Minggu, 31 Mei 2015

JALUR TETES TEBU GEMBONGAN - COLOMADU

JALUR TETES TEBU GEMBONGAN – COLOMADU

            Industri gula adalah salah satu industri tertua yang ada di Indonesia. Seiring dengan datangnya bangsa Belanda di Indonesia, banyak pabrik gula atau suiker fabriek didirikan sebagai sumber pemasukan bagi pemerintahan kolonial kala itu. Bahkan sebelum tahun 1930, pulau Jawa pernah menjadi penghasil gula terbesar kedua didunia setelah Kuba.  Tercatat eksport gula di pulau Jawa pernah mencapai 3 juta ton pertahun pada waktu itu.   
            Pesatnya industri gula di tanah Jawa tidaklah lepas dari infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mendukung segala aktivitas industrinya. Pada masa itu, semua pabrik gula selalu terhubung dengan stasiun kereta api atau jalur kereta api untuk memudahkan aliran distribusi bahan baku dan angkutan hasil industri.  Salah satu bukti tersebut berada di jalur Gembongan – Colomadu.

            Minggu 24 Mei 2015 saya mencoba menelusuri bekas jalur kereta antara Gembongan hingga Colomadu. Blusukan kali ini saya lakukan di sela-sela blusukan saya di bekas Pabrik Gula Kartosuro dan Pabrik Gula Colomadu. Titik start blusukan kali ini saya mulai dari Gembongan dimana terdapat percabangan jalur menuju Colomadu.

Peta Jalur Tetes Tebu Gembongan – Colomadu

Bekas PG Kartosuro

Persimpangan Jalur NIS dengan Decauville PG Kartosuro 1930
Sumber: kitlv.nl

Perkiraan Lokasi Halte Gembongan

           Dari lokasi perkiraan Halte Gembongan, perjalanan saya mulai menuju kearah barat menyusuri jalan kampung. Sambil berjalan pelan, saya terus merangsek masuk kedalam perkampungan warga. Meskipun bekas rel sudah tidak ada, tetapi saya masih bisa merasakan bahwa jalur yang saya lewati adalah bekas jalur kereta. Hal tersebut bisa dibuktikan dari tikungan jalan yang ada serta beberapa gundukan tanah yang saya jumpai dibeberapa titik. Jalur ini dahulu di bangun oleh NIS sebagai jalur angkutan tetes tebu dari PG Colomadu menuju Stasiun Purwosari Solo. Saya kurang tahu persis tahun berapa jalur ini dibangun, namun perkiraan saya jalur ini dibangun seiring dengan pembangunan PG Colomadu tahun 1861.
            Tak terasa perjalanan saya tiba disebuah jembatan ditengah rimbunnya pohon bambu. Jembatan tersebut masih terlihat kokoh dengan tulang besinya yang besar dan masih nnampak utuh menyangga jalan yang melintang diatasnya. Suasana disekitar jembatanpun sungguh sangat sejuk dan sunyi. Saya pun beristirahat sejenak sambil mengabadikan struktur bangunan jembatan. Sambil mengamati kondisi sekitar untuk mencari petunjuk lain, saya pun akhirnya tersadar bahwa ternyata di samping saya adalah kompleks pemakaman warga. Saya tidak menduga sebelumnya karena pepohonan diarea tersebut sangat rimbun sehingga tidak terlihat kompleks makam. Saya pun segera tancap gas meninggalkan area tersebut.

Bekas Jalur Kereta dari Halte Gembongan Menuju Colomadu

Bekas Jembatan Kereta Api di Ngadirejo

            Terus bergerak melanjutkan perjalanan, akhirnya saya tiba diarea persawahan. Suasana yang teduh pun berganti dengan teriknya matahari pagi itu.  Kondisi jalanan yang saya lalui pun berubah menjadi jalanan tanah dan berpasir. Untungnya waktu itu sudah memasuki musim kemarau, sehingga kondisi jalan tidak becek. Saya pun juga harus berhati-hati dari potensi ular sawah yang sewaktu-waktu bisa menampakkan diri. Tak lama berselang, akhirnya perjalanan saya tiba di sebuah perumahan cluster. Seiring dengan perkembangan zaman dan pembangunan kota, area persawahan di kawasan tersebut memang telah banyak disulap menjadi perumahan.
Didepan perumahan cluster tersebut saya memjumpai sebuah jembatan kecil yang telah di cor semen bagian atasnya. Sayapun turun dari motor dan berjalan ke persawahan untuk mengamati jembatan tersebut dari arah samping.  Ternyata benar dugaan saya, jembatan tersebut adalah jembatan bekas kereta api. Hal ini bisa dilihat dari fisik jembatan yang sering saya jumpai di tempat lain. Aktivitas saya di lokasi tersebut mendapat pengawasan dari security kompleks yang mengawasi saya dari pos security yang tak jauh dari jembatan. Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, saya pun segera bergegas meninggalkan lokasi dan  melanjutkan perjalanan kembali.

Bekas Jembatan Kereta Api di Depan Perumahan Griya Tauhid

Bekas Jembatan Tampak Samping

            Perjalanan saya pun tiba di halaman belakang sebuah perumahan cluster yang berdiri tak jauh dari lokasi jembatan. Disini saya menemukan petunjuk lagi, yaitu sebuah plang milik PT. KAI tertancap dipinggir jalan. Perjalanan pun kembali saya lanjutkan kearah utara.

Plang Milik PT. KAI

Tibalah saya disebuah persawahan di mana disana terdapat sebuah gubug yang berdiri di bawah pohon besar. Tak jauh dari gubug tersebut saya kembali menjumpai sebuah jembatan yang struktur dan ukurannya hampir menyerupai jembatan pertama yang saya lihat tadi.  Kondisi jembatan kali ini bisa dikatakan 90 persen masih asli. Bentuknya pun juga tak banyak mengalami perubahan, hanya bekas rel yang di semen untuk memudahkan kendaraan lewat diatasnya.

 Bekas Jembatan Kereta Api

            Waktu terus berlalu, terik mataharipun semakin terasa panas dikulit. Saya pun segera beranjak untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini saya kembali memasuki sebuah perkampungan warga yang cukup padat. Di sana saya lagi-lagi menjumpai plang milik PT. KAI tertancap tak jauh dari perempatan jalan. Perjalanan terus saya lakukan hingga akhirnya saya tiba di perumahan Griya Alamanda. Saat saya melewati sebuah jembatan, saya melihat bekas jembatan kereta api berada tak jauh dari lokasi saya. Sayapun mencoba mencari jalan masuk menuju jembatan tersebut.
            Saya mencoba mencari jalan dengan memasuki kompleks perumahan Griya Alamanda. Disana terdapat sebuah jalan setapak yang ternyata menuju kearah jembatan yang saya cari. Waktu itu saya agak kesulitan menjangkau lokasi jembatan karena jalan akses masuk yang tertutup truk yang kebetulan parkir menutupi jalan. Dengan modal nekad akhirnya saya bisa menjangkau lokasi jembatan tersebut.

Plang Milik PT. KAI di Paulan

Jalur Kereta Belok ke Kiri Masuk ke Griya Alamanda

Bekas Jembatan Kereta Api di Colomadu

            Jembatan yang saya jumpai ini adalah jembatan kereta terakhir dari arah Gembongan Kartosuro menuju Colomadu. Dari lokasi jembatan ini, Pabrik Gula Colomadu sudah terlihat dari kejauhan. Setelah jembatan ini, jalur kereta bergerak menuju kearah PG Colomadu melintasi areal persawahan. Di lokasi tersebut, gundukan tanah bekas jalur kereta masih bisa saya saksikan dengan jelas. Bahkan bekas jalur tersebut kini dimanfaatkan warga sebagai jalan untuk pergi ke ladang. Sayang sekali bekas jembatan tersebut tidak bisa dilalui kendaraan bermotor, akhirnya saya harus memutar arah menuju PG Colomadu.
            Setibanya di PG Colomadu, saya bergerak ke sisi selatan pabrik dimana saya perkirakan terdapat jalur masuk kereta menuju area pabrik. Disamping pabrik, saya menjumpai sebuah jembatan kecil yang saya perkirakan adalah jalur masuk kereta api ke PG Colomadu. Akan tetapi kini bekas pintu masuk tersebut telah ditutup tembok beton, bahkan bekas jembatanpun sudah tertutup lebatnya rumput liar. 

Perkiraan Jalur Masuk Kereta Menuju Area PG Colomadu

            Dengan tibanya saya di lokasi PG Colomadu, maka berakhir pula blusukan saya kali ini. Meskipun hanya memiliki rute yang pendek dan tidak banyak peninggalan infrastruktur kereta api yang bisa saya temui, namun pelajaran yang bisa diambil dari blusukan kali ini sangatlah banyak. Pengetahuan saya bertambah mengenai sebuah jalur kereta yang khusus digunakan untuk angkutan tetes tebu. Disini saya juga bisa mengambil suatu kesimpulan bahwa pembangunan yang dilakukan di masa lalu sangatlah terencana dan terkoneksi dengan baik guna menunjang aktivitas bisnis yang ada.
            Sebelum pulang saya menyempatkan untuk mampir kelokasi PG Colomadu. Sebenarnya didalam area pabrik masih terdapat bangunan stasiun remise dan bekas jalur kereta NIS yang belum dicabut. Akan tetapi sayang waktu itu dilokasi pabrik sedang digunakan untuk acara tertentu sehingga tidak memungkinkan untuk meminta izin masuk ke area pabrik.
            PG Colomadu adalah sebuah pabrik gula yang pendiriannya diprakarsai oleh Mangkunegaran IV. Peletakan batu pertama dilakukan pada tanggal 8 Desember 1861. Colomadu sendiri memiliki arti gunung madu, dimana pendirian pabrik ini diharapkan bisa memberikan kehidupan yang manis bagi masyarakat sekitarnya. Akan tetapi sayang, merosotnya jumlah produksi dan berkurangnya lahan tebu membuat pabrik ini berhenti beroperasi. Akhirnya pada tanggal 1 Mei 1997, PG Colomadu melakukan penggilingan terakhir dan berhenti beroperasi. Semoga peninggalan bersejarah ini dapat tetap dilestarikan.

Eks PG Colomadu

Mangkunegaran IV Pendiri PG Colomadu


-------------------------------------------------------------------------------
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
-------------------------------------------------------------------------------
Prima Utama / 2015 / WA: 085725571790 / email/fb: primautama@ymail.com / instagram: @primautama
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Senin, 18 Mei 2015

JALUR MATI JOGJA - PALBAPANG

JALUR MATI JOGJA-PALBAPANG: NASIBMU KINI

             Berbicara mengenai Kota Jogjakarta pasti tidak akan pernah ada habisnya, apalagi jika dikaitkan dengan sejarah, budaya dan peninggalan-peninggalan masa lalunya. Salah satu sejarah yang yang menarik untuk digali di kota ini adalah sejarah keberadaan alat transportasi kereta api yang sudah ada sejak era kolonialisme. Predikat Jogja sebagai kota perdagangan dan pusat pemerintah pada masanya membuat Pemerintah Hindia Belanda membangun jaringan transportasi berbasis kereta api di kota tersebut. Tercatat ada beberapa jalur kereta api yang terhubung ke Jogjakarta, yakni: Magelang-Jogjakarta, Solo-Jogjakarta, Purworejo-Jogjakarta, Sewugalur-Jogjakarta, dan Pundong– Ngabean -Jogjakarta. Semua jalur tersebut dibangun sebagai sarana distribusi perdagangan dan hasil industri serta mobilitas masyarakat pada masanya.
            Pada kesempatan kali ini saya berkesempatan untuk menjelajahi peninggalan kereta api di Kota Jogjakarta, khususnya jalur kereta api sepanjang Jogja hingga Palbapang Bantul.Jika melihat sejarahnya, jalur Jogja – Bantul-Sewugalur Kulon Progo dimulai pembangunannya secara bertahap pada tahun 1895 dan pada tahun 1915 oleh perusahaan swasta kereta api Hindia Belanda NIS. Pembangunan jalur ini selain untuk transportasi masyarakat juga ditujukan untuk angkutan komoditi pertanian dan angkutan pabrik gula yang pada kala itu banyak bermunculan diwilayah Jogjakarta. Seiring berjalannya waktu dan masuknya Jepang di Indonesia, banyak jalur kereta api di wilayah Jogjakarta yang di preteli oleh pemerintah Jepang untuk dipindah ke daerah lain seperti di Saketi, Bayah dan Burma yang mengambil jalur kereta dari Ngabean – Pundong dan Palbapang – Sewugalur.
            Setelah Indonesia merdeka, jalur kereta api dari Jogjakarta hingga Palbapang masih digunakan untuk angkutan penumpang oleh masyarakat. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya moda transportasi jalan raya, kereta api mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena kecepatannya yang lambat dan kurang fleksibel. Akhirnya pada tahun 1973 jalur kereta api dari Jogjakarta menuju Palbapang resmi ditutup oleh pemerintah karena menurunnya jumlah okupansi penumpang. Kini sisa-sisa infrastruktur kereta api dijalur tersebut masih bisa kita saksikan meskipun dengan kondisi yang memprihatinkan.


Peta Jalur Kereta di Bantul dan Kotagede Tahun 1921
Sumber: kitlv.nl

Stasiun Tugu Yogyakarta Tahun 1890
Sumber: kitlv.nl

            Blusukan saya kali ini saya lakukan pada hari Kamis tanggal 14 Mei 2015 bertepatan dengan hari libur nasional. Saya mulai berangkat dari Kota Solo kurang lebih pukul setengah tujuh pagi. Kurang lebih satu setengah jam perjalanan, akhirnya perjalanan saya tiba di Kota Jogjakarta. Blusukan saya di Jogja kali ini sebenarnya akan saya bagi kedalam tiga tahap, yaitu: tahap pertama dari Jogja hingga Palbapang, tahap kedua dari Palbapang hingga Sewugalur, dan tahap ketiga dari Ngabean hingga Pundong. Akan tetapi karena terbatasnya waktu dan berdasarkan informasi yang saya peroleh bahwa bekas jalur kereta yang masih tersisa hanyalah di petak Jogja-Palbapang, maka saya hanya melakukan blusukan di jalur tersebut saja.
            Sebagai informasi ada beberapa jalur non aktif kereta api yang ada di Jogjakarta. Jalur pertama adalah jalur dari Kota Jogjakarta hingga Palbapang Bantul. Dijalur ini terdapat beberapa stasiun terhubung diantaranya adalah: Stasiun Tugu – Stasiun Ngabean – Stasiun Dongkelan – Stasiun Winongo – Stasiun/Halte Cepit – Stasiun Bantul – Stasiun Palbapang. Jalur kedua adalah percabangan dari Ngabean hingga Pundong. Dijalur ini terdapat beberapa stasiun terhubung diantaranya adalah: Stasiun Ngabean – Stasiun Timuran – Halte Sidikan – Stasiun Pasar Gede/Basen – Halte Kuncen – Halte Bintaran – Halte Wonokromo – Halte Ngentak – Halte Jetis – Halte Barongan – Halte Patalan – Stasiun Pundong. Untuk jalur ini sudah tidak bersisa karena pada masa pendudukan Jepang telah dipreteli untuk dibangaun diwilayah lain. Yang tersisa kini hanyalah beberapa pondasi jembatan dan bekas jalur keretanya saja.Jalur ketiga atau yang terakhir adalah dari Palbapang hingga Sewugalur di Kulon Progo. Di jalur ini terdapat beberapa stasiun terhubung diantaranya adalah: Stasiun Palbapang – Stasiun Bajang - Stasiun Batikan – Stasiun Pekoja – Stasiun Mangiran – Stasiun Srandakan – Stasiun Brosot – Stasiun Pasar Kranggan – Stasiun Sewugalur. Nasib jalur ini sama seperti jalur Ngabean-Pundong yang dipreteli oleh pemerintah Jepang.
Tujuan saya yang pertamadalam blusukan kali ini adalah Stasiun Tugu atau Stasiun Jogjakarta sebagai titik strart yang merupakan titik percabangan jalur kereta api menuju Ngabean. Disekitar area Stasiun Tugu, saya sudah tidak bisa menemukan bekas percabangan jalur kereta menuju Stasiun Ngabean.Perkiraan saya, bekas rel telah terkubur oleh aspal jalan raya karena menurut peta yang saya peroleh jalur tersebut berada di pinggir jalan.

Bergerak meninggalkan area Stasiun Tugu, saya menuju Jalan Letjen Suprapto sambil berjalan pelan. Disini awalnya saya tidak mejumpai hal-hal yang berbau dengan kereta api. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti sejenak sambil memperhatikan lingkungan sekitar.Tak disengaja, disamping saya ternyata ada bekas tiang listrik yang menggunakan bekas rel kereta yang berdiri kokoh didepan SD Gedong Tengen.

Tiang Listrik dari Bekas Rel Kereta di Jalan Letjen Soeprapto

Saya pun kembali melanjutkan perjalanan dengan pelan-pelan siapa tahu akan menemukan petunjuk berikutnya. Beberapa meter bergerak saya menjumpai patok kecil dari potongan rel kereta api yang tertancap di mulut gang. Semakin penasaran, perjalanan saya lanjutkan.Tepat didepan sebuah bengkel saya menjumpai sebuah tiang sinyal masuk stasiun yang masih tertancap di trotoar pinggir jalan.Kondisi tiang sinyal sendiri tidak begitu terlihat karena tertutup oleh rimbunnya pepohonan yang berdiri disampingnya.
Tiang sinyal ini terletak tidak jauh dari perempatan Ngabean.Dugaan saya bahwa Stasiun Ngabean sudah tidak jauh lagi.Sayapun segera tancap gas menuju Stasiun Ngabean.Sesampainya di Ngabean saya agak bingung karena ada sebuah bangunan tempat parkir bertingkat yang sangat kontras.Setelah berputar ternyata bangunan bekas Stasiun Ngabean sendiri terletak dibelakang bangunan tempat parkir tersebut.Berpura-pura sebagai wisatawan, sayapun menjelajahi bangunan bekas Stasiun Ngabean yang kini telah berubah menjadi pangkalan angkot “siTole”.

Bekas Patok Milik PT. KAI

Bekas Tiang Sinyal di Jalan Letjen Soeprapto

            Tidaklah mudah bagi saya untuk menjelajahi bekas bangunan Stasiun Ngabean.Bekas bangunan stasiun yang ramai oleh aktivitas driver “si Tole” membuat blusukan saya terbatas.Selain itu bangunan stasiun yang dikelilingi dengan pohon-pohon yang rindang memberikan kesulitan tersendiri bagi saya untuk mengambil gambar.Bahkan saya harus sembunyi-sembunyi untuk mengambil gambar agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dihalaman stasiun, kita masih bisa menyaksikan bekas rel kereta dengan tiga roda kereta api yang mungkin sengaja di tinggalkan sebagai monumen bahwa dulu ditempat tersebut pernah dilalui kereta api. Secara keseluruhan bangunan Stasiun Ngabean masih terawat dengan baik dengan masih mempertahankan keasliannya, termasuk lantai emplasemen stasiun.
            Stasiun Ngabean dibangun pada tahun 1895.Dulu di stasiun ini terdapat percabangan jalur menuju Pundong. Jalur tersebut unik karena memiliki gauge 1.435 mm. Selama tiga tahun pendudukan Jepang, jalur menuju Pundong dicabut dan dipindah di daerah Saketi-Bayah. Stasiun Ngabean sendiri ditutup oleh pemerintah pada tahun 1973 karena menurunnya jumlah okupansi penumpang.


Bekas Roda Kereta di Emplasemen Stasiun Ngabean

Emplasemen Stasiun Ngabean

            Puas menjelajahi bekas Stasiun Ngabean, perjalanan saya lanjutkan kearah selatan melalui Jalan Wahid Hasyim untuk mencari bekas Stasiun Dongkelan. Sembari berjalan pelan mata saya terus memperhatikan kondisi sekitar, siapa tahu ada bekas keberadaan infrastruktur kereta api yang masih bisa saya temui. Sebenarnya posisi saya saat itu agak kurang menguntungkan.Bekas jalur yang ada disebelah kanan jalan sementara posisi saya berada sebelah di kiri jalan memberikan kesulitan tersendiri bagi saya. Ditambah lagi dengan kondisi lalu lintas yang ramai karena masa liburan memaksa penglihatan saya untuk jeli menemukan bekas jalur kereta api.
            Perjalanan saya mendadak terhenti.Saya melihat sesuatu yang aneh di seberang jalan tepatnya dibelakang sebuah warung tertutup rimbunnya pepohonan. Saya segera putar arah dan memarkirkan motor saya dipinggir jalan. Tanpa pikir panjang saya segera masuk kepekarangan rumah warga.Ternyata saya berhasil menemukan lagi bekas sinyal Stasiun Ngabean.Posisinya sangat tersembunyi. Jika saya tidak teliti mungkin saya akan melewatkannya. Tak jauh dari sana, disebuah gang saya juga menemukan bekas rel kereta yang sudah tersamarkan oleh jalan paving. Lokasinyapun juga agak tersembunyi dari jalan raya.

Bekas Sinyal Stasiun Ngabean

Bekas Rel dari Ngabean Menuju Dongkelan

            Terus melanjutkan perjalanan, akhirnya saya tiba di Jalan Bantul.Dipinggir jalan tepatnya disebelah kanan jalan, saya banyak menjumpai bekas rel membentang disepanjang jalan.Kondisi rel banyak yang tertimbun tanah dan trotoar jalan. Dibeberapa titik juga terdapat patok-patok penanda bekas jalur kereta api milik PT. KAI yang terbuat dari potongan besi rel kereta.

Bekas Rel di Jalan Bantul

            Tak terasa perjalanan saya sampai di Stasiun Dongkelan. Stasiun ini lokasinya berada di samping Jalan Raya Bantul atau tepatnya di Kelurahan Kedungkiwo Kecamatan Mantrijeron depan Pasty (Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta). Bentuk bangunannya yang antik sepintas menyerupai bangunan halte bus, akan tetapi kini bangunan bekas Stasiun Dongkelan digunakan untuk rumah makan. Bangunan stasiun sendiri masih nampak terawat dengan baik.
            Stasiun Dongkelan dibangun oleh NIS pada tahun 1895 bersamaan dengan pembangunan jalur dari Jogja hingga Sewugalur.Sebenarnya bangunan stasiun sendiri sudah tidak asli, melainkan hanya bangunan replika saja karena Stasiun Dongkelan pernah mengalami kebakaran yang menghanguskan seluruh bangunannya.Stasiun ini resmi ditutup oleh pemerintah pada tahun 1973 bersamaan dengan di tutupnya jalur dari Jogja hingga Palbapang karena menurunnya jumlah okupansi penumpang.

Bekas Bangunan Stasiun Dongkelan

            Hari semakin panas, sayapun segera tancap gas menuju lokasi stasiun berikutnya yaitu Stasiun Winongo. Menurut referensi yang saya dapatkan lokasi Stasiun Winongo berada dekat dengan Pabrik Gula Madukismo.Hal ini terjadi karena pada zaman dahulu PG Madukismo terkoneksi dengan Stasiun Winongo untuk memudahkan aliran distribusi pabrik. Hal ini sama seperti pabrik gula ditempat lain yang terkoneksi dengan jalur kereta api.Ternyata tidaklah mudah menemukan lokasi Stasiun Winongo.Saya sempat kebingunan saat berada di daerah Kweni Bantul.Posisi jalur yang berada diseberang jalan membuat saya harus jeli melihat arah jalur rel.Karena tidak kunjung menemukan petunjuk akhirnya saya berputar arah.Saat berputar arah inilah saya mulai menemukan petunjuk.Ternyata jalur kereta berbelok masuk ke dalam perkampungan warga.
            Saya pun mencoba masuk kedalam sebuah gang di daerah Kweni yang menurut saya dulu adalah bekas jalur kereta api. Sudut belokan yang ada di gang tersebut pun mirip dengan jalur kereta api. Semakin lama saya semakin merangsek masuk kedalam perkampungan warga.Bekas rel yang sudah tidak ada serta kondisi perkampungan yang sepi dan sunyi menjadi tantangan tersendiri bagi saya.Sampailah saya disebuah jembatan desa yang melintang diatas sungai yang cukup besar. Ternyata jembatan tersebut terbuat dari bekas jembatan keretaapi yang sudah di cor. Jembatan yang saya lewati ini sebenarnya cukup berbahaya dari segi keamanan, karena jembatan ini dulunya ditujukan hanya untuk kereta api bukan untuk kendaraan umum seperti motor. Lebarnya yang sempit serta tidak adanya pembatas di sebelah kiri dan kanan jembatan membuat saya merinding saat melewatinya.Bahkan jembatan ini hanya bisa dilalui oleh satu kendaraan saja. Jika dari lawan arah ada kendaraan lain yang ingin menyebrang maka harus antri terlebih dahulu.
            Setelah berhasil menyeberangi jembatan dengan selamat, tibalah saya di sebuah perkampungan yang tidak kalah sepinya dengan kampung sebelumnya. Terus berjalan akhirnya saya menemukan bangunan rumah dinas Stasiun Winongo. Saya pun berhenti sejenak sambil memperhatikan lingkungan sekitar siapa tahu bangunan Stasiun Winongo ada disekitar situ.Belum juga saya menemukan bangunan stasiun. Berjalan beberapa meter akhirnya saya menjumpai bangunan bekas Stasiun Winongo yang tampak kontras dengan perumahan warga. Bangunannya sangat megah dengan gaya arsitektur khas bangunan stasiun tempo dulu.
            Stasiun Winongo terletak didaerah Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul.Seperti stasiun sebelumnya, bangunan stasiun ini didirikan pada tahun 1895 oleh NIS.Dahulu Stasiun Winongo terhubung dengan pabrik gula Madukismo sebagai sarana distribusi gula.Tahun 1973 adalah tahun terakhir stasiun ini beroperasi.Kini bangunan stasiun digunakan warga sekitar sebagai tempat pertemuan.Bangunan ini pernah rusak oleh gempa bumi yang terjadi pada tahun 2006 di Jogja.Akibatnya ada beberapa perubahan yang dilakukan oleh masyarakat saat merenkonstruksi bangunan stasiun. Kini disekitar bangunan stasiun sudah tidak bisa dijumpai lagi bekas alat persinyalan dan rel kereta api.
            Meninggkalkan Stasiun Winongo, saya masih menelusuri jalan kampung yang terduga dulu adalah bekas jalur kereta api menuju Kota Bantul. Jalan kampung yang saya lewati masih berupa jalan tanah yang berpasir.Bekas rel kereta pun sudah tidak ada yang tersisa.Akhirnya saya tiba di titik pertemuan dengan jalan raya.Disana saya menemukan sebuah bekas rel yang berbelok menuju Stasiun Winongo dari arah Kota Bantul tepat diatas sebuah bangunan warung kopi semi permanen.Kondisi relnya pun sudah tidak utuh lagi. Dugaan saya disekitar situ dahulu terdapat sinyal dari Stasiun Winongo.

Rel Berbelok Masuk Menuju Stasiun Winongo

Bekas Jembatan KeretaApi Menuju Stasiun Winongo

Bangunan Rumah Dinas Stasiun Winongo


Bekas Bangunan Stasiun Winongo

Bekas Jalur dari Stasiun Winongo Menuju Kota Bantul

            Perjalanan saya berlanjut menuju Kota Bantul.Dikanan jalan, bekas rel kereta masih banyak yang terlihat. Bahkan dibeberapa titik patok-patok milik kereta api yang terbuat dari potongan besi rel kereta api pun juga banyak saya jumpai. Yang membuat saya heran, kenapa patok yang digunakan sebagai penanda hanya terbuat dari potongan rel kereta, bukan dari beton yang bergambar logo PT. KAI seperti di daerah lain.
            Tak terasa perjalanan saya sampai di daerah Cepit.Disini menurut referensi yang saya dapatkan pernah berdiri sebuah halte kereta bernama Halte Cepit.Lokasinya sendiri diperkirakan berada dekat dengan pos polisi yang ada dipertigaan Cepit.Tapi sayang bangunan halte sendiri kini sudah tidak ada karena telah dirubuhkan.Bekas rel pun juga sudah tidak bisa saya temukan.Hipotesis saya kini bekas lokasi halte telah berubah menjadi kawasan pertokoan.Perjalananpun saya lanjutkan menuju Kota Bantul.

Perkiraan Lokasi Halte Cepit

Memasuki Kota Bantul, suasana kota yang rindang dan teduh langsung menyambut kedatangan saya. Disini saya mencoba menelusuri keberadaan Stasiun Bantul yang menurut catatan saya berada tidak jauh dari lokasi Pasar Bantul. Sambil menikmati keindahan kotayang asri, akhirnya saya tiba di lokasi Pasar Bantul. Saya berhenti sejenak sambil mengamati kondisi sekitar apakah ada bangunan yang menyerupai bangunan stasiun.Pandangan saya tertuju pada sebuah bangunan tua berwarna kuning dengan lubang ventilasi bundar mirip Stasiun Winongo disebelah selatan jalan.Ternyata benar, itu adalah bangunan bekas Stasiun Bantul.
Saya mencoba mendekat ke bangunan stasiun untuk mengambil gambar.Kini bangunan stasiun dimanfaatkan sebagai bengkel motor.Kondisi bangunannya sendiri banyak mengalami kerusakan.Disana saya sudah tidak bisa menjumpai bekas rel kereta karena sudah tertutup dengan aspal jalan.Saya pun bergerak menuju bagian belakang stasiun untuk melihat kondisinya.Ternyata kondisinya juga tak jauh berbeda dengan kondisi emplasemen stasiun, banyak kerusakan terutama dibagian atap yang membuat kesan tak terawatnya bangunan tersebut.

Emplasemen Stasiun Bantul

Bagian Belakang Stasiun Bantul

            Stasiun Bantul didirikan pada tahun 1895 oleh NIS yang terhubung dengan Stasiun Palbapang.Dulu stasiun ini ramai oleh pedagang karena lokasinya sendiri yang berada tak jauh dari Pasar Bantul. Tahun 1973 pemerintah resmi menghentikan layanan perjalanan kereta api di stasiun ini karena sepinya penumpang.
            Hari semakin terik, saya pun segera melanjutkan perjalananmenuju Palbapang untuk mencari lokasi stasiun terakhir yakni Stasiun Palbapang.Sesampainya di Palbapang saya sempat tersesat karena tidak memperhatikan rambu penunjuk jalan.Berkat informasi dari warga yang saya temui dipinggir jalan, akhirnya saya memperoleh informasi dimana lokasi Stasiun Palbapang berada. Diperempatan Palbapang saya sempat menjumpai bekas jalur lori atau decauville yang tersamarkan oleh aspal jalan raya. Saya kurang tahu jalur tersebut milik PG Sewugalur atau milik pabrik gula yang lain.
            Tak jauh dari perempatan Palbapang saya juga menjumpai potongan rel berbelok menuju lokasi stasiun.Sayangnya sebagian besar bekas rel tersebut kini telah tertutup oleh bangunan rumah milik warga.Sambil terus menelusuri jejak tersebut, akhirnya perjalanan saya tiba di Terminal Palbapang yang dulu merupakan bekas Bangunan Stasiun Palbapang yang terletak persis disebelah jalan raya Palbapang - Sewugalur.Dilokasi tersebut kini digunakan sebagai tempat parkir bus.Kondisi bekas bangunan stasiun sendiri masih tampak terawat.Disana saya sudah tidak bisa menjumpai sisa rel kereta.Hal tersebut karena seluruh halaman stasiun kini telah dilapisi dengan aspal.
            Setelah istirahat sejenak diarea stasiun, saya mencoba mencari petunjuk lain yang mungkin bisa saya temukan di sekitaran stasiun. Saya menemukan bekas jalur kereta yang tersamarkan oleh tanah disebuah jalan kampung yang berada tak jauh dari lokasi stasiun.Kondisinya masih utuh. Tak jauh dari lokasi tersebut saya juga menjumpai dua bangunan bekas rumah dinas Stasiun Palbapang yang kini masih dipakai untuk tempat tinggal warga dengan kondisi yang masih terawat dengan baik.
            Seperti stasiun-stasiun sebelumnya, Stasiun Palbapang didirikan oleh NIS pada tahun 1895. Stasiun ini adalah stasiun terminus dari Jogjakarta karena jalur menuju Sewugalur Kulon Progo telah dipreteli oleh Jepang untuk dipindah kedaerah lain. 1973 adalah tahun operasional terakhir stasiun ini yang terpaksa ditutup karena sepinya jumlah penumpang.

Rel Berbelok Menuju Stasiun Palbapang

Bekas Stasiun Palbapang


Stasiun Palbapang 1896
Sumber: kitlv.nl


Bangunan Rumah Dinas Stasiun Palbapang

            Dengan selesainya blusukan saya di Stasiun Palbapang, berarti usai sudah perjalanan saya menyusuri jalur mati di petak Jogja – Palbapang.Sungguh banyak pelajaran yang bisa diambil dalam perjalanan kali ini. Terkait wacana reaktivasi yang sempat diwacanakan oleh pemerintah, menurut saya akan sangat sulit terwujud. Lokasi jalur yang tepat berada disamping jalan raya serta kondisi jalur yang banyak berubah menjadi perumahan warga memberikan kesulitan tersendiri untuk proses reaktivasi. Kalaupun jadi dihidupkan kembali, kecepatan keretapun juga tidak akan bisa maksimal. Terlepas dari masalah direaktivasi atau tidak, yang terpenting adalah bagaimana upaya semua pihak untuk menjaga dan melestarikan peninggalan sejarah yang sangat berharga ini.Hal ini sangatlah penting agar generasi berikutnya tahu dan masih bisa melihat saksi bisu keberadaan kereta di sepanjang jalur Jogja hingga Palbapang.