Senin, 24 November 2014

JEJAK KERETA API DI MAGELANG

 YANG TERSISA DARI (SEPUR) DI MAGELANG
           
Berbicara mengenai Kota Magelang, pastilah banyak hal yang bisa diperbincangkan. Mulai dari kuliner, tempat wisata, sampai sejarah semuanya dimiliki oleh kota yang terkenal dengan Gunung Tidarnya ini. Kota yang berusia lebih dari 1000 tahun ini memiliki sejarah yang amat panjang dan menarik untuk diperbincangkan. Banyaknya situs arkeologi yang ditemukan di wilayah ini menandakan bahwa peradaban di Kota Magelang telah tumbuh sejak berabad-abad yang lalu.
            Kali ini saya berkesempatan untuk melalukan observasi atau blusukan di Kota Magelang terkait dengan sejarah transportasi masal yang ernah ada di kota ini pada awal abad 19 yaitu kereta api. Berbicara mengenai transportasi kereta api di Magelang tentu tidak bisa kita lepaskan dari peran pemerintah kolonial yang menguasai Indonesia pada saat itu. Magelang yang memiliki udara yang sejuk layaknya di Belanda menjadi magnet tersendiri bagi orang-orang Belanda untuk bermukim di kota sejuta bunga itu. Dari situlah Magelang mulai ramai dengan peradaban yang dibangun oleh kolonialisme.
Banyak indsutri, sekolah, rumah sakit, pusat bisnis bahkan basis militer dibangun di Magelang pada waktu itu. Ramainya Magelang pada saat itulah yang membuat pemerintah kolonial ingin menghubungkan Magelang dengan kota-kota lain di pulau Jawa seperti Semarang, Yogyakarta, dan Parakan. Untuk memudahkan mobilitas dan menggerakkan roda perekonomian, maka dibangunlah jalur kereta api ke Magelang.
            Jalur kereta api ke Magelang merupakan perpanjangan dari jalur kereta api Ambarawa – Secang. Jalur tersebut dibangun di akhir abad 19 yang menghubungkan Magelang hingga Yogyakarta. Pada masanya jalur ini sangat ramai oleh mobilitas warga yang hendak bepergian. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya stasiun yang dibangun di jalur Magelang hingga Yogya. Seiring dengan berjalannya waktu dan majunya teknologi, moda transportasi mulai diramaikan oleh angkutan jalan raya. Banyak jalan mulai dibangun pada dekade 1960-an. Pembangunan jalan raya ini lah yang menyebabkan beberapa jalur kereta api bersinggungan dengan jalan raya yang kala itu sudah diramaikan oleh kendaraan berbasis ban karet.
            Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya moda transportasi kereta api di Magelang harus dipaksa menyerah terhadap kemajuan zaman. Tercatat pada tahun 1976 kereta api yang kala itu dikelola oleh PJKA harus menutup layanan perjalanan kereta api dari Magelang hingga Yogyakarta akibat kalah bersaing dengan transportasi jalan raya yang dianggap lebih cepat dan efisien. Penutupan ini merupakan rentetan penutupan jalur kereta api dari Kedungjati – Tuntang – Ambarawa – Secang – Temanggung – Parakan – Magelang – Jogja.
            Kini yang tersisa dari sejarah kereta api di Magelang hanyalah bangkai-bangkai rel kereta api yang melintang diberbagai tempat serta bangunan stasiun dengan kondisi yang merana seolah menanti untuk dihidupkan kembali. Saat ini tak banyak orang yang tahu bahwa kota yang indah ini dulunya pernah dilalui oleh ular besi yang selalu menyembulkan asap hitam membumbung tinggi seolah menandakan keperkasaannya.  

Peta Jalur Kereta Api di Magelang Tahun 1903
Sumber: kitlv.nl

Sedikit meninggalkan rutinitas harian yang cukup melelahkan, kali ini saya mencoba untuk melakukan blusukan menguak sejarah kereta api di Indonesia khususnya di Kota Magelang. Blusukan kali ini saya lakukan pada tanggal 25 Oktober 2014, bertepatan dengan hari libur Tahun Baru Hijriyah. Sebenarnya rencana ini sudah saya rencanakan jauh-jauh hari akan tetapi karena berbagai alasan baru bisa terlaksana pada tanggal 25 Oktober. Tepat pukul enam pagi saya bergerak meninggalkan Solo. Blusukan saya kala ini saya rencanakan mengambil titik strart di Desa Krincing Kecamatan Secang Magelang.
Sebenarnya di sisi paling utara Kabupaten Magelang terdapat sebuah stasiun yaitu Stasiun Candi Umbul, akan tetapi karena saya pernah mengunjunginya beberapa waktu yang lalu dan pertimbangan efisiensi waktu maka saya putuskan untuk melewatinya. Sebagai informasi Stasiun yang berada di Magelang hingga Jogjakarta setelah Stasiun Candi Umbul adalah: Stasiun Brangkal – Stasiun Secang – Stasiun Payaman – Halte Magelang Kramat – Stasiun  Kebonpolo – Stasiun Magelang Alun-Alun – Stasiun Magelang Pasar – Halte Banyurejo – Stasiun Mertoyudan – Stasiun Japonan – Stasiun Blondo – Stasiun Blabak – Stasiun Pabelan – Stasiun Muntilan – Halte Muntilan Kidul – Stasiun Dangeyan – Stasiun Tegalsari – Stasiun Semen – Stasiun Tempel – Halte Ngebong – Stasiun Medari – Stasiun Sleman – Halte Pangukan – Stasiun Beran – Halte Mlati – Halte Kutu – Halte Kricak – Stasiun Tugu. Menurut informasi yang saya peroleh dari semua bangunan halte dan stasiun tersebut tidak semua bangunannya masih bisa ditemukan. Banyak bangunan halte dan stasiun yang sudah dirobohkan karena tergusur oleh pembangunan kota.  
            Kurang lebih dua jam perjalanan saya mulai memasuki wilayah Secang Kabupaten Magelang. Sesampainya di Secang saya mulai mencari lokasi keberadaan Desa Krincing yang mana di desa itulah Stasiun Brangkal pernah berdiri. Sempat tersesat, akhirnya saya berhasil menemukan lokasi Desa Krincing. Lokasinya berada di pertigaan Krincing sebelah kiri jalan dari Ambarawa. Disana terdapat sebuah pasar desa yang ukurannya tidak terlalu besar. Dari pertigaan tersebut masuk kurang lebih dua kilo meter maka akan menjumpai sebuah jembatan yang ukurannya tidak begitu besar. Disebelah jembatan terdapat bekas rel kereta api yang bersinggungan dengan jalan raya. Kondisi rel sudah tidak utuh lagi, hanya tampak beberapa potongan rel saja yang menandakan bahwa disitulah dulu kereta api pernah lewat. Terlihat dari jalan raya jalur kereta masuk kedalam hutan kopi milik warga.
            Menurut informasi yang saya peroleh dari teman saya yang merupakan warga asli Magelang, dahulu Stasiun Brangkal terletak dekat dengan jembatan disamping jalan desa dan bangunnya sendiri sudah lama dirubuhkan. Disana memang saya sudah tidak menemukan bangunan yang menyerupai stasiun, yang nampak hanyalah bangunan semi permanen milik warga. Hanya sebuah plang milik PT. KAI yang sudah tidak utuh lagi yang bisa dijadikan penanda bahwa di situlah lahan milik PT. KAI yang kemungkinan letak Stasiun Brangkal dulunya berdiri.
            Stasiun Brangkal adalah stasiun kecil yang terletak di Desa Krincing Kabupaten Magelang. Stasiun ini didirikan pada tahun 1905 oleh NIS. Seiring dengan berjalannya waktu stasiun ini resmi ditutup pada tahun 1976 karena jalur kereta mulai sepi penumpang.  

Bekas Jalur Kereta di Desa Brangkal dari Arah Candi Umbul

Perkiraan Lokasi Stasiun Brangkal

Rel Bersinggungan dengan Jalan Raya di Desa Brangkal


Beranjak meninggalkan bekas lokasi Stasiun Brangkal, perjalanan saya lanjutkan menuju Secang. Setelah Stasiun Brangkal stasiun berikutnya adalah Stasiun Secang. Pada perjalanan kali ini saya tidak mampir ke Stasiun Secang dikarenakan  saya sudah pernah singgah distasiun ini sebelumnya dan untuk mempersingkat waktu. Setelah melewati Secang perjalanan saya lanjutkan menuju Desa Payaman untuk mencari keberadaan Stasiun Payaman.
            Tidaklah sulit untuk mencari lokasi Stasiun Payaman. Letaknya tepat didekat Pasar Payaman disebelah kiri jalan dari arah Ambarawa. Setelah melewati pasar kita akan menjumpai gang kecil menuju perkampungan, dari gang tersebut masuk kurang lebih 50 meter maka kita akan menjumpai bangunan stasiun yang berada disebelah kanan jalan. Diarea tersebut saya masih banyak menjumpai bekas jalur kereta yang masih tampak utuh.
            Kebetulan kedatangan saya waktu itu agak kurang tepat. Kala itu warga sekitar sedang mengadakan acara jalan santai dan panggung dangdut tepat di depan bangunan Stasiun Payaman, sehingga saya tidak bisa leluasa mengamati dan mengambil gambar di bangunan bekas stasiun. Sambil menikmati musik dangdut yang kebetulan saat itu sedang menyanyikan lagu yang sedang naik daun “sakitnya tuh disini” saya mencoba mencari celah untuk bisa mengambil gambar di lokasi.
            Ada hal unik yang saya temukan disini. Ada sebuah prasasti kecil di samping bangunan stasiun yang bertuliskan H.W.P (Hoog Water Peil) 1930 yang berdasarkan referensi yang saya cari memiliki arti sebagai batas ketinggian air saat terjadi banjir pada tahun 1930. Hal ini menandakan bahwa stasiun ini pernah terendam banjir pada tahun 1930. Jika melihat kondisi fisik bangunan Stasiun Payaman sebenarnya kondisinya masih bisa dikatakan terawat. Akan tetapi sayang di bagian sisi lain bangunan stasiun kini telah ditutupi oleh bangunan baru milik warga setempat. Di samping bangunan stasiun saya juga masih bisa menjumpai bangunan toilet milik Stasiun Payaman akan tetapi dengan kondisi yang kurang terawat. 
            Stasiun Payaman mulai dibangun pada tahun 1905 oleh NIS yang melayani perjalanan dari Ambarawa hingga Magelang dan sebaliknya. Stasiun ini berada di Desa Payaman Kabupaten Magelang. Penutupan stasiun ini dilakukan pada tahun 1976 seperti stasiun yang lainnya karena kalah bersaing dengan bus dan mobil pribadi.  

Bekas Bangunan Stasiun Payaman

Bekas Jalur Kereta Menuju Stasiun Payaman

Bekas Jalur Kereta di Area Stasiun Payaman

Setelah puas menikmati musik dangdut gratis Stasiun Payaman, perjalanan saya lanjutkan ke Kecamatan Magelang Utara untuk mencari lokasi Halte Magelang Kramat. Tak lama kemudian perjalanan saya tiba di bekas lokasi Halte Magelang Kramat. Letaknya tepat di depan RSJ Soerojo Magelang. Dari lokasi yang saya amati, saya sudah tidak bisa menjumpai bekas bangunannya sama sekali. Referensi mengenai keberadaan halte ini pun juga sangat sedikit. Hanya sebuah plang milik PT. KAI saja yang menjadi penanda.

Perkiraan Lokasi Halte Kramat

Berlanjut meninggalkan lokasi Halte Magelang Kramat, saya segera beranjak menuju Stasiun Magelang Kota atau akrab disebut Stasiun Kebonpolo. Cukup mudah mencari letak stasiun ini. Sebelum masuk ke Kota Magelang kita akan menjumpai papan petunjuk menuju Terminal Kebonpolo dan disitulah letak lokasi Stasiun Magelang Kota atau Stasiun Kebonpolo berada. Komplek stasiun ini sekarang memang sudah dialih fungsikan sebagai terminal angkot di Kota Magelang. Dilihat dari fisik bangunannya, Stasiun Kebonpolo sebenarnya tidak memiliki ukuran yang terlalu besar akan tetapi pada zaman dulu stasiun ini memiliki fungsi yang cuku besar mengingat lokasinya yang strategis.
            Stasiun Kebonpolo terletak di Kelurahan Petrobangsan Kecamatan Magelang Utara. Stasiun ini didirikan pada tahun 1905 dan resmi ditutup pada tahun 1976. Penutupan stasiun ini juga diikuti penutupan stasiun lain yang sejalur. Dulu di lokasi stasiun ini terdapat sebuah gerbong kayu berjenis CR sebagai monument kereta api di Kota Magelang, akan tetapi karena kondisinya yang tidak terawatt dan rusak akhirnya pada tahun 2011 gerbong tersebut dipindahkan ke museum kereta api Ambarawa. Komplek area Stasiun Kebonpolo memiliki area yang cukup luas. Disini bekas rel  jalur kereta api sudah sulit ditemui karena telah tertutup oleh aspal jalan dan bangunan milik masyarakat.

Bekas Bangunan Stasiun Magelang Kota atau Stasiun Kebonpolo

Stasiun Magelang Kota (Kebonpolo)
Sumber: Tropen Museum

 Demi mengejar waktu, perjalanan saya lanjutkan menuju ke pusat Kota Magelang untuk mencari lokasi Halte Magelang Alun-Alun. Menurut info yang saya dapatkan dari berbagai sumber, lokasi halte tersebut berada di dekat Toserba Matahari yang berada disekitar alun-alun Kota Magelang. Bangunannya sendiri memang sudah tidak berbekas sama sekali karena tergusur oleh pembangunan kota.

Perkiraan Area Lokasi Stasiun Magelang Alun-Alun

Stasiun Alun-Alun Magelang Tahun 1910
Sumber: kitlv.nl

Kondisi Jalur Kereta di Kota Magelang Tahun 1910
Sumber: kitlv.nl

Bergerak meninggalkan alun-alun Kota Magelang, perjalanan saya lanjutkan menuju Pasar Rejowinangun. Menurut informasi yang saya dapatkan dulu di Pasar Rejowinangun terdapat sebuah stasiun kereta bernama Stasiun Magelang Pasar. Cukup sulit bagi saya menemukan lokasinya. Sayapun mencoba menyusuri setiap jalan dan gang yang ada diarea sekitar pasar. Bahkan Jejak-jejak rel pun tidak satupun yang bisa saya jumpai. Pencarian saya lakukan terus secara berulang dengan asumsi mungkin saya kurang teliti atau kurang jeli. Akhirnya setelah hampir 20 menit mencari saya menyerah dan tidak berhasil menemukan jejak-jejak dari Stasiun Magelang Pasar. Suasana pasar yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor serta padat akan bangunan toko-toko mempersulit pencarian saya di area tersebut. Mungkin kali ini saya kurang beruntung.
            Menurut info yang saya dapatkan dari rekan saya yang tinggal di Magelang, bangunan Stasiun Pasar Magelang memang sudah tidak ada dan digantikan oleh taman yang ada disekitar pasar. Stasiun Magelang Pasar didirikan pada tahun 1905 dan ditutup pada tahun 1976. Dahulunya stasiun ini ramai oleh pedagang yang akan menjual hasil perkebunan dan pertaniannya ke Pasar Rejowinangun.

Kereta Berhenti di Stasiun Pasar Magelang Tahun 1910
Sumber: kitlv.nl

Suasana Penumpang Menunggu Kereta Api di Stasiun Magelang Pasar
Sumber: Kitlv.nl

Beranjak dari Pasar Rejowinangun, perjalanan saya lanjutkan mencari Stasiun Banyurejo. Menurut info yang saya dapatkan letak stasiun ini berada di Jalan Mayor Jenderal Sugeng Kelurahan Mertoyudan. Setelah lama mencari saya tidak bisa menemukan lokasi stasiun, mungkin karena bangunannya sudah dibongkar tak bersisa. Akhirnya saya berlanjut ke stasiun berikutnya yaitu Stasiun Mertoyudan. Kali ini saya beruntung karena masih bisa menjumpai bangunnannya.
            Lokasi Stasiun Mertoyudan sendiri sangat strategis karena terletak dipinggir jalan Magelang - Muntilan. Bangunan stasiun masih nampak bagus dan terawat meskipun sudah tidak terpakai. Sama dengan stasiun sebelumnya, stasiun ini didirikan pada tahun 1905 dan ditutup pada tahun 1976. Diseberang jalan saya masih bisa melihat bekas bangunan rumah dinas kepala stasiun yang masih kokoh berdiri di pinggir jalan. Bangunan Stasiun Mertoyudan sangat kontras dengan bangunan yang ada disekitarnya yang rata-rata adalah bangunan baru. Disamping bangunan stasiun saya juga masih bisa menjumpai sisa alat persinyalan kereta api yang lazim ada di stasiun-stasiun. Jika dilihat dari foto Stasiun Mertoyudan zaman dulu, jalan raya yang ada didepannya adalah bagian emplasemen stasiun.

Bekas Bangunan Stasiun Mertoyudan

Stasiun Mertoyudan Tempo Dulu
Sumber: De Tuin Van Java

Perjalanan saya lanjutkan kembali, kali ini mencari lokasi Stasiun Japonan. Menurut sumber yang ada Stasiun Japonan terletak di Jalan Mayor Jenderal Sugeng. Kali ini saya kembali kurang beruntung karena saya tidak berhasil menjumpai bangunan stasiun. Mungkin bangunan stasiun sudah dibongkar seperti stasiun yang lain. Berlanjut perjalanan saya mencari Stasiun Blondo, kali ini perjalanan agak sulit karena ternyata posisi rel telah berubah bersilangan dengan jalan raya. Rel yang semula berada di kiri jalan searah dengan arah saya, kini telah bersilang ke kanan jalan. Tentu saja hal ini agak menyulitkan pencarian saya.
            Mencari Stasiun Blondo mengantarkan saya ke daerah Mungkid Desa Blondo yang letaknya berada di sebelah kanan jalan dari arah Magelang. Cukup sulit mencari lokasi stasiun karena setelah berputar-putar lama saya hanya berhasil menemukan jejak rel nya saja. Itupun sisa rel yang masih ada “nyelempit” diantara rumah warga yang sangat padat. Mungkin saya telah menemukan stasiunnya tapi saya melewatkannya. Sempat bertanya pada 3 orang anak yang kebetulan ada dipinggir jalan yang mengatakan bahwa lokasi stasiun telah menjadi rumah warga bernama Pak Aan. Stasiun Blondo berdiri pada tahun 1905 bebarengan dengan stasiun lain di Magelang. Lokasinya yang ada di tengah pemukiman warga ini lah yang membuat banyak orang tak tahu kalau disana pernah terdapat stasiun.

Bekas Rumah Dinas Kepala Stasiun Blondo
Sumber: AkeRu

Bekas Jalur Kereta di Blondo

Beranjak dari Desa Blondo perjalanan saya lanjutkan mencari Stasiun Blabak. Kali ini jalur kereta api mulai berpindah menyeberang jalan raya ke sebelah kiri jalan dari arah Magelang. Hal ini cukup memudahkan saya untuk melakukan penelusuran. Akan tetapi saya tidak bisa menemukan titik perpotongan jalur kereta dengan jalan raya karena sudah tidak terdapat bekas rel kereta.
Sesuai dengan petunjuk yang saya miliki, Stasiun Blabak terletak tidak jauh dari pabrik kertas Blabak. Dahulu distasiun ini terdapat jalur menuju pabrik kertas. Selain untuk mengangkut penumpang, Stasiun Blabak juga digunakan untuk angkutan kertas pada masanya. Stasiun ini di buka pada tahun 1905 dan resmi ditutup pada tahun 1976. Kini bangunan stasiun telah berubah menjadi warung makan.
Disekitar area stasiun saya masih bisa menjumpai beberapa potongan besi rel kereta api. Melihat kondisi fisiknya, bangunan Stasiun Blabak masih Nampak cukup terawat. Di titik ini sebenarnya saya agak kesulitasn untuk mengambil gambar stasiun karena kondisi jalan raya yang padat akan kendaraan sehingga saya harus berputar kesebrang jalan.

Bekas Bangunan Stasiun Blabak

Meninggalkan Stasiun Blabak, perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Pabelan. Menurut info yang ada letak stasiun ini tidaklah jauh dari jembatan Kali Pabelan. Mendekati Kali Pabelan saya mencoba mencari jalan menuju bekas jembatan kereta yang melintas diatas sungai. Bekas jembatan kereta yang melintas di atas Kali Pabelan cukup besar. Bahkan dari jalan rayapun kita bisa menyaksikannya. Diperkampungan dekat jembatan, saya tidak berhasil menemukan bekas rel kereta. Menurut saya bekas rel telah banyak yang hilang dan tertimbun tanah. 
Setibanya di bibir jembatan saya menyempatkan untuk beristirahat sejenak melepas lelah sembari menikmati keindahan Sungai Pabelan. Disana saya juga berusaha mencari petunjuk yang mungkin bisa menuntun saya ke bekas lokasi Stasiun Pabelan. Cukup beristirahat perjalanan saya lanjutkan dengan melintasi jembatan bekas jalur kereta yang telah disemen tersebut. Cukup menakutkan memang mengingat ketinggian jembatan yang cukup tinggi.
Bangunan Stasiun Pabelan menurut informasi yang saya peroleh dari teman saya memang sudah tidak. Tiba diseberang jembatan saya mencoba mencari jejak bekas lokasi stasiun dahulu berada. Lama mencari, akhirnya saya teta tidak berhasil menemukan bekas lokasi stasiun. Akhirnya perjalanan saya lanjutkan kembali.

Bekas Jembatan Kereta di Pabelan

Perjalanan kali ini saya lanjutkan mencari Stasiun Muntilan. Cukup mudah mencari lokasi stasiun ini karena stasiun telah diberubah menjadi Terminal Bus Muntilan. Tiba diarea terminal saya langsung bisa mengenali bangunan bekas Stasiun Muntilan. Posisi bangunan terletak disamping pintu masuk terminal. Ukuran bangunannya lumayan besar dan masih tampak terawat. Sayang sekali saya tidak bisa mengabadikan bangunan stasiun karena kebutulan pada waktu itu Hand Phone mendadak error.
Beranjak dari Terminal Muntilan perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Muntilan Kidul. Saya tidak berhasil menemukan bekas stasiun, karena menurut informasi yang ada bangunan stasiun sudah dirubuhkan. Untuk letak bekas stasiun sendiri terletak di Jalan Pemuda. Berlanjut, perjalanan saya lanjutkan di Desa Gulon Kecamatan Salam untuk mencari lokasi Stasiun Dangean. Kali ini saya kembali kurang beruntung karena susah sekali mencari informasi mengenai sisa stasiun ini. Akhirnya sayapun langsung bergegas menuju Desa Jumoyo untuk mencari lokasi Stasiun Tegalsari.
Kali ini saya agak beruntung karena berhasil menemukan lokasi Stasiun Tegalsari. Posisinya sendiri berada tepat di samping Jalan Magelang sebelum jembatan Kali Putih. Kondisi stasiun sendiri masih cukup baik dan telah berubah fungsi menjadi warung makan. Dilokasi bekas stasiun saya agak mengalami kesulitan karena kebetulan dijalan raya didepan bangunan bekas stasiun terjadi kemacetan panjang sehingga saya tidak bisa mengambil gambar bangunan stasiun.

Stasiun Tegalsari Tempo Dulu
Sumber: google.com

Sembari berkutat dengan macetnya jalan raya, perjalanan saya beranjak meninggalkan Stasiun Tegalsari menuju Stasiun Semen. Stasiun Semen terletak di Desa Sucen Kecamatan Salam atau di Jalan Magelang. Sayang sekali saya tidak bisa menemukan bekas bangunan stasiun. Sangat sedikit sekali informasi mengenai stasiun ini, namun menurut info lokasi stasiun berada didekat pertigaan Semen. Berhubung hari semakin siang, perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Tempel yang berada di Kabupaten Sleman. Stasiun ini terletak disamping kanan jembatan Krasak atau perbatasan antara Jateng dan DIY.
            Awalnya saya sangat kesulitan mencari lokasi stasiun ini, karena posisi saya berada di kiri jalan sedangkan saya harus menyebrang jalan dengan kondisi lalu lintas yang sangat padat. Akhirnya melalui informasi yang saya peroleh dari seorang nenek yang berada disana, saya ditunjukkan jalan pintas menuju stasiun melalui terowongan yang berada di bawah jembatan.

Stasiun Tempel Tempo Dulu
Sumber: Tropen Museum

Bekas Bangunan Stasiun Tempel

Bangunan Gudang Stasiun Tempel

Bangunan Rumah Dinas Kepala Stasiun Tempel

Stasiun Tempel terletak di dekat Pasar Tempel. Stasiun ini dibuka pada tahun 1905 dan resmi ditutup pada tahun 1976 akibat sepinya jumlah penumpang. Bangunan bekas stasiun masih nampak bagus dan terawat. Disana kita masih bisa menemukan bekas rumah dinas kepala stasiun, bangunan stasiun, bangunan gudang stasiun dan menara air. Stasiun Tempel sendiri kini telah dialihfungsikan sebagai taman kanak-kanak.
Sebelum beranjak dari Tempel, saya menyempatkan diri untuk istirahat sejenak sambil melepas lelah. Kebetulan didekat jembatan Kali Krasak ada penjual lotek yang lumayan enak dengan harga terjangkau. Setelah puas mengisi perut perjalanan saya lanjutkan mencari Halte Ngebong yang pada akhirnya saya juga tidak berhasil menemukan bekas halte ini.
            Berpacu dengan teriknya matahari siang itu, saya segera tancap gas menuju stasiun berikutnya yakni Stasiun Medari. Stasiun Medari menurut info yang saya dapatkan terletak di dekat bekas pabrik Medari yang dulunya adalah bangunan Pabrik Gula Medari di Desa Caturharjo. Cukup lama saya berkutat ditempat itu, namun yang saya temukan hanyalah tiang listrik yang terbuat dari bekas besi rel kereta api. Dulu terdapat jalur kereta menuju ke pabrik Medari saat masih menjadi pabrik gula. Kini bekas jalur kereta sudah sangat sulit ditemukan.

Bekas Bangunan Stasiun Medari
Sumber: kombor.com

Selanjutnya perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Sleman. Menurut info yang saya dapatkan Stasiun Sleman telah berubah menjadi taman kota yang berada di dekat Pasar Sleman. Tak banyak informasi yang saya miliki mengenai stasiun ini. Perjalananpun saya lanjutkan kembali menuju Stasiun Pangukan. Saya kurang tahu persis mengenai lokasi Stasiun Pangukan ini karena sedikitnya info yang saya miliki. Akhirnya perjalananpun saya lanjutkan menuju Stasiun Beran.

Perkiraan Bekas Lokasi Stasiun Sleman

Perjalanan saya akhirnya tiba dipusat Kota Sleman. Kali ini saya mencoba mencari posisi Stasiun Beran yang terletak di Desa Tridadi Sleman. Posisinya sendiri terletak dijalan Pringgodiningrat dibagian depan dan Jalan PJKA dibagian belakang. Sebenarnya saya agak sedikit mengalami kesulitan mencari lokasi bekas bangunan stasiun karena banyaknya percabangan jalan disana.
Menurut info yang saya dapatkan bangunan bekas Stasiun Beran kini dipakai sebagai kantor Koramil. Setibanya didepan kantor Koramil, sepintas bangunan yang saya lihat sudah tidak menyerupai bangunan stasiun lagi. Hal ini dikarenakan bangunan sendiri sudah mengalami banyak  renovasi. Menurut beberapa artikel yang pernah saya baca dibagian dalam kantor Koramil tersebut masih terdapat bagian bangunan yang dahulu digunakan sebagai tempat penjualan tiket seperti yang ada disetiap stasiun. Perlengkapan kereta api yang masih tersisa di lokasi tersebut adalah bekas peralatan sinyal yang terletak di saming bangunan kantor Koramil.

Bekas Bangunan Stasiun Beran

Beranjak dari Stasiun Beran, perjalanan saya lanjutkan menuju Halte Mlati. Halte ini terletak di Desa Sendangdadi Kecamatan Mlati Sleman. Lokasinya sangat mudah untuk ditemukan yaitu di Jalan Magelang KM 7,8. Bangunan halte sendiri sekarang sudah dialihfungsikan sebagai pos polisi sehingga bangunannya sudah tidak menyerupai bangunan halte kereta api.

Bekas Bangunan Halte Mlati

Dibagian samping halte terdapat sebuah bangunan gereja yang cukup besar yakni Gereja Santo Aloysius. Menurut sejarah yang pernah saya baca, dahulu tujuan pembangunan Halte Mlati adalah sebagai sarana bagi orang-orang Belanda yang hendak ingin pergi sembahyang ke gereja. Bahkan menurut beberapa referenssi menyebutkan didalam bekas bangunan  halte sekarang masih terdapat tulisan ruang tunggu bagi penumpang kereta.
 Perjalanan kembali saya lanjutkan mencari lokasi Halte Kutu. Halte ini terletak di Desa Sinduaji Kecamatan Mlati Sleman atau tepatnya berada di depan gedung TVRI Jogja. Sesampainya disana saya sama sekali sudah tidak bisa menemukan bekas halte karena telah tergusur oleh pembangunan kota. Sayapun hanya bisa memperkirakan lokasi halte dimana dulunya berdiri.

Perkiraan Lokasi Halte Kutu

Dibekas lokasi Halte Kutu inilah perjalanan saya berakhir. Sebenarnya setelah Halte Kutu masih ada dua lokasi lagi, yaitu Halte Kricak dan Stasiun Tugu. Halte Kricak menurut informasi yang saya peroleh bangunannya sudah tidak ada karena telah lama dirubuhkan. Halte ini terletak di Kelurahan Kricak atau tepatnya di depan gedung KPU Jogja. Sedangkan untuk Stasiun Tugu sendiri saat ini masih aktif digunakan dan merupakan stasiun terbesar di Provinsi DIY yang melayani perjalanan kereta api keseluruh pelosok pulau Jawa terutama dijalur selatan. Di Stasiun Tugu itulah jalur kereta api dari Megelang berakhir. Stasiun Tugu merupakan stasiun yang ramai dimasanya karena distasiun tersebut terdapat beberapa percabangan jalur menuju kebeberapa wilayah diantaranya adalah Solo, Kutoarjo, Magelang, Pundong via Ngabean, dan Sewugalur.

Stasiun Tugu Tahun 1890 dan 1935
Sumber: kitlv.nl

Setelah melalui puluhan stasiun dan halte disepanjang Magelang dan Jogja, perjalanan saya lanjutkan pulang menuju Solo. Kurang lebih dua jam perjalanan akhirnya saya tiba di Solo dengan selamat. Lelah pasti iya, akan tetapi banyak pengalaman dan hal-hal baru yang saya jumpai diperjalanan saya kali ini. Semoga dilain waktu saya bisa melakukan blusukan lagi ditempat lain dengan sejarah kereta api yang tak kalah serunya.

_______________________________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanabrikgula.blogspot.com
_______________________________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama  




























Rabu, 08 Oktober 2014

BEKAS JALUR KERETA BEDONO - CANDI UMBUL

 BLUSUKAN JALUR SEPUR BEDONO – CANDI UMBUL BERSAMA KOTA TOEA  MAGELANG

            28 September 2014 mungkin bukanlah angka yang spesial bagi sebagian orang. Bukan juga sebuah angka yang cantik yang perlu diabadikan dalam momen tertentu. Tapi bagi segelincir orang terutama pecinta sejarah kereta api, tanggal tersebut adalah sebuah momen dimana kereta api yang dulunya dikuasai oleh Belanda dan Jepang dapat diambil alih oleh pemerintah Indonesia tepat 69 tahun yang lalu.
            69 tahun sudah kereta api menjadi perusahaan milik pemerintah. Dan 150 tahun sudah ular besi berada di Indonesia. Usianya yang sudah tua tak menjamin eksistensi kereta api di Indonesia. Bahkan keberadaan kereta api di Indonesia bisa dikatakan “kempas kempis” menghadapi perputaran zaman. Hal ini diakibatkan persaingan yang ketat dengan moda transportasi darat lain berbasis jalan raya. Kereta api dianggap kuno dan lambat. Itulah kenapa kita bisa menjumpai “bangkai-bangkai” rel kereta api berceceran di beberapa wilayah di Indonesia seolah-olah tak memiliki cerita yang bisa diceritakan mengenai sejarah perjalanan bangsa. Sungguh ironi bagi negeri yang besar ini.
            Sebagai upaya untuk melestasikan sejarah perkeretaapian di Indonesia dan untuk memperingati hari ulang tahun kereta api Indonesia yang ke 69 tahun, komunitas Kota Toea Magelang mengadakan acara “Jelajah Jalur Spoor 3” yang mengambil rute dari Stasiun Bedono hingga Stasiun Candi Umbul kurang lebih sejauh 15 kilometer. Kebetulan informasi ini sampai ditelinga saya dan dengan senang hati saya ikut berpartisipasi dalam acara ini. Berikut adalah hasil blusukan saya bersama dengan teman-teman dari komunitas Kota Toea Magelang.

Memulai Blusukan
            Blusukan saya kali ini berbeda dengan blusukan saya sebelumnya. Biasanya blusukan saya lakukan sendiri dengan menggunakan motor akan tetapi kali ini blusukan saya lakukan dengan jalan kaki bersama dengan teman-teman dari komunitas Kota Toea Magelang. Tentu menjadi lebih seru dan menyenangkan.
            Perjalanan saya awali dari Kota Solo. Waktu itu perjalanan ke Magelang saya lakukan dengan menaiki bus dari Terminal Tirtonadi Solo. Sebenarnya ada rencana berangkat ke Magelang dengan menggunakan motor tetapi dengan berbagai pertimbangan akhirnya perjalanan saya putuskan menggunakan bus. Tepat pukul setengah empat pagi saya tiba di terminal. Suasana sepi terminal segera menyambut kedatangan saya. Tak banyak aktivitas yang tampak di terminal. Hanya beberapa bus yang terpakir di emplasemen. Penumpang yang menunggu bus pun bisa dihitung dengan jari.
            Setelah hampir setengah jam menunggu, akhirnya bus yang saya tunggu-tunggu datang juga. Suasana dingin AC langsung menghinggapi tak lama saat menginjakkan kaki di dalam bus. Perjalanan saya berlanjut meninggalkan Solo beranjak menuju Jogja tempat pemberhentian saya yang pertama. Kurang lebih 1 jam perjalanan akhirnya tiba juga saya di Terminal Giwangan Jogja. Disana saya beristirahat sebentar sembari melaksanakan sholat subuh. Kurang lebih pukul setengah 6 pagi perjalanan saya lanjutkan menuju Magelang.
            Perjalanan saya menuju Magelang kali ini tampaknya tak semulus perjalanan saya saat berangkat ke Jogja. Niat hati ingin naik bus patas apa daya yang tersedia hanyalah bus “omprengan”. Mau tak mau, suka tak suka akhirnya saya terpaksa menaiki bus tersebut demi mengejar waktu ke Magelang. Tak berapa lama firasat buruk saya benar-benar terbukti. Bus berjalan sangat lambat, bahkan saat tiba di Terminal Jombor bus berhenti lama seolah tak menghiraukan penumpamg yang ada didalamnya.
            Waktu terus berlalu hingga pukul setengah 7 pagi dimana posisi saya masih berada di wilayah Sleman. Kala itu saya sempat menghubungi Mas Bagus selaku ketua penyelenggara untuk berkenan menunggu saya agar tidak ditinggal. Dengan terus berdoa agar bus segera cepat sampai di terminal Magelang akhirnya pada pukul 7 persis bus memasuki Terminal Tidar Magelang. Saya teringat akan jadwal panitia bahwa keberangkatan menuju Bedono akan dimulai pada pukul setengah 8 pagi. Dengan penuh rasa cemas akhirnya saya putuskan untuk mencari ojek guna mempersingkat waktu dan menghindari ditinggalnya saya dari rombongan. Tidak lucu memang jika jauh-jauh dari Solo tapi akhirnya harus ditinggal rombongan. Setelah tawar menawar tarif ojek akhirnya dengan ongkos Rp 15.000,- saya berangkat menuju Boton tempat berkumpulnya peserta.
            Pukul tujuh seperempat akhirnya saya tiba di Boton dengan mengucap syukur alhamdulillah. Ternyata saya belum terlambat. Nampak beberapa peserta masih melakukan registrasi. Saya pun tak mau ketinggalan. Segera saya hampiri meja panitia dan melakukan registrasi. Alhamdulillah dari panitia menyediakan air minum dan makanan ringan yang lumayan untuk mengganti sarapan pagi saya karena belum sempat sarapan selama perjalanan karena tragedi “ bus omprengan”. 
            Saya sempat kaget ketika berada disana. Peserta yang saya perkirakan hanya 30-an orang ternyata membludak sebanyak 70-an orang. Peserta berasal dari berbagai kalangan mulai dari pelajar, pecinta sejarah, railfans (pecinta kereta api), traveler, backpacker dan sebagainya. Beberapa peserta pun juga nampak mengunakan kostum unik bertemakan perjuangan bangsa. Yang sedikit membuat saya kaget kala itu adalah beragamnya usia peserta, mulai dari anak-anak hingga orang tua yang bisa dikatakan sudah berumur semuanya ada. Dalam hati saya muncul sebuah kebanggaan tatkala melihat banyaknya anak-anak dan kalangan pemuda yang mengikuti acara ini. Sungguh ini adalah sinyal positif sebagai generasi bangsa yang peduli terhadap sejarah bangsa. Satu hal yang membuat saya sedih kala itu adalah saya tidak punya teman “ngobrol” karena wajah yang saya temui adalah wajah-wajah baru. Kalaupun ada itupun melalui foto yang saya lihat dari facebook. Tapi acara ini saya jadikan sebagai ajang bersilaturahmi bagi para pecinta sejarah sekaligus ajang menambah relasi.
            Tepat pukul setengah delapan pagi kami bersiap berangkat menuju Bedono. Tak lupa kami melakukan briving dan berdoa sebelum berangkat. Akhirnya pukul setengah delapan lebih sedikit kami berangkat menuju Bedono. Perjalanan menuju Bedono kami tempuh dengan menggunakan angkot yang telah disediakan oleh panitia. Perjalanan semakin seru dengan diiringi oleh lagu-lagu jadul dari Koesplus yang diputar melalui perangkat audio dari dalam angkot. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan. 

Briving dari Panitia Sebelum Menuju Bedono

Peserta Menaiki Angkot Menuju Bedono

Kurang lebih pukul setengah sembilan pagi kami tiba di kompleks Stasiun Bedono. Riuhnya suasana jalan raya berbanding terbalik dengan kondisi stasiun kala itu. Yang tampak hanyalah aktivitas para pekerja yang sedang melakukan renovasi pada bagian gedung stasiun yang sudah nampak tua itu. Setibanya disana kedatangan kami langsung disambut oleh kepala Stasiun Bedono yang bernama Bapak Jumadi. Beliau adalah anak dari pensiunan PJKA yang dulunya juga bertugas sebagai kepala Stasiun Bedono. Beliau sempat menjelaskan kepada kami mengenai sejarah singkat Stasiun Bedono.
Stasiun Bedono adalah stasiun yang terletak di Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang. Stasiun ini dibangun oleh Nederlands Indische spoorweg (NIS) pada tahun 1905 dan terletak pada ketinggian 693 meter diatas permukaan air laut. Stasiun ini dulunya melayani rute dari Mgelang hingga Kedung Jati. Disisi lain stasiun kita masih bisa menjumpai turntable yang digunakan untuk memutar lokomotif. Seiring berjalannya waktu akhirnya stasiun ini ditutup pada tahun 1976 karena jumlah penumpang yang turun drastis. Saat ini stasiun hanya digunakan untuk melayani kereta wisata dari Ambarawa.        
Di sekitar area Stasiun Bedono kami diberi waktu untuk menjelajahi kawasan stasiun. Disana kami sempat bermain dengan alat pemutar lokomotif atau turntable yang ternyata masih bisa digunakan hingga saat ini. Kondisinya pun masi Nampak baik dan terawatt. Tak lupa kami juga menyempatkan untuk berfoto bersama dengan latar belakang bangunan Stasiun Bedono.
Dibagian belakang dari Stasiun Bedono terdapat sebuah bukit dimana dibagian atasnya terdapat sebuah kolam penampungan air. Pada zaman dahulu kolam penampungan tersebut digunakan untuk menyediakan air bagi lokomotif-lokomotif yang singgah di stasiun tersebut yang dihubungkan dengan menggunakan saluran pipa-pipa panjang menuju stasiun. Hal ini sangat unik karena biasanya stasiun menggunakan menara air untuk menyimpan air sebagai suplai untuk lokomotif. Tetapi di Stasiun Bedono memanfaatkan bukit yang ada dibelakang stasiun sebagai pengganti menara air. Hingga sekarang kolam penampungan air tersebut masih terawat dengan baik. 

Peserta Memasuki Komplek Stasiun Bedono

Kepala Stasiun Bedono (Kanan)

 Turntable di Stasiun Bedono

Emplasemen Stasiun Bedono

Foto Bersama Peserta Jejalah Jalur Sepur 3 di Stasiun Bedono
Sumber: Kota Toea Magelang

Beranjak dari Stasiun Bedono perjalanan pun kami lanjutkan mengikuti arah rel kereta api menuju ke Stasiun Gemawang pada pukul sembilan pagi. Perlu diketahui bahwa jelajah sepur kali ini kami akan melewati beberapa stasiun, yaitu: Stasiun Gemawang, Stasiun Grabag Merbabu, dan Stasiun Candi Umbul. Berada di Dusun Krajan yang terletak tak jauh dari Stasiun Bedono kami mulai menjumpai bekas rel kereta dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Rel telah berubah menjadi jalanan kampung. Bahkan ada rel yang tampak menggantung karena tanah dan balasnya telah longsor. Sungguh suatu pemandangan yang amat miris mengingat bahwa rel yang ada disana adalah jenis rel bergerigi yang tidak sembarang tempat bisa kita temui.
Di Indonesia hanya ada dua lokasi dimana kita bisa menemukan jalur kereta api menggunakan gerigi, yaitu di Ambarawa dan Lembah Anai. Selain itu jalur rel bergerigi yang masih aktif saat ini hanya ada dua didunia, yakni di Indonesia dan di India. Hal ini tentu sangat membanggakan mengingat kita masih memiliki aset sejarah yang tidak dimiliki banyak Negara. Bahkan saat ini banyak wisatawan dari mancanegara datang jauh-jauh ke Ambarawa hanya untuk merasakan sensasi naik kereta api dengan menggunakan rel bergerigi. Hal ini sebenarnya sangat berpotensi untuk mendatangkan devisa dari sektor wisata kereta api.

Bekas Rel Menggantung di Bedono

Perjalanan kami berlanjut meninggalkan perkampungan warga. Kamipun tiba disebuah perkebunan kopi milik masyarakat setempat yang sangat rimbun dan lebat. Suasana teduh dan sunyipun segera datang menghampiri kami. Kondisi rel perlahan-lahan mulai menghilang di telan bumi. Tak heran memang, jalur ini sudah 40 tahun tak terpakai sehingga kondisinya bisa dikatakan sangat memprihatinkan.
            Kami berjalan menyusuri sebuah jalan yang ada didalam perkebunan kopi. Sesekali kami menjumpai rel yang muncul kepermukaan tanah dengan kondisi berkarat. Terkadang masih nampak tulisan pabrik pembuat rel dan tahun pembuatan rel yang tertulis tahun 1902-1903. Kami juga sempat menemui beberapa pondasi kecil jembatan kereta api yang melintas diatas saluran air.
            Setelah jauh melangkah merangsek kedalam hutan, kami menjumpai sebuah jembatan berwarna merah tua terbuat dari besi melintas diatas kami. Jembatan tersebut adalah jembatan penghubung antar kampung yang masih digunakan oleh warga sekitar hingga saat ini.  Saya belum bisa menyimpulkan apakah jembatan itu dibangun bebarengan dengan pembangunan jalur kereta api atau dibangun setelah jalur kereta api yang melintas di wilayah tersebut di non aktifkan. Hal tersebut saya dasarkan pada pengamatan saya. Jika jembatan itu dibangun bersamaan dengan pembangunan jalur kereta api itu bisa dimungkinkan melihat kondisi fisik jembatan yang sudah tua dan bentuk arsitek jembatan yang masih tampak konvensional. Akan tetapi bisa dimungkinkan juga bangunan jembatan baru didirikan setelah jalur kereta yang melintas diarea tersebut dinonaktifkan. Hal ini saya dasarkan pada tinggi bangunan jembatan yang tidak terlalu tinggi dari permukaan tanah. Tentu saja dengan ketinggian yang hanya seperti itu, kereta pasti akan dengan mudahnya “nyundul” bangunan jembatan.

Bekas Jembatan Ditengah Kebun Kopi

Peserta Jelajah dari Atas Jembatan

Kondisi Rel dengan Balas yang Longsong

Perjalanan kami lanjutkan merangsuk masuk kedalam hutan. Kali ini kondisi jalan setapak mulai agak sedikit berbahaya karena bekas jalur kereta api yang menjadi pijakan kami terlalu mepet dengan jurang akibat longsor, sehingga memaksa kami untuk berhati-hati dan waspada. Kondisi jalur rel sendiri sebenarnya masih bisa dikatakan utuh. Bahkan untuk rel bergerigipun masih terpasang pada posisinya. Hanya saja dibanyak titik banyak gundukan tanah dan balas yang sudah longsor, sehingga kondisi rel agak melenceng.
Perjalanan terus kami lanjutkan. Tampak dari kejauhan kami melihat sebuah bangunan yang megah berdiri ditengah kebun kopi. Semakin mendekat bangunan tersebut nampak semakin jelas. Dan ternyata bangunan megah itu adalah kandang ayam. Bau kotoran ayam yang menusuk hidung segera menyambut kedatangan kami. Sungguh sebuah perjuangan yang sangat berat sekaligus menyenangkan. Kondisi bangunan kandang ayam yang besar dan panjang membuat kami harus lama menahan nafas untuk sesaat. Beberapa dari peserta jelajah ada yang tidak tahan menahan bau dari kotoran ayam tersebut sehingga tak sedikit yang harus muntah karenanya.
            Bagi saya area disekitar kandang ayam tersebut agak aneh dan tak lazim. Dibawah kandang ayam saya menemukan bekas rel yang bercabang dua dan beberapa tiang seperti tiang sinyal. Hal ini tidak saya jumpai selama di perjalanan kecuali di Stasiun Bedono. Menurut Mas Bagus selaku koordinator acara, posisi kandang ayam tersebut masuk dalam wilayah Gemawang. Hipotesa saya bahwa di area kandang ayam itulah dulunya Stasiun Gemawang berdiri, mengingat adanya jalur ganda seperti yang lazim ditemui di stasiun sebagai jalur persilangan. Diarea yang menurut saya adalah bekas lokasi dari Stasiun Gemawang tersebut saya tidak bisa melakukan pengamatan secara rinci, hal ini dikarenakan kepala saya yang pusing akibat dari bau kotoran ayam yang ada disekitar area tersebut. Bahkan saya harus berlari kencang saat melintasi area tersebut agar tidak muntah karena aroma kotoran ayam yang sangat menusuk
            Menurut sejarahnya Stasiun Gemawang dibangun pada tahun 1905 bebarengan dengan dibangunnya Stasiun Bedono. Stasiun ini dulunya digunakan untuk angkutan penumpang dan barang. Stasiun Gemawang sendiri terletak di Kecamatan Jambu Desa Gemawang yang masih berada di wilayah Kabupaten Semarang. Seiring dengan berjalannya waktu stasiun tersebut kemudian ditutup pada tahun 1976 bebarengan dengan ditutupnya jalur dari Bedono menuju Secang. Kini bangunan stasiun sudah tidak berbekas. Sungguh sayang memang.

Perkiraan Lokasi Stasiun Gemawang

Setelah perjuangan hebat melewati kandang ayam yang cukup menguras tenaga dan menguji mental, akhirnya kami memutuskan untuk istirahat sejenak ditengah rimbunya pepohonan perkebunan. Disini kami menikmati bekal yang telah kami bawa sebelumnya untuk memulihkan energi yang telah terkuras selama diperjalanan.
Sembari menunggu rombongan yang masih ada dibelakang, kami saling bertukar cerita mengenai hal-hal menarik yang kami temui disepanjang perjalanan. Suasana perkebunan yang sunyipun berubah menjadi riuh oleh gelagak tawa dari semua peserta. Tak sedikit dari peserta yang bercerita mengenai hal-hal lucu dan unik yang mereka temui diperjalanan terutama di kandang ayam yang barusan kami lewati. Kurang lebih 20 menit beristirahat, perjalanan kami lanjutkan kembali. Saat itu perserta sempat terkejut tatkala panitia mengumumkan bahwa jarak yang masih ditempuh masih sejauh 10 kilometer lagi. Itu berarti jarak yang sudah kami selesaikan baru sejauh 5 kilometer. Padahal waktu itu kami sudah merasa berjalan sangat jauh. Tapi dengan semangat 45 dan bertekat mencapai garis finish, perjalanan pun kami lanjutkan dengan suka cita.

Peserta Beristirahat Ditengah Perkebunan

 Selang berjalan beberapa meter, akhirnya kami tiba disebuah perkampungan di daerah Pringsurat dan mulai menjumpai jalan raya Magelang – Semarang. Suara ramai kendaraan langsung memekakan telinga kami. Perjalanan jelajah kali ini beralih tepat berada disamping jalan raya. Berbeda dengan rute sebelumnya yang nampak tenang dan teduh. Kali ini rute berganti dengan kondisi yang panas dan gaduh oleh kendaraan bermotor.       
            Disepanjang perjalanan saya mengamati bekas jalur kereta api yang ada di sebelah kiri saya. Posisi rel memiliki perbedaan ketinggian dengan jalan raya, dimana rel memiliki posisi yang lebih rendah. Dibeberapa titik saya melihat kondisi rel yang sudah tertimbun oleh rumah permanen milik warga. Bahkan saya juga sempat melihat bekas jembatan kereta melintas diatas sungai dengan kondisi yang masih tampak bagus yang kini dimanfaatkan oleh warga sebagai tempat menjemur pakaian. Sungguh sangat disayangkan memang melihat kondisinya yang sudah tidak terawat.

Rute Jelajah Berpindah Disamping Jalan Raya Semarang – Magelang

Bekas Jembatan Kereta

Tidaklah lama penjelajahan kami berada di samping jalan raya, mungkin hanya berkisar 200 meter. Setelah itu perjalanan kami lanjutkan memasuki wilayah perkebunan. Saat masuk perkebunan kami disuguhi dengan pemandangan yang tak lazim. Ada sepasang jalur kereta api yang longsor cukup curam. Perjalanan kamipun juga sedikit tersendat mengingat kondisi curaman yang cukup dalam.
Diarea ini peserta diharuskan menuruni curaman yang cukup dalam. Kali ini seluruh peserta bekerja sama membuat formasi agar bisa menuruni jalan setapak yang ada dibawah. Pesertapun harus turun satu per satu secara perlahan. Tak sedikit dari peserta yang terpeleset dan terjatuh karena curamnya tanah yang harus dituruni.

Bekas Jalur Kereta yang Longsor

Setelah semua peserta jelajah berhasil menuruni longsoran tersebut perjalanan kami lanjutkan kembali. Kali ini perjalanan kami lanjutkan menyusuri perkebunan warga. Kamipun segera disuguhi pemandangan pematang sawah yang luas menghijau yang sangat indah. Sungguh menyenangkan memang. Tak berapa lama kamipun melintasi sebuah jembatan yang melintang diatas sungai yang cukup lebar. Kerangka jembatan masih nampak kokoh.  Bagian alas jembatan tersebut menggunakan besi bekas rel kereta yang telah disusun dan dilas.


Peserta Melintas Diatas Bekas Jembatan Kereta

Hari semakin siang, mataharipun semakin terik memancarkan sinarnya. Terus melangkah mengikuti jejak jalur kereta, akhirnya kami putuskan untuk istirahat sejenak guna mengisi tenaga yang telah terkuras. Sembari melepas lelah kamipun menikmati segarnya udara ditengah perkebunan yang sangat segar. Waktu itu banyak peserta yang masih tertinggal jauh dibelakang karena semakin beratnya medan yang kami lalui.

Peserta Jelajah Beristirahat di Tengah Perkebunan

Setelah puas beristirahat, perjalanan kami lanjutkan menuju ke Stasiun Grabag Merbabu yang telah menanti di depan kami. Jarak dari tempat kami beristirahat dengan lokasi stasiun tidaklah terlalu jauh. Hanya berjalan selama 20 menit akhirnya kami tiba dititik pemberhentian yang ketiga yaitu Stasiun Grabag Merbabu. Sesampainya disana kami kembali melepas lelah sembari menikmati camilan tradisonal yang telah disiapkan oleh panitia.  
Sambil beristirahat melepas lelah, saya terus mengamati bangunan stasiun yang sekarang telah berubah menjadi sekolahan tersebut. Bangunan stasiun masih tampak kokoh dan terawat. Bentuk aslinya pun masih tetap dipertahankan. Bahkan lantai emplasemen stasiun yang khas dengan ubin kuning kotak-kotak pun masih bisa saya lihat. Bekas rel pun masih bisa saya temui di depan bangunan stasiun yang seolah menandakan bahwa disitulah dulunya kereta berhenti menjemput penumpang. Ventilasi bundar khas stasiun juga tak kalah apik menghiasi bangunan tua itu.

Emplasemen Stasiun Grabag Merbabu

Peserta Jelajah di Stasiun Grabag Merbabu
Sumber: Kota Toea Magelang

Sekilas pengamatan saya bangunan Stasiun Grabag Merbabu menurut saya hampir mirip dengan bangunan Stasiun Sukoharjo dan Stasiun Kranggan di Temanggung. Stasiun Grabag Merbabu didirikan oleh NIS pada tahun 1905 bebarengan dengan pembangunan jalur kereta lintas Magelang – Semarang. Tahun 1970-an stasiun ini masih ramai dengan penumpang. Pada tahun 1976 stasiun ini resmi ditutup setelah 71 tahun beroperasi karena kalah bersaing dengan moda transportasi berbasis jalan raya.
Selepas dari Stasiun Grabag Merbabu, perjalanan kami lanjutkan menuju Stasiun Candi Umbul. Perjalanan kami kali ini semakin bertambah berat. Rute yang kami lewati sudah berganti dengan jalanan kampung yang berdebu dan berkerikil serta jalan di tengah pematang sawah yang sangat panas. Tentu sangatlah berbeda dengan perjalanan kami sebelumnya yang melintasi perkebunan yang teduh dan rimbun. Diperjalanan kami juga sempat melintasi jembatan yang melintang diatas Sungai Elo yang cantik.

Peserta Melintas Diatas Jembatan Kali Elo

Setelah berjalan kurang lebih satu jam perjalanan akhirnya kami tiba di titik pemberhentian terakhir yaitu Candi Umbul. Kami tiba di kompleks Candi Umbul kurang lebih pukul satu siang. Sesampainya disana kami langsung melepas lelah. Beberapa peserta ada yang merendam kakinya dan ada juga yang tidur-tiduran di kompleks pemandian. Setelah istirahat sejenak, saya memutuskan untuk melanjutkan blusukan lagi ke lokasi bekas Stasiun Candi Umbul yang letaknya tidak terlalu jauh dari lokasi pemandian.
Lokasi bekas Stasiun Candi Umbul terletak ditengah sawah yang agak jauh dari pemukiman warga. Diarea bekas stasiun terdapat dua bangunan, yaitu bangunan stasiun dan bangunan rumah dinas kepala stasiun. Kedua bangunan tersebut kini sudah rusak parah. Yang tersisa hanyalah dinding bangunannya saja. Menurut beberapa informasi yang saya dapatkan, rusaknya bangunan stasiun selain karena tidak dirawat juga diakibatkan karena penjarahan yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab terhadap bagian-bagian stasiun. Di halaman depan stasiun masih nampak beberapa sisa potongan rel kereta api. Bahkan saya juga sempat menemukan bekas sepasang roda kereta api di dekat rumah seorang warga.
Stasiun Candi Umbul adalah sebuah stasiun yang terletak di Desa Kartoharjo, Grabag Magelang. Stasiun ini didirikan oleh NIS pada tahun 1905. Stasiun yang terletak paling utara dari Kabupaten Magelang ini dulunya digunakan untuk pemberhentian penumpang yang hendak berwisata ke pemandian Candi Umbul. Seiring dengan berjalannya waktu stasiun ini mulai ditinggalkan dan resmi ditutup pada tahun 1976 karena sepinya penumpang.

Bekas Stasiun Candi Umbul

Bekas Rumah Dinas Kepala Stasiun Candi Umbul

Bekas Sepasang Roda Kereta di Candi Umbul

Selepas dari bangunan stasiun, saya kembali ke kompleks pemandian Candi Umbul untuk melepas lelah. Bersama dengan peserta lain kami saling bercerita bertukar pengalaman masing-masing. Banyak ilmu dan wawasan yang saya dapatkan disana terutama mengenai sejarah yang ada dikawasan Magelang dan wilayah Kedu. Peserta jelajah kali ini memang didominasi oleh para pecinta sejarah, sehingga sangat asyik berdiskusi dengan orang-orang tersebut. Bahkan lamanya waktu berdiskuspiun tak terasa telah kami habiskan.

Kompleks Pemandian Candi Umbul

Peserta Jelajah Didepan Kompleks Candi Umbul
Sumber: Kota Koea Magelang

Kurang lebih pukul tiga sore kami bersiap-siap untuk kembali ke Magelang dengan menggunakan angkot yang telah menunggu kami semenjak tadi. Perjalanan kami menuju ke Magelang kurang lebih 40 menit. Sepanjang perjalanan pulang kami masih disuguhi pemandangan hamparan sawah yang terbentang luas. Suasana mendung menambah dinginnya suasana sore itu.
            Akhirnya kami tiba di Magelang di titik kita pertama berkumpul tadi pagi. Dan dari situlah kita berpisah dengan meninggalkan kenangan yang tak akan terlupakan. Bagi saya, perjalanan belum berakhir karena saya harus segera beranjak menuju ke Solo. Dengan menggunakan angkotan merah akhirnya saya tiba di Terminal Tidar Magelang. Seperti halnya kejadian tadi pagi yang saya alami di Jogja, niat hati ingin naik bus patas apadaya supir tidak mau mengangkut saya. Pasrah mungkin itu yang hanya bisa saya lakukan.
            Akhirnya untuk kedua kalinya saya harus naik “omprengan” menuju ke Jogja. Gambaran bagaimana lambannya bus pun sudah terbayang sebelum saya naik ke atas bus. Tapi apa daya, hanya angkutan tersebut yang bisa membawa saya kembali ke Jogja. Selang tak berapa lama mimpi burukpun dimulai. Berangkat dari Terminal Tidar pukul empat sore saya baru tiba di Jogja pukul setengah delapan malam. Sungguh perjalanan yang sangat lama ditambah kondisi bus yang tidak ber AC dan bisa dikatakan tidak laik jalan.
            Sampai di Terminal Giwangan Jogja saya masih harus berkutat diarea terminal untuk mencari bus ke arah Solo. Setelah berputar-putar akhirnya saya mendapatkan sebuah bus jurusan Surabaya yang akan segera berangkat. Saya putuskan untuk ikut dengan bus tersebut. Kali itu saya sudah kapok dengan bus “omprengan” dan berharap untuk tidak pernah naik lagi.
            Setelah melalui perjalanan yang panjang ditambah ramainya jalan raya, kurang lebih pukul setengah sepuluh malam saya tiba di Solo. Rasa capek dan lapar langsung datang menghinggap. Dalam hati saya berkata bahwa pengalaman kali ini sungguh istimewa. Dari sini kita bisa mendapatkan ilmu, pengetahuan, pengalaman, teman, saudara, relasi, dan lain sebagainya. Saya hanya bisa berharap semoga kalaupun tahun depan ada acara semacam ini lagi saya bisa berpartisipasi kembali.  

_______________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
_______________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / FB, MAIL: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama