Minggu, 24 April 2016
SUIKER FABRIEK & NARROW GAUGE
Beberapa dokumentasi bangunan Pabrik Gula dan narrow gauge/ decauvile yang pernah ada di kawasan Karesidenan Surakarta bisa dilihat di Pabrik Gula dan Decauvile
Selasa, 19 April 2016
REDOKUMENTASI JALUR STASIUN NGROMBO - STASIUN GODONG
REDOKUMENTASI JALUR NGROMBO – GODONG GROBOGAN
Beranjak meninggalkan Stasiun Gundih
di Desa Geyer, perjalanan segera saya lanjutkan menuju ke Kota Purwodadi. Kali
ini tujuan pertama saya adalah di petak jalur non aktif Stasiun Ngrombo –
Alun-alun Purwodadi. Perlu diketahui bahwa jalur tersebut pada masa lalu adalah
jalur penghubung antara jalur NIS yang membentang dari Semarang – Cepu dengan
jalur milik SJS yang membentang dari Demak – Blora. Percabangan jalur ini
sebenarnya mirip dengan percabangan jalur di Stasiun Wirosari SJS yang
terhubung juga dengan Stasiun Kradenan NIS.
Setengah jam perjalanan akhirnya
saya tiba di Stasiun Ngrombo. Stasiun
Ngrombo adalah stasiun terbesar dan teramai di Kabupaten Grobogan. Tahun
2014 saya pernah transit di stasiun ini dengan menggunakan kereta api Harina
dari Surabaya menuju Semarang. Di stasiun ini bekas jalur percabangan menuju
alun-alun kota sudah tidak bisa dijumpai. Dari Stasiun Ngrombo percabangan
jalur menuju kearah utara masuk ke area perkampungan warga dan kemudian tembus
hingga berada disamping kiri jalan raya.
Kurang lebih satu kilo dari Stasiun
Ngrombo, jalur kereta bersilangan dengan jalan raya berpindah kesisi sebelah
kanan jalan. Dibeberapa titik bekas jalur masih bisa dijumpai namun mayoritas
bekas jalur kereta sudah tertimbun tanah dan aspal jalan. Disepanjang jalan
menuju alun-alun kota beberapa besi bekas rel kereta tampak beralih fungsi
menjadi tiang listrik.
Kurang lebih jarak dari Stasiun
Ngrombo hingga Alun-Alun Kota Purwodadi sejauh 4 kilometer. Sebelum memasuki
kota, bekas jalur kereta banyak yang telah berubah menjadi trotoar dan taman
kota. Di sepanjang jalur ini juga banyak dijumpai patok milik PT. KAI yang
tertancap. Bahkan saya sempat menemukan bekas papan penanda Semboyan 35 yang
belum tercabut.
Jalur dari
Stasiun Ngrombo – Alun-alun Kota Purwodadi Berpotongan dengan Jalan Raya (Foto
dari Arah Alun-Alun Kota)
Bekas Jalur
Kereta Menjadi Taman Kota (Foto dari Arah Alun-Alun Kota)
Bekas Papan
Semboyan 35
Alun-Alun Kota
Purwodadi
Di Alun-alun Purwodadi terdapat garis yang terbuat
dari semen yang merupakan penanda bekas jalur kereta api dimasa lalu. Disekitar
alun-alun pun juga banyak dijumpai patok milik PT. KAI. Diarea tersebut
merupakan titik pertemuan antara jalur Demak – Blora dengan jalur penghubung
dari Stasiun Ngrombo.
Patok Milik PT.
KAI di Sekitar Alun-Alun (Foto dari Arah Blora)
Dari alun-alun perjalanan saya
lanjutkan menuju Stasiun Purwodadi SJS yang terletak persis didepan Pasar Besar
Purwodadi. Bekas Stasiun Purwodadi kini difungsikan sebagai terminal angkot.
Yang masih tampak dari stasiun tersebut adalah rangka bessinya yang masih
kokoh. Emplasemen stasiun kini digunakan masyarakat sebagai tempat berdagang
dan kios.
Tak jauh area bekas Stasiun
Purwodadi, tepatnya disisi barat terdapat bekas bangunan dipo lokomotif yang
kondisinya sangat mengenaskan. Bangunan dipo tersebut kini digunakan sebagai
tempat penyimpanan barang-barang bekas. Kondisi dipo tersebut memang tak sebaik
dipo Stasiun Blora yang masih utuh dan cukup terawat.
Bekas Stasiun
Purwodadi
Bagian Dalam
Bekas Dipo Lokomotif Stasiun Purwodadi
Bangunan Dipo
Lokomotif Stasiun Purwodadi (Atap Seng)
Beranjak dari
Stasiun Purwodadi, perjalanan saya lanjutkan menuju kearah barat yakni menuju
Godong. Disepanjang jalan menuju Godong, sebenarnya terdapat beberapa halte
pemberhentian kereta, namun semua halte tersebut sudah hilang tak berbekas.
Bekas jalur kereta dari Stasiun
Purwodadi menju Godong hanya menyisakan beberapa bekas rel saja. Hampir semua
bekas besi rel telah hilang dan tertimbun tanah. Hal ini karena hampir sebagian
besar jalur kereta bersisian dengan jalan raya. Setibanya di Stasiun Godong
saya disambut sebuah tiang sinyal masuk stasiun yang masih tertancap rapi didepan
bangunan dealer sepeda motor. tak jauh dari sinyal tersebut saya tiba di
Stasiun Godong.
Stasiun Godong berdiri tak jauh dari
Pasar Godong. Stasiun ini kondisnya lebih rapi jika dibandingkan dengan kondisi
tahun lalu saat pertama kali saya berkunjung. Bangunan asli stasiun yang
terbuat dari kayupun masih Nampak jelas terlihat. Di bagian depan stasiun
digunakan sebagai toko sedangkan halaman belakang stasiun digunakan sebagai
area parker bus.
Tak jauh dari Stasiun Godong atau
tepatnya di depan Pasar Godong, juga bisa dilihat sinyal stasiun lain.
Kondisinya juga masih cukup baik. Disekitar Stasiun Godong masih bisa diamati
beberapa bekas jalur kereta yang menuju ke Demak.
Bekas Jalur Kereta
Menuju Godong (dahulu terdapat wesel dan kemungkinan terdapat halte kereta)
Sinyal Keluar
(Foto dari Arah Stasiun Godong)
Sinyal Keluar
(Foto dari Arah Purwodadi)
Stasiun
Godong
Emplasemen
Stasiun Godong
Jalur Kereta
Menuju Stasiun Godong
Sinyal Masuk
Stasiun Godong
Dengan sampainya saya di Stasiun
Godong, berakhir pula perjalanan redokumentasi saya di petak Purwodadi –
Godong. Semoga diwaktu lain saya bisa berkunjung di jalur-jalur ditempat yang
berbeda yang tak kalah serunya. Semoga.
Artikel terkait:
JALUR KERETA PURWODADI - BLORA
Artikel terkait:
JALUR KERETA PURWODADI - BLORA
PRIMA UTAMA / 2016 / WA: 085725571790 / FB, EMAIL: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama
Minggu, 17 April 2016
STASIUN GUNDIH
MAMPIR KE STASIUN GUNDIH GROBOGAN
Sudah lama tidak blusukan di jalur
kereta api membuat saya sedikit rindu merasakan sensasi blusukan seperti dulu. Iseng-iseng
sambil mengisi waktu liburan, sembari menyelesaikan tesis yang tak kunjung
selesai, akhirnya pada hari Minggu tanggal 17 April 2016 saya mlipir ke
Kabupaten Grobogan untuk blusukan. Ini adalah kali ke dua saya blusukan ke
Kabupaten Grobogan.
Sebenarnya waktu itu agak malas
menuju Grobogan mengingat kondisi jalan yang akan saya lewati pasti akan “berantakan”
dan kurang nyaman. Ditambah lagi kondisi jalan disaat musim hujan seperti ini,
pasti becek dan penuh kubangan lumpur. Pukul setengah tujuh pagi saya berangkat
meninggalkan rumah dengan niat yang masih setengah. Kurang lebih pukul setengah
delapan pagi saya mulai memasuki wilayah Kabupaten Grobogan.
Dugaan awal saya ternyata benar. Disepanjang
jalan Solo – Purwodadi terdapat proyek pengecoran jalan raya dibeberapa titik. Hal
ini membuat jalan harus ditutup satu sisi yang berdampak pada kemacetan yang
luar biasa. Tentu ini berdampak besar dari sisi waktu dan bahan bakar saya. Tapi
mau gimana lagi, sudah berada ditengah jalan rasanya tidak efisien juga kalau
saya harus kembali pulang. Perjalananpun akhirnya saya lanjutkan.
Tujuan pertama saya kali ini adalah
ingin menelisik sejarah Stasiun Gundih yang cukup legendaris di masa lalu. Sedikit
berbicara mengenai sejarah Stasiun Gundih, stasiun ini dibangun pada tahun 1870
sebagai penghubung antara stasiun Solo Balapan dengan Stasiun Semarang Tawang. Di
stasiun ini terdapat beberapa percabangan jalur, yakni jalur menuju ke arah
Solo, Semarang, dan Gambringan Grobogan.
Menurut referensi yang pernah saya baca,
stasiun ini dahulu di miliki oleh perusahaan kereta api Gundih Stoomtram
Maatschapij sebelum akhirnya diambil alih oleh NIS. Jalur yang menuju kearah
Gambringan adalah jalur penghubung antara jalur utara dan jalur selatan. Namun jalur
ini jarang sekali digunakan, hanya saat-saat tertentu saja semisal ada jalur
yang longsor atau banjir.
Kebetulan waktu joy ride dengan kereta api Kalijaga tahun 2015 saya sempat
merasakan melintasi jalur Gundih – Gambringan, karena pada waktu itu jalur di
dekat Stasiun Telawa Boyolali longsor. Kereta tidak bisa berjalan maksimal saat
melintas dijalur tersebut, mungkin hanya 20-30 km/jam. Menurut info yang saya
dapatkan waktu itu kondisi rel dan balas tidak memungkinkan kereta melaju
dengan cepat jika tidak mau anjlok. Hal ini tentunya juga akan berdampak pada
waktu tempuh kereta.
Pada masa lampau di Stasiun Gundih
terdapat dua macam lebar gauge kereta,
yakni 1067 mm dan 1435 mm. Jalur kereta dengan dua gauge tersebut membentang dari Stasiun Gundih hingga Lempuyangan
Jogja sebelum akhirnya dibongkar paksa oleh tentara Jepang pada tahun 1942. Stasiun
Gundih pada masanya adalah stasiun yang penting. Penting karena berada di
perlintasan jalur Solo – Semarang dan karena
Gundih pada waktu itu terkenal dengan hasil hutan nya seperti kayu.
Kemegahan
Stasiun Gundih masih bisa kita lihat hingga
saat ini. Bangunan stasiun memiliki ukuran cukup besar dengan tipe pulau dan
bergaya indisch. Jam antik dengan ukuran yang cukup besar di empalsemen cukup
menjadi bukti betapa sibuknya stasiun ini dimasa lalu. Dibagian selatan
terdapat bangunan gudang yang cukup besar. Akan tetapi sayang bangunan gudang
tersebut kondisinya merana karena kurangnya perawatan.
Disisi
utara terdapat dua bangunan dipo lokomotif yang cukup besar. Akan tetapi sayang
kondisi bangunan dipo tersebut juga tak kalah merananya. Bahkan satu
bangunannya telah runtuh bagian atapnya. Disisi barat tampak berjajar barisan
rumah dinas pegawai kereta api yang ukurannya cukup besar. Beberapa bangunan
ada yang masih terawat tapi juga ada bangunan rumah dinas yang kondisinya
mengenaskan. Di bagian belakang rumah dinas terdapat sebuah menara air tinggi
besar dengan dua tabung penampung airnya yang dulu dijadikan sebagai sumber
bahan bakar kereta.
Blusukan
saya ke Stasiun Gundih sebenarnya agak sedikit mengecewakan. Ketatnya pengawasan
dilingkungan stasiun membuat saya tidak bisa mengabadikan setiap sudut ruang
stasiun. Sayapun hanya bisa mengabadikan gambar di lingkungan luar bangunan
stasiun saja.
Bangunan Utama
dan Area Stasiun Gundih
Bangunan
Gudang di Sisi Selatan Stasiun
Bangunan Rumah
Dinas Stasiun
Gerbong
Bekas di Area Stasiun
Bekas Bangunan
Dipo Lokomotif
Rumah Tua di
Dekat Stasiun Gundih
Menara Air
Artikel terkait:
PRIMA UTAMA / 2016 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama
Langganan:
Postingan (Atom)