
lama saya berada di lokasi Pasar Pakis karena tak kunjung mendapatkan petunjuk
mengenai keberadaan stasiun disana. Hampir menyerah, akhirnya saya berhenti
sejenak sambil menenangkan pikiran yang mulai kacau. Tak jauh dari lokasi saya
berhenti terdapat seorang ibu paruh baya sedang berjualan gorengan didepan
rumah. Sayapun mencoba menanyakan lokasi bekas Stasiun Pakis kepada beliau. “Wah, kulo mboten ngertos niku mas bekas
Stasiun Pakis. Opo tak celukne Mak e ndisek ya, sopo ngerti weruh”. Ternyata
ibu tersebut juga tidak tahu mengenai keberadaan Stasiun Pakis. Akhirnya saya
disuruh menunggu sebentar sembari memanggil emak
nya yang mungkin tahu mengenai
keberadaan Stasiun Pakis.
Tak
lama kemudian, muncullah ibu tadi dengan seorang perempuan yang sudah tua dari
dalam rumah. Sayapun mencoba menanyakan keberadaan bekas Stasiun Pakis kepada
beliau. “Kuwi lho Mas bekas Stasiun Pakis
ndisek, sing wes dadi warung kuwi. Jaman ndisek stasiune yo kuwi”. Tak
berapa lama kemudian si ibu penjual gorengan pun menyahut pembicaraan kami. “Oalah Mak, kuwi ndisek stasiun tho? Aku
malah ora weroh yen nang Pakis ono Stasiun. Kemudian ibu tua tadi sedikit
bercerita kepada saya bahwa bangunan Stasiun Pakis dulu adalah bangunan yang
telah berubah menjadi toko kelontong tersebut. Beliau juga menyinggung bahwa
sudah lama jalur kereta di Pakis mati. Namun beliau tidak menyebutkan tahun
berapa jalur kereta tram di Pakis mati, mungkin karena sudah lupa karena
terlalu lama.
Sayapun
akhirnya berpamitan kepada beliau dan beranjak menuju toko kelontong bekas Stasiun
Pakis yang hanya berjarak 25 meter dari tempat kami bercakap-cakap. Berada dibagian
depan bangunan bekas Stasiun Pakis hampir saya tidak menyangka kalau bangunan
toko kelontong itu dulunya adalah bangunan stasiun, mekipun sebenarnya dibagian
depan terdapat sebuah plang milik PT. KAI. Saya mulai percaya tatkala saya
menelusuri bagian samping bangunan toko dimana saya masih bisa melihat fasad
bangunan stasiun tersamarkan dengan tembok baru yang menutupinya.
Diarea
bekas Stasiun Pakis, saya sudah tidak menjumpai bekas rel kereta tram yang masih
tersisa. Mungkin karena bekas emplasemen stasiun telah berubah menjadi jalan
raya sehingga membuat bekas-bekas rel terkubur oleh aspal jalan. Berhubung hari
semakin terik perjalananpun saya lanjutkan menuju Tumpang.
Bekas Jalur Tram
di Pakis
Bangunan Stasiun
Pakis
Stasiun Pakis
Tahun 1919
Sumber: Leiden
University
Dalam perjalanan saya menuju
Tumpang, saya sempat menjumpai bekas pondasi jembatan tram yang terletak tak
jauh dari Pasar Pakis berada ditengah ladang. Bekas pondasi jembatan tersebut
bisa dikatakan memiliki ketinggian yang cukup tinggi. Mungkin dahulu jembatan
tersebut digunakan untuk menyesuaikan gradien tanah yang menanjak yang ada di
Pakis. Yang saya sayangkan adalah bekas besi jembatan sudah tidak berbekas sama
sekali. Entah diambil oleh pihak PT. KAI atau orang yang tak bertanggung jawab
saya kurang mengetahuinya. Selain pondasi jembatan besar, saya juga sempat
menjumpai sebuah jembatan kecil yang masih berada di wilayah Pakis.
Perjalanan sayapun hampir tiba di
daerah Tumpang. Sebelum memasuki wilayah Tumpang gradien tanah bisa dikatakan
mulai menanjak. Hal ini mungkin karena letak geografis Tumpang yang dekat
dengan kawasan pegunungan. Posisi rel diarea tersebut berada tepat di area
pemukiman warga yang berada di samping jalan raya. Banyak bekas rel yang sudah
tertutup dengan bangunan rumah milik masyarakat. Diarea ini saya menemukan
bekas titik persimpangan jalur tram dengan jalan raya dimana jalur tram
berpindah kesebelah kanan jalan.
Rel Melintas
Disebuah Pondasi Jembatan di Pakis
Bekas Pondasi
Jembatan Setelah Pasar Pakis
Persimpangan
Jalur Tram dengan Jalan Raya Menuju Tumpang
Tak berapa lama kemudian akhirnya
saya mulai memasuki wilayah Tumpang. Disini bekas jalur tram masih bisa saya
lihat dengan jelas berada tepat di sebelah kanan jalan raya. Dibeberapa titik,
jalur masuk keperkampungan dan perkebunan milik warga. Saya juga sempat
menemukan beberapa bekas pondasi jembatan diarea ini. Seperti halnya di Pakis,
tujuan saya di Tumpang kali ini adalah mencari lokasi Pasar Tumpang karena saya
berasumsi bahwa letak bekas Stasiun Tumpang juga berada diarea pasar.
Setelah cukup jauh melaju akhirnya
tiba juga saya di Pasar Tumpang. Kondisi pasar bisa dikatakan lebih ramai dari
Pasar Pakis. Tak ingin menghabiskan banyak waktu dipasar, akhirnya sayapun
langsung menghampiri seorang nenek yang sedang mengasuh cucunya disebuah
kampung didekat pasar. Saya menanyakan kepada beliau mengenai lokasi bekas
Stasiun Tumpang. Ternyata saya bertanya dengan orang yang tepat. Dengan
hafalnya beliau langsung menunjukkan kepada saya lokasi bekas stasiun yang
ternyata berada di belakang Pasar Tumpang. Dengan penuh semangat, sayapun
segera tancap gas menuju lokasi yang telah ditunjukkan oleh nenek tersebut.
Untuk menuju area belakang Pasar
Tumpang, saya disarankan oleh nenek tadi untuk mengambil jalan disamping
Puskesmas Tumpang. Setibanya diarea Puskesmas, saya sedikit mengalami
kebingungan. Dilokasi tersebut saya menjumpai beberapa patok dan plang milik
PT. KAI tertancap dipinggir jalan. Akan tetapi setelah saya amati secara
seksama area sekitar, bangunan disekitar lokasi tersebut tak satupun yang
mencirikan sebuah bangunan stasiun. Akhirnya sayapun memutuskan untuk mencari
seseorang yang mungkin bisa memberikan petunjuk kepada saya.
Secara tak sengaja, saya berjumpa
dengan seorang warga yang bisa dikatakan sudah sepuh berjalan disekitar kampung didekat pasar. Sayapun menanyakan
bekas lokasi Stasiun Tumpang kepada beliau. Dengan ramahnya beliau langsung
menunjukkan bekas lokasi Stasiun Tumpang sembari menunjuk bangunannya yang
ternyata terletak tidak jauh dari posisi saya. Beliau juga menyarankan kepada
saya untuk melihat didalam bangunan bekas stasiun untuk mendapatkan informasi
yang lebih lengkap. Senang sekali rasanya akhirnya bisa menemukan bekas
bangunan Stasiun Tumpang. Disana saya juga tersadar ternyata nama jalan diarea
stasiun diberi nama “Jalan Stasiun”. Hal ini seperti yang pernah saya jumpai di
Baturetno Wonogiri dan Cepu Blora, dimana lokasi bekas stasiun diabadikan
sebagai nama jalan.
Bekas Pondasi
Jembatan di Tumpang
Bekas
Area Stasiun Tumpang
Bekas Bangunan
Stasiun Tumpang
Diarea bekas emplasemen Stasiun
Tumpang saya sudah tidak bisa menjumpai bekas rel tram. Saat itu mungkin saya
datang diwaktu yang kurang tepat. Bangunan bekas Stasiun Tumpang tampak
tertutup rapat dan tak ada aktivitas yang terlihat didalamnya. Sayapun tidak
bisa melihat bagian dalam bangunan yang menurut informasi yang saya peroleh
masih terdapat loket tempat penjualan tiket didalam bangunan tersebut.
Berhubung
waktu sudah semakin siang sayapun memutuskan untuk kembali melanjutkan
perjalan. Sebenarnya sebelum Stasiun Tumpang terdapat beberapa halte yang
tersebar dibeberapa titik, diantaranya adalah: Halte Pasir, Halte Tjokro, Halte
Djeru, dan Halte Malangsuko. Dari semua halte tersebut menurut referensi yang
saya peroleh semua bangunannya telah lenyap. Hanya Halte Djeru saja yang masih
menyisakan bekas pondasi bangunannya.
Bekas Pondasi
Halte Djeru
Sumber: Copyright Toteaux Horatio
Meninggalkan Stasiun Tumpang
perjalanan saya lanjutkan menuju lokasi selanjutnya yakni di Jagalan yang merupakan
pusat dari Malang Stoomtram Maatschappij (MSM). Kurang lebih pukul sebelas
siang saya tiba di Stasiun Kotalama Malang yang merupakan titik start saya menuju Jagalan. Di Stasiun
Kotalama Malang terdapat sebuah percabangan jalur yang digunakan untuk
mengangkut minyak milik Pertamina yang sampai saat ini masih aktif digunakan.
Sayapun mencoba mengikuti jalur tersebut dengan harapan akan menuntun saya ke
wilayah Jagalan.
Mengikuti jalur kereta pengangkut
minyak milik Pertamina, akhirnya mengantarkan saya di Depo Pertamina yang
berada di Jalan Halmahera. Sayapun teringat bahwa lokasi pusat MSM juga
terletak di Jagalan Jalan Halmahera. Sembari berjalan pelan saya mengamati
kondisi sekitar dengan harapan akan menemukan petunjuk. Diarea tersebut memang
banyak saya jumpai bangunan-bangunan kuno berarsitektur Belanda menghiasi
setiap sudut jalan. Perkiraan saya bangunan-bangunan tersebut adalah
peninggalan MSM karena banyak plang milik PT. KAI bertebaran diarea tersebut.
Bahkan bangunan-bangunan tersebut juga dipasang plakat milik PT. KAI.
Dipinggir jalan saya bertemu dengan
sekawanan anak-anak yang baru pulang dari sekolah. Saya menanyakan kepada
mereka letak daerah Jagalan disekitar area tersebut. Dengan hafalnya saya
ditunjukkan arah menuju Jagalan. Saya juga disarankan untuk berhati-hati karena
banyak jalan searah diarea tersebut. Sayapun segera tancap gas menuju Jagalan.
Ternyata tak mudah bagi saya untuk
menemukan lokasi Jagalan. Padatnya jalan raya serta banyaknya jalan searah
membuat saya harus tersesat beberapa kali. Hampir menyerah sayapun ditunjukkan
jalan oleh seorang tukang becak yang ada disana mengenai lokasi bekas Stasiun
Jagalan. Tak berapa lama kemudian akhirnya saya tiba disekitar lokasi bekas
Stasiun Jagalan.
Setelah
memarkirkan motor dipinggir jalan, saya segera menuju kebagian belakang sebuah
rumah warga yang ada diarea kios buah untuk mencari bekas bangunan Stasiun
Jagalan. Kebetulan dibagian belakang rumah tersebut dilalui jalur kereta
pengangkut minyak milik Pertamina. Bahkan saat saya berada disana ada
serangkaian kereta yang sedang melintas menuju Depo Pertamina. Disana saya
bertemu dengan seorang warga paruh baya yang ternyata adalah penghuni rumah
disamping jalur kereta tersebut. Saya sempat menanyakan kepada beliau mengenai
bekas bangunan Stasiun Jagalan. Jawaban mengejutkan saya dapatkan dari beliau.
Ternyata bangunan rumah yang ada didepan saya adalah bangunan bekas Stasiun
Jagalan. Bahkan beliau adalah salah satu penghuninya. Saya tidak menyangka
kalau bangunan rumah tersebut adalah bekas bangunan stasiun.
Masih dalam keadaan terkejut sayapun
berbincang-bincang dengan warga tersebut mengenai bangunan stasiun yang kini
menjadi tempat tinggalnya. Memang jika diamati sepintas, bangunan didepan saya
ini tidak mencerminkan sebuah bangunan stasiun. akan tetapi jika kita
mengamatinya lebih seksama maka akan terlihat bagian-bagian bangunan yang mirip
dengan bangunan stasiun. Sayapun mencoba mengamati bagian depan bangunan
stasiun. Disana terdapat sebuah plakat milik PT. KAI tertempel di tembok
bangunan. Disudut-sudut bangunan masih
tampak pilar-pilar batu seperti halnya bangunan stasiun tempo dulu. Stasiun Jagalan
kini memang telah dialihfungsikan sebagai tempat tinggal. Bahkan dibangunan
tersebut dihuni oleh beberapa kepala keluarga dengan menyekat bagian dalam
bangunan.
Emplasemen
Stasiun Jagalan
Bagian Depan
Bekas Bangunan Stasiun Jagalan
Pegawai Stasiun
Jagalan dan Kotalama
Sumber: Leiden University
Bangunan Bekas
Stasiun Jagalan Tampak Samping
Pegawai Malang
Stoomtram Maatschappij
Sumber: Leiden
University
Kantor Pusat
Malang Stoomtram Maatschappij di Jagalan
Sumber: Leiden
University
Suara adzan dhuhur telah
berkumandang, itu artinya saya harus segera melanjutkan perjalanan saya.
Sebenarnya waktu itu saya ingin melanjutkan blusukan hingga ke Dampit, akan
tetapi sayang pukul dua siang saya sudah harus berada di hotel karena ada acara
di tempat lain. Akhirnya dengan pertimbangan waktu yang tidak mencukupi,
blusukan ke Dampitpun saya urungkan. Mungkin dikesempatan lain nanti saya bisa
melanjutkan blusukan hingga ke Dampit.
Pukul dua belas siang saya mulai
meninggalkan Jagalan. Dengan berakhirnya blusukan saya di Jagalan ini berarti
usai sudah blusukan saya mencari jejak tram di Kota Malang. Meskipun belum
semua area di Malang bisa saya telusuri, setidaknya ada sedikit cerita yang
bisa ditulis sebagai kenang-kenangan mengenai bukti sejarah keberadaan tram di
Kota Malang.
Minggu 9 Agustus 2015, saya harus
meninggalkan Kota Malang untuk kembali ke Solo. Kebetulan waktu itu saya
mendapatkan tiket kereta Maliboro Expres untuk perjalanan pukul setengah
sembilan pagi. Sebelum menuju Stasiun Kotabaru Malang saya sempat diajak
saudara saya ke wilayah Oro-Oro Dowo dimana disana terdapat sebuah bekas jembatan yang
menurutnya adalah bekas jembatan tram. Setelah sarapan pagi sayapun segera
meluncur ke lokasi tersebut. Ternyata lokasinya tidaklah jauh dari hotel tempat
saya menginap. Kurang lebih lima menit perjalanan saya tiba di Oro-Oro Dowo.
Di Oro-Oro Dowo
saya menjumpai sebuah bekas pondasi jembatan yang berada dipinggir jalan yang
masih berdiri dengan kokoh. Bekas pondasi tersebut hanya tersisa satu buah,
sedangkan satunya lagi sudah tergantikan dengan sebuah bangunan masjid yang ada
diseberang jalan. Selanjutnya saya masuk kesebuah gang diperkampungan sekitar
yang mana dibelah oleh sebuah sungai yang cukup besar. Disana terdapat sebuah
jembatan penghubung antar kampung yang mana jembatan tersebut menurut perkiraan
saya adalah bekas jembatan tram. Hal ini bisa saya lihat dari struktur
bangunannya.
Bekas
Jembatan Tram di Oro-Oro Dowo
Bekas Pondasi
Jembatan Tram di Oro-Oro Dowo
Bekas Jalur Tram
di Kajoetangan – Oro-Oro Dowo Malang Tahun 1930
Sumber: Tropen
Museum
Jalur Tram di
Tengah Kota Malang Tahun 1933
Sumber: kitlv.nl
Waktu
sudah beranjak siang, akhirnya saya harus meninggalkan lokasi tersebut dan
segera menuju ke Stasiun Kotabaru Malang. Masih banyak jejak-jejak peninggalan
tram di Kota Malang yang menarik untuk ditelusuri. Semoga dilain kesempatan
saya bisa berkunjung ke kota ini lagi dan menemukan jejak-jejak keberadaan tram
di Kota Malang yang sudah punah termakan zaman.
_______________
Artikel ter up date: jalur kereta blimbing - tumpang
_______________
PRIMA UTAMA / 2015 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama