Senin, 15 Oktober 2018

“JELAJAH SPOOR 6” BARENG KOMUNITAS KOTA TOEA MAGELANG: JALUR SECANG – KRANGGAN TEMANGGUNG



Jejak sejarah perkeretaapian di Tanah Kedu memang tidak ada habis-habisnya untuk ditelusuri.Wilayah yang dikeliling pegunungan serta kaya akan hasil buminya ini sarat dengan sejarah perkeretaapian yang telah ada sejak awal abad 19. Sejarah perkeretaapian di Temanggung tidaklah bisa dilepaskan dari sosok Tionghoa bernama Ho Tjong An. Beliau adalah seorang pemborong kelahiran Tungkwan, Canton, Cina pada tahun 1841 yang meyelesaikan pekerjaan pembangunan jalur kereta dari Ambarawa, Magelang, hingga Temanggung.
            Dikutip dari Majalah Sinpo yang terbit tahun 1919, menerangkan bahwa pengerjaan jalur kereta api antara Ambarawa hingga Secang menghabiskan biaya sebesar f 390.000 (Guilders Belanda). Sedangkan untuk jalur antara Magelang hingga Secang dan Secang – Parakan menghabiskan biaya sebesar f 350.000 (Guilders Belanda).Angka tersebut merupakan angka yang sangat fantasis untuk sebuah jalur kereta yang hanya memiliki panjang kurang lebih 65 kilometer.Mahalnya biaya pembangunan jalur ini cukup beralasan. Wilayah Ambarawa hingga Secang yang memiliki kontur perbukitan menjadikan proses pembangunan jalur kereta lebih sulit. Kurang lebih ada 3000 orang pekerja yang dikerahkan setiap harinya untuk menyelesaikan jalur ini.Banyak jurang yang harus dipapras agar jalur kereta tidak terlalu menanjak.
            Jalur kereta api dari Magelang hingga Secang resmi dibuka pada tanggal 15 Mei 1903. Sementara untuk jalur Secang hingga Temanggung mulai dibuka pada tanggal 3 Januari 1907, sedangkan untuk jalur Secang hingga Ambarawa mulai dibuka pada tanggal 1 Februari 1905.Menyusul jalur Temanggung – Parakan yang mulai beroperasi pada tanggal 1 Juli 1907.

Jalur Kereta Api Secang – Kranggan

Sumber: kitlv.nl

            Minggu 23 September 2018, Komunitas Kota Toea Magelang kembali mengadakan acara jelajah jalur spoor untuk keenam kalinya. Dalam acara jelajah kali ini, rute yang diambil adalah petak antara Stasiun Secang hingga Stasiun Kranggan yang ada di Kabupaten Temanggung sejauh kurang lebih 8 kilometer. Peserta yang ikut berpartisipasi dikenakan biaya sebesar Rp 20.000 dengan berbagai macam fasilitas, seperti: Snackpagi, air mineral, print out materi, parkir, es dawet, semangka, makan siang, snack siang, dan transportasi kembali dari Kranggan ke Secang. Inilah yang menarik dari setiap agenda yang diadakan oleh Komunitas Kota Toea Magelang, harga kaki lima fasilitas bintang lima.

Poster Jelajah Spoor 6
Sumber: Kota Toea Magelang

            Minggu 23 September 2018, jam menunjukkan pukul 02.00 pagi. Tandanya saya harus mengakhiri tidur saya untuk segera bergegas menuju Magelang.Rasa kantuk dan lelah yang masih terasa harus segera saya tanggalkan untuk segera memulai petualangan saya hari itu.Tepat pukul 3 dini hari saya berangkat menuju Magelang dengan menggunakan bus ekstra cepat bernama “MIRA”.Tak butuh waktu lama bagi bus tersebut mengantarkan saya ke Terminal Tirtonadi Solo. Sesampainya di Solo saya berbegas pindah bus yang akan saya tumpangi menuju Bawen Kabupaten Semarang. Kebetulan di Bawen saya dapat tumpangan dari Mas Roni teman dari komunitas Dead Rail Hunter asal Demak.
            Kurang lebih jam tujuh pagi saya tiba dititik kumpul jelajah kali ini yakni Stasiun Kebonpolo atau Stasiun Magelang Kota yang kini telah dialihfungsikan sebagai Terminal Kebonpolo. Belum banyak peserta yang hadir waktu itu, mungkin karena saya datang kepagian.Sambil menunggu acara dimulai, saya menyempatkan diri untuk keliling disekitar Stasiun Kebonplo. Dibagian belakang komplek Terminal Kebonpolo, saya menjumpai beberapa bekas bangunan rumah dinas yang dahulu digunakan untuk pegawai stasiun. Bangunan rumah dinas tersebut terbilang masih bagus dan cukup terawat. Meskipun ada bangunan yang kosong tak berpenghuni.
            Selain bekas rumah dinas, di bekas lokasi Stasiun Kebonplo juga masih terdapat bangunan stasiun dan bangunan dipo lokomotif. Bangunan utama Stasiun Kebonpolo sendiri sudah banyak mengalami perubahan.Kini bangunan stasiun dimanfaatkan untuk kios.Sementara bangunan dipo lokomotif saat ini dimanfaatkan sebagai gudang. Dibagian depan bangunan dipo, masih bisa dijumpai bekas rel yang terlihat samar. Dahulu distasiun ini terdapat sebuah monumen gerbong kayu yang terletak disamping bangunan stasiun. Akan tetapi gerbong tersebut kini telah dipindahkan ke Museum Kereta Api Ambarawa. Pemindahan tersebut dilakukan karena kondisi gerbong yang rusak dan tidak terawat sementara gerbong tersebut termasuk benda cagar budaya yang harus dilindungi.


Bangunan Stasiun Kebonpolo

Stasiun Kebonpolo Tempo Dulu
Sumber: Komunitas Kota Tua Magelang

Dipolokomotif Stasiun Kebonpolo



Rumah Dinas Stasiun Kebonpolo

            Waktu telah menunjukkan pukul 07.30, pesertapun sudah banyak yang berkumpul. Pada jelajah spoor 6 kali ini diikuti kurang lebih 100 peserta dari berbagai kota. Sebelum kami memulai jelajah pagi itu yang akan dimulai di Stasiun Secang, sejenak kami mendapatkan pengarahan dari Mas Bagus Priyana selaku koordinator Komunitas Kota Toea Magelang. Kami mendapatkan penjelasan dan arahan yang harus kami patuhi selama jelajah jalur spoor nanti. Setelah berdoa bersama, kami segera beranjak meninggalkan Stasiun Kebonpolo dan bergerak menuju Stasiun Secang sebagai titik awal jelajah kami nanti. Berbeda dengan jelajah sebelumnya yang menggunakan angkot untuk menuju titik start, tahun ini perjalanan menuju titik start jelajah menggunakan kendaraan prbadi masing-masing. Kali ini saya masih nebeng Mas Roni untuk menuju Stasiun Secang.


Briefing Peserta Jelajah

Peserta Jelajah Jalor Spoor 6
Sumber: Pak Widyoko

            Kurang lebih dua puluh menit perjalanan dari Stasiun Kebonpolo, sampailah kami di Stasiun Secang Kabupaten Magelang.Ternyata disini sudah ada beberapa peserta jelajah yang telah menunggu kami. Perlu diketahui bahwa peserta jelajah kali ini tidak hanya berasal dari wilayah Magelang dan sekitarnya saja, melainkan dari berbagai kota yang ada di Indonesia, seperti: Semarang, Demak, Bandung, Jakarta, Lampung, Temanggung, Sragen, dan masih banyak yang lainnya.
            Di Stasiun Secang, kami sedikit mengulik sejarah stasiun yang terletak diketinggian 466 diatas permukaan laut ini. Stasiun Secang mulai dirintis pembangunannya pada tahun 1898 oleh perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Stasiun ini pertama kali dibuka pada tanggal 15 Mei 1903 untuk melayani rute dari Magelang menuju Secang. Kemudian dilanjutkan tanggal 1 Februari 1905 saat dibukanya jalur dari Ambarawa menuju Secang, dan terakhir pada tanggal 1 Juli 1907 saat mulai dibukanya jalur kereta dari Temanggung menuju Parakan.
            Bisa dibayangkan betapa ramainya stasiun ini pada masanya karena terletak di jalur trisula. Selain bangunan utama stasiun yang masih utuh, dilokasi ini kita juga akan menjumpai bekas emplasemen Stasiun Secang beserta bangunan gudang dan rumah dinasnya. Bangunan utama Stasiun Secang kini dimanfaatkan untuk kantor sekretariat Pepabri. Stasiun Secang terakhir kali melayani penumpang pada tahun 1976. Perkembangan moda transportasilah yang membuat penumpang kereta api beralih ke transportasi lain yang lebih cepat sehingga jumlah penumpang kereta pada waktu itu turun drastis. Hal inilah yang membuat pemerintah melalui DKA harus menutup stasiun ini.

Peta Lokasi Stasiun Secang
Sumber: kitlv.nl

Stasiun Secang Tempo Dulu
Sumber: Rob Dickinson

Bekas Emplasemen Stasiun Secang

Bagian Belakang Bangunan Stasiun

Loket Stasiun Secang


Bagian Depan Stasiun Secang

Bagian Belakang Stasiun Secang

Jalur Kereta Menuju Magelang


Bangunan Gudang Stasiun Secang


Bekas Tiang Sinyal Stasiun Secang

Foto Bersama Didepan Stasiun Secang
Sumber: Pak Widyoko

            Puas mengulik sejarah Stasiun Secang, rombonganpun berangkat memulai penjelajahan.Dalam penjelajahan kali ini, titik finish kami adalah Stasiun Kranggan yang berjarak kurang lebih 8 kilometer dari Stasiun Secang. Ditengah-tengah jalur tersebut nantinya kami akan melewati sebuah pemberhentian kereta api bernama Stopplats Nguwet.
            Beranjak dari Stasiun Secang, rombongan mulai menelusuri bekas jalur kereta kearah Nguwet yang kini telah berubah menjadi jalan kampung.Disepanjang jalan, kami bertemu dengan banyak masyarakat sekitar yang merasa heran dengan aktivitas kami pagi itu.Dibeberapa titik, kami masih banyak menjumpai bekas-bekas jalur kereta yang berada ditengah pemukiman padat penduduk.
            Lintasan jelajah kami yang semula berada ditengah perkampungan dan bersisian dengan jalan raya, berubah kearea perkebunan warga didaerah Ketukan.Disini jalur kereta benar-benar telah berubah menjadi perkebunan dan semak belukar.Uniknya dititik ini banyak rel yang masih utuh dan berada di tempat awalnya semenjak dibangun oleh Belanda.Beberapa batu kerikil atau balas yang lazim ada di jalur kereta apipun masih banyak saya jumpai.Tak luput juga ada beberapa bekas pondasi jembatan yang masih tampak utuh melintas diatas aliran irigasi.




Bekas Jalur Kereta Menuju Kranggan




Peserta Jelajah Mulai Memasuki Area Perkebunan




Bekas Jalur Kereta Tertutup Semak Belukar

            Tibalah kami didaerah Kenayan.Dititik ini jalur kereta memotong jalan raya Secang – Temanggung menuju daerah Mendirat. Di Mendirat, bekas jalur kereta telah berubah menjadi perumahan penduduk dan jalan kampung. Penjelajahan kamipun berlanjut menelusuri jalanan kampung. Disini kami juga kembali menjadi perhatian masyarakat sekitar karena jumlah kami yang banyak sehingga cukup menyita perhatian.Sepanjang perjalanan di daerah Mendirat, banyak jalur kereta yang kondisinya sudah tidak utuh lagi.Sebagian besar telah tertutup pondasi rumah warga.Disini rombongan jelajah sempat beristirahat sejenak melepas lelah sembari menunggu rombongan yang masih dibelakang.

Jalur Kereta Memotong Jalan Raya

Peserta Beristirahat Sejenak

Bekas Jalur Kereta

            Perjalanan kami lanjutkan.Setelah melewati area pemukiman warga kini rute jelajah berada diarea ladang perkebunan.Pemandangan perumahan warga yang tadi mengiringi kami, sekarang berubah menjadi pemandangan perkebunan dan pegunungan.Sungguh sangat indah.Tampak Gunung Sindoro dan Sumbing yang berdiri kokoh dari kejauhan membuat perjalanan jelajah kami tak terasa melelahkan.Dititik ini bekas jalur kereta telah berubah menjadi jalan setapak.Bekas besi rel keretapun masih banyak yang berada pada tempatnya.

Bekas Pondasi Jembatan Kereta

Peserta Beristirahat Sejenak

Bekas Jalur Kereta

            Tak lama berselang, akhirnya kami menjumpai jalan raya.Jalur keretapun kembali memotong jalan raya di daerah Nguwet.Jika melihat peta lawas buatan Belanda, dititik persimpangan tersebut dahulu terdapat pemberhentian kereta bernama Stopplast Nguwet atau dengan kode “S”.Stopplast berbeda dengan halte ataupun stasiun. Biasanya stopplast memiliki bangunan yang lebih sederhana yang terdiri dari tempat menjual karcis dan tempat tunggu penumpang atau bahkan tidak memiliki bangunan sama sekali. Stopplast yang tidak memiliki bangunan biasanya hanya berbentuk seperti tanah lapang kecil saja atau bisa dengan penanda.
            Beberapa tahun yang lalu saya pernah mengunjungi Nguwet dan sempat berbincang dengan warga sekitar tentang sejarah Stopplast Nguwet.Menurut keterangan warga, dahulu memang di Nguwet terdapat sebuah pemberhentian kereta bernama Nguwet.Warga menuturkan bahwa bangunan stopplast sangat sederhana.Namun tidak dijelaskan apakah bangunan tersebut terbuat dari kayu atau tembok semen.Akan tetapi dugaan saya bangunan stopplast ini terbuat dari kayu.Lebih lanjut menurut keterangan warga bangunan Stopplast Nguwet memang telah lama dirubuhkan.Mungkin semenjak jalur tersebut dinonaktifkan bangunan stopplastmenjadi tidak terawat dan akhirnya dirubuhkan.Kini dibekas lokasi stopplast tersebut telah berdiri bangunan baru.

Bekas Lokasi Stopplast Nguwet

Peta Lokasi Stopplast Nguwet
Sumber: kitlv.nl

            Selepas Nguwet, sampailah perjalanan kami disebuah jembatan kereta api yang ukurannya cukup besar melintas diatas Sungai Wurung. Jembatan tersebut sungguh sangat kokoh dan terbilang masih utuh dan bagus.Pondasi penopang jembatan masih sangat gagah menjulang.Rangka-rangka besi jembatanpun juga masih berada pada tempatnya.Dititik tersebut peserta jelajah ditantang untuk menyeberangi sungai yang melintas dibawah jembatan.Kami memang tidak bisa melintas diatas jembatan karena cukup beresiko dan berbahaya.
            Dibawah jembatan kami harus menakhlukkan terjalnya medan serta licinnya bebatuan sungai. Disinilah kerja sama dan kekompakan peserta diuji. Peserta saling bahu membahu membatu peserta lain agar bisa menyeberangi Sungai Wurung. Beruntung waktu itu masih musim kemarau sehingga debit air tidak begitu deras mengalir.

Peserta Menuju Sungai Wurung




Jembatan Kereta Sungai Wurung

Pilar Jembatan Sungai Wurung










Peserta Melintasi Sungai Wurung

Setelah berhasil menakhlukkan Sungai Wurung, perjalanan kami lanjutkan menyusuri area ladang perkebunan.Tak jauh kami berjalan, tibalah kami disebuah persimpangan jalan raya.Dilokasi ini es dawet yang nikmat sudah menanti kami.Teriknya matahari serta dahaga yang menimpa sirna seketika saat manisnya dawet yang kami minum membasahi tenggorokan kami.
Tak ingin menghabiskan banyak waktu perjalananpun kami lanjutkan kembali.Rute kami ini agak sedikit berat.Berat bukan karena medannya yang terjal melainkan karena rute jelajah berada ditengah sawah yang kering kerontang.Paparan sinar matahari yang membalut tubuh kami membuat keringat menetes deras.Dititik ini rata-rata jalur kereta sudah banyak yang tidak utuh.Hanya menyisakan gundukan-gundukan tanah dan beberapa besi rel yang tercecer saja.

Jalur Kereta Memotong Jalan Raya


Peserta Menikmati Es Dawet
Sumber: Pak Widyoko


Bekas Pondasi Jembatan Kereta

            Adzan Dhuhur mulai berkumandang, tak terasa perjalanan kami sudah sampai di daerah Kranggan Temanggung.Sinar matahari semakin semangat membakar kulit kami. Dengan kondisi yang lelah, kami mengayunkan langkah menuju garis finish kami yakti Stasiun Kranggan Temanggung. Sebelum tiba dilokasi stasiun, rute jelajah kami memasuki area perkampungan warga dan hutan.Saat memasuki hutan, suasana sungguh sangat teduh.Semilir angin yang menyentuh kulit kami menjadi penyemangat kami untuk terus melanjutkan perjalanan.
            Lepas melewati hutan, tibalah kami disebuah perkampungan di Kranggan.Disini rombongan beristirahat sejenak sembari menikmati semangka merah yang dibeli dari warga sekitar.Segarnya semangka menjadi energibuat kami untuk mencapai garis finish yang kurang 200 meter lagi. Akhirnya tibalah kami dipemberhentian terakhir jelajah kali ini yaitu Stasiun Kranggan.Disana kami telah disambut oleh siempunya rumah yang sangat ramah menyambut kami.
            Di Stasiun Kranggan ini kami dipersilakan untuk mengambil dokumentasi bekas bangunan Stasiun Kranggan.Selain itu sipemilik rumah yang merupakan pensiunan pegawai DKA juga menceritakan sejarah Stasiun Kranggan mulai dari zaman Belanda, Jepang, hingga era kemerdekaan.Melalui penjelasan dari mantan Kepala Stasiun Kranggan yang sudah berdinas sejak masa pendudukan Belanda, saya memperoleh informasi bahwa lokasi Bangunan Stasiun Kranggan yang ada saat ini merupakan relokasi dari lokasi yang pertama. Lokasi Stasiun Kranggan yang pertama terletak kurang lebih lima puluh meter keutara dari lokasi stasiun yang sekarang. Lokasi stasiun dipindah dikarenakan peristiwa kecelakaan yang pernah terjadi yang mengakibatkan kerusakan bangunan stasiun yang pertama.Selain itu, saya juga mendapat informasi bahwa dahulu ternyata Stasiun Kranggan lebih ramai penumpangnya jika dibandingkan dengan Stasiun Temanggung.Hal ini dikarenakan banyak penumpang yang berasal dari wilayah Kranggan yang memilih stasiun ini untuk bepergian.
Selain memperoleh informasi sejarah, disini kami juga menikmati santap siang yang telah disediakan oleh panitia.Snack berupa jajanan tradisional serta nasi dengan sayur sup yang nikmat mengisi perut kami. Setelah kami menyelesaikan acara kami di Stasiun Kranggan, rombongan pun berpamitan dan ditutup dengan foto bersama sebagai kenang-kenangan. Sebelum kembali ke Secang, rombongan menyempatkan mampir di sebuah jembatan kereta api yang melintas diatas Kali Progo yang terletak tak jauh dari Stasiun Kranggan. Dijembatan Kereta Kali Progo ini dahulu pernah terjadi kecelakaan kereta api. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya bekas roda-roda gerbong kereta yang berceceran dibawah jembatan.

Bekas Sinyal Stasiun Kranggan

Bekas Jalur Kereta Ditengah Hutan



Bangunan Stasiun Kranggan


Bekas Loket Stasiun Kranggan

Bekas Jalur Kereta di Emplasemen Stasiun Kranggan

Lokasi Halte Kranggan
Sumber: kitlv.nl

Stasiun Kranggan
Sumber: Olivier Johanes

Mantan Kepala Stasiun Kranggan 

Peserta Foto Bersama dengan Kepala Stasiun Kranggan
Sumber: Pak Widyoko

Bekas Saluran Air di Kranggan

Bekas Tiang Sinyal Stasiun Kranggan



Bekas Jembatan Kereta Diatas Kali Progo

            Selepas dari jembatan Kali Progo, rombonganpun kembali ke Secang menggunakan mini bus sebagaimana lokasi berkumpul kami pagi tadi.Lelah itu pasti, tapi rasa puas kami lebih besar dari rasa lelah kami.Banyak ilmu, pengalaman, dan wawasan baru yang kami dapatkan selama jelajah.Kurang lebih pukul tiga sore kamitiba di Secang.Disinilah acara Jelajah Jalur Spoor 6 berakhir. Semoga tahun depan acara seperti ini masih terus berlanjut. Salam blusukan jalur mati.

PRIMA UTAMA / 2018 / IG: @primautama / WA : 085725571790



































































2 komentar: