Rabu, 08 Oktober 2014

BEKAS JALUR KERETA BEDONO - CANDI UMBUL

 BLUSUKAN JALUR SEPUR BEDONO – CANDI UMBUL BERSAMA KOTA TOEA  MAGELANG

            28 September 2014 mungkin bukanlah angka yang spesial bagi sebagian orang. Bukan juga sebuah angka yang cantik yang perlu diabadikan dalam momen tertentu. Tapi bagi segelincir orang terutama pecinta sejarah kereta api, tanggal tersebut adalah sebuah momen dimana kereta api yang dulunya dikuasai oleh Belanda dan Jepang dapat diambil alih oleh pemerintah Indonesia tepat 69 tahun yang lalu.
            69 tahun sudah kereta api menjadi perusahaan milik pemerintah. Dan 150 tahun sudah ular besi berada di Indonesia. Usianya yang sudah tua tak menjamin eksistensi kereta api di Indonesia. Bahkan keberadaan kereta api di Indonesia bisa dikatakan “kempas kempis” menghadapi perputaran zaman. Hal ini diakibatkan persaingan yang ketat dengan moda transportasi darat lain berbasis jalan raya. Kereta api dianggap kuno dan lambat. Itulah kenapa kita bisa menjumpai “bangkai-bangkai” rel kereta api berceceran di beberapa wilayah di Indonesia seolah-olah tak memiliki cerita yang bisa diceritakan mengenai sejarah perjalanan bangsa. Sungguh ironi bagi negeri yang besar ini.
            Sebagai upaya untuk melestasikan sejarah perkeretaapian di Indonesia dan untuk memperingati hari ulang tahun kereta api Indonesia yang ke 69 tahun, komunitas Kota Toea Magelang mengadakan acara “Jelajah Jalur Spoor 3” yang mengambil rute dari Stasiun Bedono hingga Stasiun Candi Umbul kurang lebih sejauh 15 kilometer. Kebetulan informasi ini sampai ditelinga saya dan dengan senang hati saya ikut berpartisipasi dalam acara ini. Berikut adalah hasil blusukan saya bersama dengan teman-teman dari komunitas Kota Toea Magelang.

Memulai Blusukan
            Blusukan saya kali ini berbeda dengan blusukan saya sebelumnya. Biasanya blusukan saya lakukan sendiri dengan menggunakan motor akan tetapi kali ini blusukan saya lakukan dengan jalan kaki bersama dengan teman-teman dari komunitas Kota Toea Magelang. Tentu menjadi lebih seru dan menyenangkan.
            Perjalanan saya awali dari Kota Solo. Waktu itu perjalanan ke Magelang saya lakukan dengan menaiki bus dari Terminal Tirtonadi Solo. Sebenarnya ada rencana berangkat ke Magelang dengan menggunakan motor tetapi dengan berbagai pertimbangan akhirnya perjalanan saya putuskan menggunakan bus. Tepat pukul setengah empat pagi saya tiba di terminal. Suasana sepi terminal segera menyambut kedatangan saya. Tak banyak aktivitas yang tampak di terminal. Hanya beberapa bus yang terpakir di emplasemen. Penumpang yang menunggu bus pun bisa dihitung dengan jari.
            Setelah hampir setengah jam menunggu, akhirnya bus yang saya tunggu-tunggu datang juga. Suasana dingin AC langsung menghinggapi tak lama saat menginjakkan kaki di dalam bus. Perjalanan saya berlanjut meninggalkan Solo beranjak menuju Jogja tempat pemberhentian saya yang pertama. Kurang lebih 1 jam perjalanan akhirnya tiba juga saya di Terminal Giwangan Jogja. Disana saya beristirahat sebentar sembari melaksanakan sholat subuh. Kurang lebih pukul setengah 6 pagi perjalanan saya lanjutkan menuju Magelang.
            Perjalanan saya menuju Magelang kali ini tampaknya tak semulus perjalanan saya saat berangkat ke Jogja. Niat hati ingin naik bus patas apa daya yang tersedia hanyalah bus “omprengan”. Mau tak mau, suka tak suka akhirnya saya terpaksa menaiki bus tersebut demi mengejar waktu ke Magelang. Tak berapa lama firasat buruk saya benar-benar terbukti. Bus berjalan sangat lambat, bahkan saat tiba di Terminal Jombor bus berhenti lama seolah tak menghiraukan penumpamg yang ada didalamnya.
            Waktu terus berlalu hingga pukul setengah 7 pagi dimana posisi saya masih berada di wilayah Sleman. Kala itu saya sempat menghubungi Mas Bagus selaku ketua penyelenggara untuk berkenan menunggu saya agar tidak ditinggal. Dengan terus berdoa agar bus segera cepat sampai di terminal Magelang akhirnya pada pukul 7 persis bus memasuki Terminal Tidar Magelang. Saya teringat akan jadwal panitia bahwa keberangkatan menuju Bedono akan dimulai pada pukul setengah 8 pagi. Dengan penuh rasa cemas akhirnya saya putuskan untuk mencari ojek guna mempersingkat waktu dan menghindari ditinggalnya saya dari rombongan. Tidak lucu memang jika jauh-jauh dari Solo tapi akhirnya harus ditinggal rombongan. Setelah tawar menawar tarif ojek akhirnya dengan ongkos Rp 15.000,- saya berangkat menuju Boton tempat berkumpulnya peserta.
            Pukul tujuh seperempat akhirnya saya tiba di Boton dengan mengucap syukur alhamdulillah. Ternyata saya belum terlambat. Nampak beberapa peserta masih melakukan registrasi. Saya pun tak mau ketinggalan. Segera saya hampiri meja panitia dan melakukan registrasi. Alhamdulillah dari panitia menyediakan air minum dan makanan ringan yang lumayan untuk mengganti sarapan pagi saya karena belum sempat sarapan selama perjalanan karena tragedi “ bus omprengan”. 
            Saya sempat kaget ketika berada disana. Peserta yang saya perkirakan hanya 30-an orang ternyata membludak sebanyak 70-an orang. Peserta berasal dari berbagai kalangan mulai dari pelajar, pecinta sejarah, railfans (pecinta kereta api), traveler, backpacker dan sebagainya. Beberapa peserta pun juga nampak mengunakan kostum unik bertemakan perjuangan bangsa. Yang sedikit membuat saya kaget kala itu adalah beragamnya usia peserta, mulai dari anak-anak hingga orang tua yang bisa dikatakan sudah berumur semuanya ada. Dalam hati saya muncul sebuah kebanggaan tatkala melihat banyaknya anak-anak dan kalangan pemuda yang mengikuti acara ini. Sungguh ini adalah sinyal positif sebagai generasi bangsa yang peduli terhadap sejarah bangsa. Satu hal yang membuat saya sedih kala itu adalah saya tidak punya teman “ngobrol” karena wajah yang saya temui adalah wajah-wajah baru. Kalaupun ada itupun melalui foto yang saya lihat dari facebook. Tapi acara ini saya jadikan sebagai ajang bersilaturahmi bagi para pecinta sejarah sekaligus ajang menambah relasi.
            Tepat pukul setengah delapan pagi kami bersiap berangkat menuju Bedono. Tak lupa kami melakukan briving dan berdoa sebelum berangkat. Akhirnya pukul setengah delapan lebih sedikit kami berangkat menuju Bedono. Perjalanan menuju Bedono kami tempuh dengan menggunakan angkot yang telah disediakan oleh panitia. Perjalanan semakin seru dengan diiringi oleh lagu-lagu jadul dari Koesplus yang diputar melalui perangkat audio dari dalam angkot. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan. 

Briving dari Panitia Sebelum Menuju Bedono

Peserta Menaiki Angkot Menuju Bedono

Kurang lebih pukul setengah sembilan pagi kami tiba di kompleks Stasiun Bedono. Riuhnya suasana jalan raya berbanding terbalik dengan kondisi stasiun kala itu. Yang tampak hanyalah aktivitas para pekerja yang sedang melakukan renovasi pada bagian gedung stasiun yang sudah nampak tua itu. Setibanya disana kedatangan kami langsung disambut oleh kepala Stasiun Bedono yang bernama Bapak Jumadi. Beliau adalah anak dari pensiunan PJKA yang dulunya juga bertugas sebagai kepala Stasiun Bedono. Beliau sempat menjelaskan kepada kami mengenai sejarah singkat Stasiun Bedono.
Stasiun Bedono adalah stasiun yang terletak di Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang. Stasiun ini dibangun oleh Nederlands Indische spoorweg (NIS) pada tahun 1905 dan terletak pada ketinggian 693 meter diatas permukaan air laut. Stasiun ini dulunya melayani rute dari Mgelang hingga Kedung Jati. Disisi lain stasiun kita masih bisa menjumpai turntable yang digunakan untuk memutar lokomotif. Seiring berjalannya waktu akhirnya stasiun ini ditutup pada tahun 1976 karena jumlah penumpang yang turun drastis. Saat ini stasiun hanya digunakan untuk melayani kereta wisata dari Ambarawa.        
Di sekitar area Stasiun Bedono kami diberi waktu untuk menjelajahi kawasan stasiun. Disana kami sempat bermain dengan alat pemutar lokomotif atau turntable yang ternyata masih bisa digunakan hingga saat ini. Kondisinya pun masi Nampak baik dan terawatt. Tak lupa kami juga menyempatkan untuk berfoto bersama dengan latar belakang bangunan Stasiun Bedono.
Dibagian belakang dari Stasiun Bedono terdapat sebuah bukit dimana dibagian atasnya terdapat sebuah kolam penampungan air. Pada zaman dahulu kolam penampungan tersebut digunakan untuk menyediakan air bagi lokomotif-lokomotif yang singgah di stasiun tersebut yang dihubungkan dengan menggunakan saluran pipa-pipa panjang menuju stasiun. Hal ini sangat unik karena biasanya stasiun menggunakan menara air untuk menyimpan air sebagai suplai untuk lokomotif. Tetapi di Stasiun Bedono memanfaatkan bukit yang ada dibelakang stasiun sebagai pengganti menara air. Hingga sekarang kolam penampungan air tersebut masih terawat dengan baik. 

Peserta Memasuki Komplek Stasiun Bedono

Kepala Stasiun Bedono (Kanan)

 Turntable di Stasiun Bedono

Emplasemen Stasiun Bedono

Foto Bersama Peserta Jejalah Jalur Sepur 3 di Stasiun Bedono
Sumber: Kota Toea Magelang

Beranjak dari Stasiun Bedono perjalanan pun kami lanjutkan mengikuti arah rel kereta api menuju ke Stasiun Gemawang pada pukul sembilan pagi. Perlu diketahui bahwa jelajah sepur kali ini kami akan melewati beberapa stasiun, yaitu: Stasiun Gemawang, Stasiun Grabag Merbabu, dan Stasiun Candi Umbul. Berada di Dusun Krajan yang terletak tak jauh dari Stasiun Bedono kami mulai menjumpai bekas rel kereta dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Rel telah berubah menjadi jalanan kampung. Bahkan ada rel yang tampak menggantung karena tanah dan balasnya telah longsor. Sungguh suatu pemandangan yang amat miris mengingat bahwa rel yang ada disana adalah jenis rel bergerigi yang tidak sembarang tempat bisa kita temui.
Di Indonesia hanya ada dua lokasi dimana kita bisa menemukan jalur kereta api menggunakan gerigi, yaitu di Ambarawa dan Lembah Anai. Selain itu jalur rel bergerigi yang masih aktif saat ini hanya ada dua didunia, yakni di Indonesia dan di India. Hal ini tentu sangat membanggakan mengingat kita masih memiliki aset sejarah yang tidak dimiliki banyak Negara. Bahkan saat ini banyak wisatawan dari mancanegara datang jauh-jauh ke Ambarawa hanya untuk merasakan sensasi naik kereta api dengan menggunakan rel bergerigi. Hal ini sebenarnya sangat berpotensi untuk mendatangkan devisa dari sektor wisata kereta api.

Bekas Rel Menggantung di Bedono

Perjalanan kami berlanjut meninggalkan perkampungan warga. Kamipun tiba disebuah perkebunan kopi milik masyarakat setempat yang sangat rimbun dan lebat. Suasana teduh dan sunyipun segera datang menghampiri kami. Kondisi rel perlahan-lahan mulai menghilang di telan bumi. Tak heran memang, jalur ini sudah 40 tahun tak terpakai sehingga kondisinya bisa dikatakan sangat memprihatinkan.
            Kami berjalan menyusuri sebuah jalan yang ada didalam perkebunan kopi. Sesekali kami menjumpai rel yang muncul kepermukaan tanah dengan kondisi berkarat. Terkadang masih nampak tulisan pabrik pembuat rel dan tahun pembuatan rel yang tertulis tahun 1902-1903. Kami juga sempat menemui beberapa pondasi kecil jembatan kereta api yang melintas diatas saluran air.
            Setelah jauh melangkah merangsek kedalam hutan, kami menjumpai sebuah jembatan berwarna merah tua terbuat dari besi melintas diatas kami. Jembatan tersebut adalah jembatan penghubung antar kampung yang masih digunakan oleh warga sekitar hingga saat ini.  Saya belum bisa menyimpulkan apakah jembatan itu dibangun bebarengan dengan pembangunan jalur kereta api atau dibangun setelah jalur kereta api yang melintas di wilayah tersebut di non aktifkan. Hal tersebut saya dasarkan pada pengamatan saya. Jika jembatan itu dibangun bersamaan dengan pembangunan jalur kereta api itu bisa dimungkinkan melihat kondisi fisik jembatan yang sudah tua dan bentuk arsitek jembatan yang masih tampak konvensional. Akan tetapi bisa dimungkinkan juga bangunan jembatan baru didirikan setelah jalur kereta yang melintas diarea tersebut dinonaktifkan. Hal ini saya dasarkan pada tinggi bangunan jembatan yang tidak terlalu tinggi dari permukaan tanah. Tentu saja dengan ketinggian yang hanya seperti itu, kereta pasti akan dengan mudahnya “nyundul” bangunan jembatan.

Bekas Jembatan Ditengah Kebun Kopi

Peserta Jelajah dari Atas Jembatan

Kondisi Rel dengan Balas yang Longsong

Perjalanan kami lanjutkan merangsuk masuk kedalam hutan. Kali ini kondisi jalan setapak mulai agak sedikit berbahaya karena bekas jalur kereta api yang menjadi pijakan kami terlalu mepet dengan jurang akibat longsor, sehingga memaksa kami untuk berhati-hati dan waspada. Kondisi jalur rel sendiri sebenarnya masih bisa dikatakan utuh. Bahkan untuk rel bergerigipun masih terpasang pada posisinya. Hanya saja dibanyak titik banyak gundukan tanah dan balas yang sudah longsor, sehingga kondisi rel agak melenceng.
Perjalanan terus kami lanjutkan. Tampak dari kejauhan kami melihat sebuah bangunan yang megah berdiri ditengah kebun kopi. Semakin mendekat bangunan tersebut nampak semakin jelas. Dan ternyata bangunan megah itu adalah kandang ayam. Bau kotoran ayam yang menusuk hidung segera menyambut kedatangan kami. Sungguh sebuah perjuangan yang sangat berat sekaligus menyenangkan. Kondisi bangunan kandang ayam yang besar dan panjang membuat kami harus lama menahan nafas untuk sesaat. Beberapa dari peserta jelajah ada yang tidak tahan menahan bau dari kotoran ayam tersebut sehingga tak sedikit yang harus muntah karenanya.
            Bagi saya area disekitar kandang ayam tersebut agak aneh dan tak lazim. Dibawah kandang ayam saya menemukan bekas rel yang bercabang dua dan beberapa tiang seperti tiang sinyal. Hal ini tidak saya jumpai selama di perjalanan kecuali di Stasiun Bedono. Menurut Mas Bagus selaku koordinator acara, posisi kandang ayam tersebut masuk dalam wilayah Gemawang. Hipotesa saya bahwa di area kandang ayam itulah dulunya Stasiun Gemawang berdiri, mengingat adanya jalur ganda seperti yang lazim ditemui di stasiun sebagai jalur persilangan. Diarea yang menurut saya adalah bekas lokasi dari Stasiun Gemawang tersebut saya tidak bisa melakukan pengamatan secara rinci, hal ini dikarenakan kepala saya yang pusing akibat dari bau kotoran ayam yang ada disekitar area tersebut. Bahkan saya harus berlari kencang saat melintasi area tersebut agar tidak muntah karena aroma kotoran ayam yang sangat menusuk
            Menurut sejarahnya Stasiun Gemawang dibangun pada tahun 1905 bebarengan dengan dibangunnya Stasiun Bedono. Stasiun ini dulunya digunakan untuk angkutan penumpang dan barang. Stasiun Gemawang sendiri terletak di Kecamatan Jambu Desa Gemawang yang masih berada di wilayah Kabupaten Semarang. Seiring dengan berjalannya waktu stasiun tersebut kemudian ditutup pada tahun 1976 bebarengan dengan ditutupnya jalur dari Bedono menuju Secang. Kini bangunan stasiun sudah tidak berbekas. Sungguh sayang memang.

Perkiraan Lokasi Stasiun Gemawang

Setelah perjuangan hebat melewati kandang ayam yang cukup menguras tenaga dan menguji mental, akhirnya kami memutuskan untuk istirahat sejenak ditengah rimbunya pepohonan perkebunan. Disini kami menikmati bekal yang telah kami bawa sebelumnya untuk memulihkan energi yang telah terkuras selama diperjalanan.
Sembari menunggu rombongan yang masih ada dibelakang, kami saling bertukar cerita mengenai hal-hal menarik yang kami temui disepanjang perjalanan. Suasana perkebunan yang sunyipun berubah menjadi riuh oleh gelagak tawa dari semua peserta. Tak sedikit dari peserta yang bercerita mengenai hal-hal lucu dan unik yang mereka temui diperjalanan terutama di kandang ayam yang barusan kami lewati. Kurang lebih 20 menit beristirahat, perjalanan kami lanjutkan kembali. Saat itu perserta sempat terkejut tatkala panitia mengumumkan bahwa jarak yang masih ditempuh masih sejauh 10 kilometer lagi. Itu berarti jarak yang sudah kami selesaikan baru sejauh 5 kilometer. Padahal waktu itu kami sudah merasa berjalan sangat jauh. Tapi dengan semangat 45 dan bertekat mencapai garis finish, perjalanan pun kami lanjutkan dengan suka cita.

Peserta Beristirahat Ditengah Perkebunan

 Selang berjalan beberapa meter, akhirnya kami tiba disebuah perkampungan di daerah Pringsurat dan mulai menjumpai jalan raya Magelang – Semarang. Suara ramai kendaraan langsung memekakan telinga kami. Perjalanan jelajah kali ini beralih tepat berada disamping jalan raya. Berbeda dengan rute sebelumnya yang nampak tenang dan teduh. Kali ini rute berganti dengan kondisi yang panas dan gaduh oleh kendaraan bermotor.       
            Disepanjang perjalanan saya mengamati bekas jalur kereta api yang ada di sebelah kiri saya. Posisi rel memiliki perbedaan ketinggian dengan jalan raya, dimana rel memiliki posisi yang lebih rendah. Dibeberapa titik saya melihat kondisi rel yang sudah tertimbun oleh rumah permanen milik warga. Bahkan saya juga sempat melihat bekas jembatan kereta melintas diatas sungai dengan kondisi yang masih tampak bagus yang kini dimanfaatkan oleh warga sebagai tempat menjemur pakaian. Sungguh sangat disayangkan memang melihat kondisinya yang sudah tidak terawat.

Rute Jelajah Berpindah Disamping Jalan Raya Semarang – Magelang

Bekas Jembatan Kereta

Tidaklah lama penjelajahan kami berada di samping jalan raya, mungkin hanya berkisar 200 meter. Setelah itu perjalanan kami lanjutkan memasuki wilayah perkebunan. Saat masuk perkebunan kami disuguhi dengan pemandangan yang tak lazim. Ada sepasang jalur kereta api yang longsor cukup curam. Perjalanan kamipun juga sedikit tersendat mengingat kondisi curaman yang cukup dalam.
Diarea ini peserta diharuskan menuruni curaman yang cukup dalam. Kali ini seluruh peserta bekerja sama membuat formasi agar bisa menuruni jalan setapak yang ada dibawah. Pesertapun harus turun satu per satu secara perlahan. Tak sedikit dari peserta yang terpeleset dan terjatuh karena curamnya tanah yang harus dituruni.

Bekas Jalur Kereta yang Longsor

Setelah semua peserta jelajah berhasil menuruni longsoran tersebut perjalanan kami lanjutkan kembali. Kali ini perjalanan kami lanjutkan menyusuri perkebunan warga. Kamipun segera disuguhi pemandangan pematang sawah yang luas menghijau yang sangat indah. Sungguh menyenangkan memang. Tak berapa lama kamipun melintasi sebuah jembatan yang melintang diatas sungai yang cukup lebar. Kerangka jembatan masih nampak kokoh.  Bagian alas jembatan tersebut menggunakan besi bekas rel kereta yang telah disusun dan dilas.


Peserta Melintas Diatas Bekas Jembatan Kereta

Hari semakin siang, mataharipun semakin terik memancarkan sinarnya. Terus melangkah mengikuti jejak jalur kereta, akhirnya kami putuskan untuk istirahat sejenak guna mengisi tenaga yang telah terkuras. Sembari melepas lelah kamipun menikmati segarnya udara ditengah perkebunan yang sangat segar. Waktu itu banyak peserta yang masih tertinggal jauh dibelakang karena semakin beratnya medan yang kami lalui.

Peserta Jelajah Beristirahat di Tengah Perkebunan

Setelah puas beristirahat, perjalanan kami lanjutkan menuju ke Stasiun Grabag Merbabu yang telah menanti di depan kami. Jarak dari tempat kami beristirahat dengan lokasi stasiun tidaklah terlalu jauh. Hanya berjalan selama 20 menit akhirnya kami tiba dititik pemberhentian yang ketiga yaitu Stasiun Grabag Merbabu. Sesampainya disana kami kembali melepas lelah sembari menikmati camilan tradisonal yang telah disiapkan oleh panitia.  
Sambil beristirahat melepas lelah, saya terus mengamati bangunan stasiun yang sekarang telah berubah menjadi sekolahan tersebut. Bangunan stasiun masih tampak kokoh dan terawat. Bentuk aslinya pun masih tetap dipertahankan. Bahkan lantai emplasemen stasiun yang khas dengan ubin kuning kotak-kotak pun masih bisa saya lihat. Bekas rel pun masih bisa saya temui di depan bangunan stasiun yang seolah menandakan bahwa disitulah dulunya kereta berhenti menjemput penumpang. Ventilasi bundar khas stasiun juga tak kalah apik menghiasi bangunan tua itu.

Emplasemen Stasiun Grabag Merbabu

Peserta Jelajah di Stasiun Grabag Merbabu
Sumber: Kota Toea Magelang

Sekilas pengamatan saya bangunan Stasiun Grabag Merbabu menurut saya hampir mirip dengan bangunan Stasiun Sukoharjo dan Stasiun Kranggan di Temanggung. Stasiun Grabag Merbabu didirikan oleh NIS pada tahun 1905 bebarengan dengan pembangunan jalur kereta lintas Magelang – Semarang. Tahun 1970-an stasiun ini masih ramai dengan penumpang. Pada tahun 1976 stasiun ini resmi ditutup setelah 71 tahun beroperasi karena kalah bersaing dengan moda transportasi berbasis jalan raya.
Selepas dari Stasiun Grabag Merbabu, perjalanan kami lanjutkan menuju Stasiun Candi Umbul. Perjalanan kami kali ini semakin bertambah berat. Rute yang kami lewati sudah berganti dengan jalanan kampung yang berdebu dan berkerikil serta jalan di tengah pematang sawah yang sangat panas. Tentu sangatlah berbeda dengan perjalanan kami sebelumnya yang melintasi perkebunan yang teduh dan rimbun. Diperjalanan kami juga sempat melintasi jembatan yang melintang diatas Sungai Elo yang cantik.

Peserta Melintas Diatas Jembatan Kali Elo

Setelah berjalan kurang lebih satu jam perjalanan akhirnya kami tiba di titik pemberhentian terakhir yaitu Candi Umbul. Kami tiba di kompleks Candi Umbul kurang lebih pukul satu siang. Sesampainya disana kami langsung melepas lelah. Beberapa peserta ada yang merendam kakinya dan ada juga yang tidur-tiduran di kompleks pemandian. Setelah istirahat sejenak, saya memutuskan untuk melanjutkan blusukan lagi ke lokasi bekas Stasiun Candi Umbul yang letaknya tidak terlalu jauh dari lokasi pemandian.
Lokasi bekas Stasiun Candi Umbul terletak ditengah sawah yang agak jauh dari pemukiman warga. Diarea bekas stasiun terdapat dua bangunan, yaitu bangunan stasiun dan bangunan rumah dinas kepala stasiun. Kedua bangunan tersebut kini sudah rusak parah. Yang tersisa hanyalah dinding bangunannya saja. Menurut beberapa informasi yang saya dapatkan, rusaknya bangunan stasiun selain karena tidak dirawat juga diakibatkan karena penjarahan yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab terhadap bagian-bagian stasiun. Di halaman depan stasiun masih nampak beberapa sisa potongan rel kereta api. Bahkan saya juga sempat menemukan bekas sepasang roda kereta api di dekat rumah seorang warga.
Stasiun Candi Umbul adalah sebuah stasiun yang terletak di Desa Kartoharjo, Grabag Magelang. Stasiun ini didirikan oleh NIS pada tahun 1905. Stasiun yang terletak paling utara dari Kabupaten Magelang ini dulunya digunakan untuk pemberhentian penumpang yang hendak berwisata ke pemandian Candi Umbul. Seiring dengan berjalannya waktu stasiun ini mulai ditinggalkan dan resmi ditutup pada tahun 1976 karena sepinya penumpang.

Bekas Stasiun Candi Umbul

Bekas Rumah Dinas Kepala Stasiun Candi Umbul

Bekas Sepasang Roda Kereta di Candi Umbul

Selepas dari bangunan stasiun, saya kembali ke kompleks pemandian Candi Umbul untuk melepas lelah. Bersama dengan peserta lain kami saling bercerita bertukar pengalaman masing-masing. Banyak ilmu dan wawasan yang saya dapatkan disana terutama mengenai sejarah yang ada dikawasan Magelang dan wilayah Kedu. Peserta jelajah kali ini memang didominasi oleh para pecinta sejarah, sehingga sangat asyik berdiskusi dengan orang-orang tersebut. Bahkan lamanya waktu berdiskuspiun tak terasa telah kami habiskan.

Kompleks Pemandian Candi Umbul

Peserta Jelajah Didepan Kompleks Candi Umbul
Sumber: Kota Koea Magelang

Kurang lebih pukul tiga sore kami bersiap-siap untuk kembali ke Magelang dengan menggunakan angkot yang telah menunggu kami semenjak tadi. Perjalanan kami menuju ke Magelang kurang lebih 40 menit. Sepanjang perjalanan pulang kami masih disuguhi pemandangan hamparan sawah yang terbentang luas. Suasana mendung menambah dinginnya suasana sore itu.
            Akhirnya kami tiba di Magelang di titik kita pertama berkumpul tadi pagi. Dan dari situlah kita berpisah dengan meninggalkan kenangan yang tak akan terlupakan. Bagi saya, perjalanan belum berakhir karena saya harus segera beranjak menuju ke Solo. Dengan menggunakan angkotan merah akhirnya saya tiba di Terminal Tidar Magelang. Seperti halnya kejadian tadi pagi yang saya alami di Jogja, niat hati ingin naik bus patas apadaya supir tidak mau mengangkut saya. Pasrah mungkin itu yang hanya bisa saya lakukan.
            Akhirnya untuk kedua kalinya saya harus naik “omprengan” menuju ke Jogja. Gambaran bagaimana lambannya bus pun sudah terbayang sebelum saya naik ke atas bus. Tapi apa daya, hanya angkutan tersebut yang bisa membawa saya kembali ke Jogja. Selang tak berapa lama mimpi burukpun dimulai. Berangkat dari Terminal Tidar pukul empat sore saya baru tiba di Jogja pukul setengah delapan malam. Sungguh perjalanan yang sangat lama ditambah kondisi bus yang tidak ber AC dan bisa dikatakan tidak laik jalan.
            Sampai di Terminal Giwangan Jogja saya masih harus berkutat diarea terminal untuk mencari bus ke arah Solo. Setelah berputar-putar akhirnya saya mendapatkan sebuah bus jurusan Surabaya yang akan segera berangkat. Saya putuskan untuk ikut dengan bus tersebut. Kali itu saya sudah kapok dengan bus “omprengan” dan berharap untuk tidak pernah naik lagi.
            Setelah melalui perjalanan yang panjang ditambah ramainya jalan raya, kurang lebih pukul setengah sepuluh malam saya tiba di Solo. Rasa capek dan lapar langsung datang menghinggap. Dalam hati saya berkata bahwa pengalaman kali ini sungguh istimewa. Dari sini kita bisa mendapatkan ilmu, pengetahuan, pengalaman, teman, saudara, relasi, dan lain sebagainya. Saya hanya bisa berharap semoga kalaupun tahun depan ada acara semacam ini lagi saya bisa berpartisipasi kembali.  

_______________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
_______________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / FB, MAIL: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama 

























JALUR KERETA TEMANGGUNG - PARAKAN

 JEJAK KERETA API DI KOTA TEMBAKAU

            Siapa yang mengira bahwa Kota Temanggung, kota yang terkenal akan hasil tembakaunya ini dahulu pernah dilintasi kereta api. Bahkan beberapa stasiun tercatat pernah berdiri di Kabupaten yang terkenal dengan bakso ulegnya ini. Saya sendiri baru mengetahui keberadaan kereta api di Temanggung saat tinggal di Semarang melalui cerita yang disampaikan oleh teman kos saya yang merupakan penduduk asli Temanggung.
            Pengetahuan saya akan bukti keberadaan kereta api di Temanggung semakin bertambah tatkala saya tinggal di Temanggung selama hampir 45 hari dalam rangka menyelesaikan tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari kampus pada tahun 2012. Waktu itu saya sempat menjumpai beberapa bukti keberadaan kereta api di Temanggung seperti bangunan bekas stasiun dan bekas jembatan kereta api dibeberapa titik. Namun waktu itu saya belum berfikiran untuk menggali lebih jauh informasi mengenai keberadaan kereta api di Temanggung mengingat masih sedikitnya informasi yang saya miliki kala itu. Blusukan saya kali ini akan membahas mengenai bukti keberadaan kereta api di Temanggung dimasa lampau yang telah lama mati akibat kalah bersaing dengan moda transportasi berbasis jalan raya seperti bis dan kendaraan pribadi. 

Sejarah Singkat
            Jalur kereta api dari Secang menuju Parakan adalah jalur kereta yang dibangun setelah pembangunan jalur Secang-Magelang yang selesai dibangun pada 15 Mei 1903. Pembangunan jalur ini di bagi dalam dua tahap, yakni rute Secang hingga Temanggung yang mulai beroperasi pada 3 Januari 1907 dan rute Temanggung hingga Parakan yang mulai beroperasi pada 1 Juli 1907. Sepanjang rute ini tercatat ada beberapa stasiun dan halte sebagai tempat naik turun penumpang, diantaranya adalah: Stasiun Secang, Halte Nguwet, Stasiun Kranggan, Halte Guntur, Stasiun Temanggung, Halte Maron, Stasiun Kedu, dan Stasiun Parakan.
            Menurut catatan sejarah, pembangunan jalur kereta api diwilayah Ambarawa, Secang, Temanggung, Parakan, dan Magelang tidaklah luput dari peran pemborong sekaligus insinyur asal Tiongkok kala itu yang bernama Ho Tjong An. Tercatat biaya pembangunan jalur kereta api dari Magelang hingga Secang serta Secang hingga Parakan sebesar f 350.000,- (Guilders Belanda). Tentu angka tersebut merupakan nominal yang sangat besar diwaktu itu.

Peta Jalur Kereta Api di Temanggung Tahun 1903
Sumber: kitlv.nl


Memulai Blusukan
            Blusukan kali ini saya lakukan pada tanggal 21 September 2014 tepatnya pada hari Minggu. Saya mengambil titik start dari Solo menuju Secang Magelang pada pukul enam pagi. Rute yang saya ambil kali ini melewati Boyolali dan Salatiga via Banyubiru selama kurang lebih dua jam perjalanan. Tujuan pertama saya yaitu mencari letak Stasiun Secang sebagai stastiun awal rute kereta menuju Parakan. Tepat pukul delapan pagi saya tiba di Kecamatan Secang.
            Sesampainya di Secang saya langsung mencari lokasi gudang pupuk milik Pusri karena menurut info yang saya dapatkan, didekat gudang itulah Stasiun Secang berada. Sesampainya di pertigaan Secang, saya mulai melihat bangunan kuno rumah dinas kepala stasiun yang tampak kosong tak terawat tepat berdiri disekitar traffic light Secang. Dugaan saya kemungkinan Stasiun Secang berada di sekitar kawasan tersebut. Terus berjalan ke arah barat akhirnya saya menemukan gudang Pusri. Tepat di sebelah gudang terdapat jalan kecil menuju perkampungan. Saya pun bergegas memasuki gang tersebut dengan harapan menemukan bekas bangunan Stasiun Secang.
            Terus masuk kedalam kampung, akhirnya saya menemukan sebuah bangunan yang mirip dengan bangunan gudang berdiri tepat di samping rumah warga. Dengan rasa penasaran yang semakin bertambah, saya mencoba menilik area di belakang gudang tersebut. Benar saja, akhirnya saya berhasil menemukan bekas bangunan Stasiun Secang yang nampak kotor tak terawat berada tak jauh dari bangunan gudang stasiun.
            Diemplasemen stasiun, saya mencoba mengamati kondisi sekitar Stasiun Secang sembari melepas lelah. Kondisi bangunan stasiun sendiri sebenarnya masih utuh dengan daun pintu dan daun jendela yang saya perkirakan masih asli. Bahkan saya masih bisa menemukan lantai khas emplasemen stasiun dengan bentuk kotak-kotak berwarna kuning yang masih asli. Lokasi area Stasiun Secang sebenarnya belum terlalu banyak berubah. Disana juga masih bisa dijumpai sisa-sisa rel menuju ke arah Magelang dan Temanggung.
Stasiun Secang adalah stasiun yang terletak di Kecamatan Secang Kabupaten Magelang yang berdiri diatas ketinggian 466 meter diatas permukaan air laut. Stasiun ini didirikan oleh perusahaan kereta api Hindia Belanda NIS dengan memiliki tiga jalur, yaitu jalur menuju ke Semarang, Yogyakarta, dan Parakan. Sebelum tahun 1970 jalur ini ramai oleh penumpang yang hendak bepergian. Namun seiring dengan berjalannya waktu, penumpang mulai beralih menggunakan angkutan berbasis jalan raya  yang mengakibatkan jumlah penumpang kereta turun drastis.
Tepat pada tahun 1973 jalur dari Secang menuju Parakan ditutup oleh Jawatan Kereta Api karena menurunnya jumlah okupansi penumpang. Tak lama kemudian setelah jalur tersebut ditutup menyusul jalur Kedungjati hingga Magelang yang ikut ditutup karena alasan yang sama pada tahun 1976.

Bekas Bangunan Gudang Stasiun Secang

Bekas Emplasemen Stasiun Secang

Bekas Rel Menuju Magelang

Halaman Depan Stasiun Secang

Puas menengok keberadaan Stasiun Secang, perjalanan saya lanjutkan menuju Halte Nguwet. Masih mengikuti jalan kampung yang ada disekitar stasiun, saya masih bisa menjumpai sisa-sisa rel menuju Temanggung yang menyatu dengan jalanan aspal kampung. Perjalanan saya lanjutkan ke utara ke arah Temanggung. Masih di wilayah Secang, saya menjumpai persilangan jalur kereta api memotong jalan raya menuju ke timur. Lokasinya tepat berada di seberang pom bensin yang ada di Secang. Di persilangan tersebut juga masih nampak bekas rel dan gundukan tanah bekas jalur kereta api.
Diarea ini saya sempat berhenti sejenak sembari mengamati pergerakan jalur kereta.  Ada kejadian unik yang saya alami saat berada di area ini. Rasa penasaran saya yang tinggi akan kondisi bekas jalur kereta membuat saya nekat masuk kedalam perkebunan mengikuti gundukan tanah bekas jalur kereta. Terus merangsek masuk kedalam perkebunan tanpa saya sadari jalan tersebut ternyata menuntun saya ke sebuah area pemakaman warga yang berada di tengah perkebunan. Guna menghindari hal-hal yang tidak saya inginkan saya pun langsung berputar arah.    

Bekas Jalur Kereta dari Stasiun Secang

Rel Berotongan dengan Jalan Raya


Dari titik persilangan tersebut perjalanan saya lanjutkan mencari keberdaan Halte Nguwet. Menurut info yang saya dapatkan Halte Nguwet terletak di Desa Nguwet Kecamatan Kranggan Temanggung. Bangunannya sendiri menurut informasi sudah tidak berbekas. Dengan rasa penasaran sayapun bergegas menuju kesana.
            Cukup mudah mencari lokasi Desa Nguwet. Memasuki Kecamatan Kranggan saya menjumpai pertigaan yang memiliki traffic light. Di pertigaan tersebut nampak plang milik PT. KAI tertancap di sebelah kanan jalan. Untuk menuju Desa Nguwet saya mengambil arah kekanan dari arah Secang kurang lebih sejauh 3 kilometer. Sampai di Desa Nguwet sebelum pom bensin saya melihat beberapa tiang sinyal kereta yang terbuat dari besi rel kereta tertancap di area persawahan. Tepat disamping pom bensin saya kembali menemukan persilangan rel dengan jalan raya. Rel tersebut membentang lurus melintas diatas sebuah sungai yang posisinya agak jauh dari jalan raya.

Bekas Rel Bersilangan dengan Jalan Raya


Sesampainya di depan Kantor Desa Nguwet saya mencoba masuk ke sebuah jalan kampung dengan harapan akan memperoleh petunjuk mengenai keberadaan Halte Nguwet. Terus masuk hingga tiba di ujung jalan, saya sama sekali tidak menemukan petunjuk mengenai keberadaan halte disana. Kebetulan saya bertemu dengan seorang kakek yang sedang membersihkan halaman rumahnya. Saya menanyakan kepada beliau mengenai keberadaan Halte Nguwet dengan harapan kakek tersebut mengetahuinya. Benar saja, kakek tersebut dengan hafalnya menunjukkan kepada saya dimana letak Halte Nguwet berdiri.
            Informasi yang saya dapatkan dari kakek tersebut adalah bahwa Halte Nguwet terletak dibelakang sebuah pabrik yang kebetulan tadi saya lewati. Beliau menandaskan bahwa bangunan halte sendiri sudah tidak ada bekasnya. Dengan berbekal informasi tersebut, saya segera tancap gas menuju pabrik yang dimaksud sang kakek. Sesampainya di depan pabrik saya cukup sulit menemukan jalan masuk menuju area dibelakang pabrik karena lokasi pabrik yang dikelilingi oleh sawah. Akhirnya setelah mondar-mandir saya menemukan sebuah jalan kecil menuju ke persawahan yang tak jauh dari pabrik.
            Jalan yang saya lewati ini sungguh berbahaya. Lebar jalan yang tidak terlalu besar serta kondisi jalan yang terbuat dari batu sungai yang di susun membuat saya harus ekstra hati-hati. Setelah masuk kurang lebih 100 meter, akhirnya saya tiba di ujung jalan yang berada tepat di belakang pabrik. Disekitar area tersebut saya menemukan patok yang terbuat dari rel kereta api tertancap di tengah sawah. Menurut perkiraan saya disitulah dulunya lokasi Halte Nguwet berdiri. Tak jauh dari patok tersebut, saya juga menjumpai sebuah jembatan yang lumayan besar melintas di atas sungai dengan konstruksi bangunan yang masih tergolong baik.

Perkiraan Lokasi Halte Nguwet

Bekas Jembatan di Nguwet

Puas mengamati area jembatan di Desa Nguwet, perjalanan saya lanjutkan kembali menuju Kranggan untuk mencari keberadaan Stasiun Kranggan. Setibanya di Kranggan saya berusaha mencari lokasi stasiun yang menurut informasi yang saya peroleh berada tidak jauh dari lokasi Pasar Kranggan. Sambil berjalan pelan saya mengamati perkampungan di seberang pasar dan tak sengaja menemukan plang milik PT. KAI tertancap di ujung gang kampung. Saya segera bergegas menghampiri plang tersebut.
Di sekitar area plang milik KAI saya melihat sebuah tiang sinyal yang terbuat dari potongan besi rel kereta tertancap di sebuah kandang ayam milik warga. Saya pun berlanjut menelusuri kampung tersebut melalui jalanan kampung yang sempit. Menurut analisa saya jalan kampung yang saya lewati ini adalah bekas jalur kereta api, mengingat lebar dan bentuk gundukan jalan yang menyerupai jalur kereta api ditambah dengan tiang sinyal yang saya temukan tadi memperkuat hipotesis saya.

Bekas Sinyal Stasiun Kranggan

Tiba diujung jalan secara tak sengaja akhirnya saya menemukan bangunan bekas Stasiun Kranggan. Bentuknya mirip dengan yang saya lihat di gambar. Selain itu bentuk bangunan khas stasiun dengan lubang ventilasi bundar di bagian atasnya membuat saya yakin bahwa itulah bangunan yang saya cari. Dilihat dari bentuk fisiknya, bangunan stasiun masih nampak terawat meskipun ada penambahan bangunan baru di sisi utara.
  Stasiun Kranggan adalah salah satu stasiun yang ada di Temanggung yang terletak di Desa Pendowo. Stasiun ini dibuka pada tahun 1907 dan ditutup pada tahun 1973 setelah 66 tahun beroperasi. Stasiun ini berdiri di diketinggian 467 meter diatas permukaan air laut dan dibangun oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) sebuah perusahaan swasta kereta api Hindia Belanda. Kini bangunan stasiun di gunakan oleh mantan pegawai PJKA sebagai tempat tinggal.  

Stasiun Kranggan

 Dari Stasiun Kranggan perjalanan saya lanjutkan menuju Temanggung untuk mencari lokasi Halte Guntur. Tak jauh perjalanan saya dari Kranggan saya melintasi Kali Progo yang diatasnya masih terdapat bekas jembatan kereta api yang melintang. Menurut informasi yang saya dapatkan pada tahun 1947 pernah terjadi kecelakaan kereta api di jembatan tersebut yang mengakibatkan kereta api tercebur ke dalam sungai. Saya menyempatkan diri untuk mendekati area jembatan untuk melihat kondisi jembatan.

Bekas Jembatan Kereta Melintas Diatas Kali Progo


Kereta Melintas Diatas Kali Progo Tahun 1900
Sumber: kitlv.nl

Dari area jembatan Kali Progo perjalanan saya lanjutkan menuju Halte Guntur yang berada di Desa Guntur. Letak Desa Guntur sendiri berada di sebelah kanan jalan gapura masuk Kecamatan Temanggung atau tepatnya kanan jalan sebelum Kantor Dinhub Temanggung. Perjalanan saya lanjutkan menyusuri jalanan kampung yang sepi. Kebetulan saat tiba di sana, perjalanan saya agak terhambat karena ada perbaikan jalan yang sedang dilakukan oleh masyarakat desa. Perjalanan saya pun dialihkan oleh warga menyusuri jalan setapak yang ada di kampung tersebut.
            Pengalihan jalur yang dilakukan warga tersebut ternyata menjadi sebuah keberuntungan tersendiri bagi saya. Ternyata jalan setapak yang saya lalui adalah bekas jalur kereta api di Desa Guntur. Beberapa potongan rel keretapun masih bisa saya temukan. Bahkan batuan kerikil yang mirip bantalan jalur kereta pun masih bisa saya jumpai. Tak lama kemudian bekas rel tersebut mengarahkan saya ke sebuah lokasi yang menurut artikel yang saya dapatkan adalah bekas lokasi Halte Guntur berdiri dahulu. Bangunan Halte Guntur sendiri memang sudah tidak ada dan tak berbekas. Dari titik tersebut rel bersilangan dengan jalan desa dan menembus ke rumah warga.

Bekas Jalur Kereta di Desa Guntur

Perkiraan Lokasi Halte Guntur

Beranjak dari Desa Guntur pencarian saya lanjutkan menuju Kota Temanggung untuk mencari letak Stasiun Temanggung. Tidaklah sulit bagi saya untuk menemukan lokasi stasiun. Selain posisinya yang sangat strategis yakni di belakang Kantor Bupati Temanggung, saya sudah pernah melihat bangunan Stasiun Temanggung sebelumnya saat mengikuti program KKN di Temanggung tahun 2012, sehingga saya hafal betul letak dan kondisi dari Stasiun Temanggung.
            Setibanya di Stasiun Temanggung, saya masih bisa melihat bangunan stasiun yang masih tampak gagah berdiri dengan kondisi yang masih terawat. Posisinya yang berdiri di tengah padatnya pemukiman penduduk membuat tidak banyak orang mengetahui bahwa bangunan tua bercat merah tua itu dulunya adalah sebuah stasiun. Bahkan teman kuliah saya dulu yang berasal dari Temanggung hanya mengetahui bahwa stasiun yang ada di Temanggung hanyalah Stasiun Parakan saja.
            Masyarakat sekitar sekarang lebih mengenal tempat ini sebagai Gedung Juang 45. Stasiun Temanggung dibangun pada tahun 1907 oleh Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Dahulunya stasiun ini selain untuk angkutan penumpang juga digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti tembakau. Stasiun di tutup pada tahun 1973 setelah 66 tahun beroperasi. Alasan penutupan stasiun ini sama dengan stasiun-stasiun lainnya yaitu kalah bersaing dengan angkutan jalan raya. Selain itu laju kereta yang lambat pada masa itu juga membuat masyarakat malas menggunakan kereta. Kini bangunan stasiun dimanfaatkan sebagai kantor sekretariat Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri).

Bangunan Bekas Stasiun Temanggung

Stasiun Temanggung Tahun 1907
Sumber: Oliver Johannes Collection

Puas mengambil gambar di Stasiun Temanggung, perjalanan saya lanjutkan menuju ke arah Kecamatan Kedu. Sepanjang perjalanan saya menuju Kedu, saya disuguhi dengan sebuah pemandangan yang luar biasa saat melintasi Kali Kuwas. Tepat di atas Kali Kuwas membentang sebuah bekas jembatan kereta api yang masih nampak kokoh berdiri dengan kerangka bajanya yang masih utuh. Sebenarnya jembatan ini juga sudah tidak asing bagi saya, karena dulu jika hendak pergi ke Kota Temanggung saat KKN, saya sering menyaksikan jembatan ini dari kejauhan.
            Meskipun jembatan Kali Kuwas sudah tidak asing bagi saya, tetapi jembatan ini tetap menyimpan keindahan tersendiri bagi saya dan tidak pernah bosan untuk memandangnya. Tak bisa dibayangkan keindahannya seumpama jembatan tersebut masih aktif dilalui kereta api, pasti akan memberikan pemandangan yang luar biasa indahnya. Saat itu saya mencoba untuk menjangkau lebih dekat kearah jembatan untuk melihat kondisinya secara lebih detail. Saya mencoba masuk kesebuah perkampungan yang letaknya tepat di bawah jembatan melalui sebuah gang kecil dari jalan raya. Warna sawah yang hijau serta jernihnya air sungai menambah keindahan pemandangan di lokasi tersebut.

Jembatan Kali Kuwas

Jembatan Kali Kuwas Tahun 1900
Sumber: kitlv.nl

Kerangka Jembatan Kali Kuwas

Puas menikmati keindahan jembatan Kali Kuwas perjalanan saya lanjutkan ke Kecamatan Kedu. Sebelum tiba di Kedu saya teringat bahwa di daerah Maron dulunya terdapat sebuah halte pemberhentian kereta api. Tak lama berselang perjalanan saya tiba di pertigaan Maron. Menurut referensi yang saya dapatkan bahwa letak Halte Maron dulunya berada di sekitar pertigaan tersebut.  Saya mencoba berbelok ke kanan dari arah Temanggung menuju sebuah terminal kecil yang tak jauh dari lokasi pertigaan. Disana saya menemukan sebuah plang milik PT. KAI tertancap di samping ruko dengan kondisi sedikit tertutup pohon rambutan. Saya memperkirakan bahwa dilokasi itulah dulunya Halte Maron berdiri. Sayang bangunan haltepun sekarang sudah dibongkar dan berubah menjadi kawasan pertokoan. Perjalananpun saya lanjutkan menuju Kecamatan Kedu untuk mencari letak Stasiun Kedu.

Perkiraan Lokasi Halte Maron

Selama perjalanan menuju Kecamatan Kedu saya mulai menjumpai bekas-bekas jalur kereta yang masih nampak terlihat di sisi kanan jalan. Beberapa sisa rel masih nampak jelas, akan tetapi juga ada yang sudah tertutup oleh bangunan warga dan perkebunan. Bahkan di sebuah titik saya masih bisa menjumpai tiang sinyal yang tertancap di pinggir jalan.  Akhirnya saya masuk diwilayah Kecamatan Kedu. Kali ini tujuan saya adalah Kantor Kecamatan Kedu yang menurut referensi letak Stasiun Kedu berada persis didepan kantor kecamatan. Sebelumnya saya sudah tahu dimana lokasi kantor kecamatan, karena saat KKN dulu kebetulan teman saya menginap di kompleks kantor kecamatan tersebut.
            Tibanya di depan Kantor Kecamatan Kedu, saya mulai mengamati area didepan kantor. Benar saja, ada sebuah gang kecil dimana terdapat bangunan tua bercat kuning yang berdiri di ujung gang. Saya pun kemudian masuk ke gang tersebut. Suasana sepi langsung terasa ketika saya menuju bangunan tua tersebut. Tak ada aktivitas yang bisa saya jumpai di sana. Bahkan suasana angkerpun sempat muncul dibenak saya. Dibagian belakang bangunan terdapat alat persinyalan seperti yang lazim terdapat di stasiun dan ada beberapa bekas potongan besi rel kereta api.

Bagian Depan Stasiun Kedu

Jika dilihat dari arsitek bangunan stasiun, bentuk bangunan Stasiun Kedu tidak menyerupai bentuk stasiun yang saya jumpai sebelumnya. Saya sempat berpendapat bahwa mungkin bangunan stasiun adalah bangunan yang telah di pugar sehingga bentuk aslinya telah dirubah. Menurut sejarahnya Stasiun Kedu dibangun pada tahun 1907 oleh NIS. Pada masanya stasiun ini melayani angkutan penumpang dan barang. Stasiun ini masih beroperasi hingga dekade 1970-an dan kemudian ditutup pada tahun 1973 karena menurunnya jumlah penumpang. Bekas bangunan stasiun kini digunakan oleh Pepabri sebagai kantor sekretariat.

Emplasemen Stasiun Kedu

Sebuah Kereta Berhenti di Wilayah Kedu Tahun 1910
Sumber: kitlv.nl

Hari beranjak siang, perjalananpun saya lanjutkan menuju stasiun terakhir yakni Stasiun Parakan. Jarak antara Stasiun Kedu dengan Stasiun Parakan lumayan cukup jauh. Sepanjang perjalanan saya disuguhi pemandangan ladang tembakau dengan latar belakang Gunung Sindoro Sumbing yang sangat indah. Masih didaerah Kedu, saya teringat pada sebuah referensi bahwa di Desa Campursari Kecamatan Bulu terdapat bekas jembatan kereta api yang bersilangan dengan jalan raya yang kini digunakan warga sebagai jembatan penyeberangan yang terkenal dengan nama Plengkung Campursari. Sayapun mencoba mencari jembatan tersebut. Ternyata tidaklah sulit menemukan lokasi tersebut. Sebelum Parakan ada sebuah pertigaan besar belok kiri ke arah Bulu, kurang lebih 2 kilometer maka kita akan menjumpai jembatan tersebut.

Bekas Jembatan Kereta di Bulu

Beranjak dari Plengkung Campursari, saya segera tancap gas menuju Parakan. Setibanya di Parakan saya sempat tersesat mencari lokasi Stasiun Parakan. Suasana yang ramai serta banyaknya jalan searah membuat saya kebingungan. Setelah memasuki beberapa jalan dan bertanya kepada seorang tukang parkir akhirnya saya berhasil menemukan lokasi Stasiun Parakan. Lokasinya terletak di sebuah jalan kecil kiri jalan sebelum Indomaret Parakan. Dari pertigaan masuk kurang lebih 50 meter. Sebelum SMK Parakan ada jalan kekanan kemudian masuk maka kita akan menjumpai area bekas Stasiun Parakan.
            Bangunan pertama yang saya temui adalah bekas gudang stasiun. Bangunannya cukup besar dengan kondisi yang masih terawat. Kurang lebih 30 meter dari bangunan gudang saya kemudian menjumpai lokasi Stasiun Parakan. Bentuk bangunannya menyerupai Stasiun Temanggung akan tetapi kondisinya jauh sangat memprihatikan. Bangunan stasiun tampak kotor dan tidak terawat serta banyak sampah yang berserakan meskipun bangunan tersebut dihuni oleh pensiunan PJKA. Mungkin karena lokasinya yang dekat dengan pasar membuat bangunan stasiun nampak kumuh.
Stasiun Parakan adalah stasiun pemberhentian terakhir kereta api dari Secang. Stasiun ini didirikan oleh NIS pada tahun 1907. Pada masanya stasiun ini memiliki fasilitas yang lengkap seperti gudang, dipo kereta api dan dipo lokomotif. Stasiun ini masih ramai oleh penumpang pada tahun 1970-an kemudian selang tak berapa lama pada tahun 1973 stasiun ini resmi ditutup seiring ditutupnya jalur dari Secang karena jumlah penumpang yang turun drastis. Kini area sekitar bangunan Stasiun Parakan dimanfaatkan sebagai tempat parkir truk-truk angkutan barang yang melakukan distribusi barang di Pasar Parakan. 

Bekas Bangunan Gudang Stasiun Parakan

Halaman Depan Stasiun Parakan

Stasiun Parakan Tahun 1910
Sumber: N.I.S.M. Lijn Djoeja

Bagian Belakang Stasiun Parakan

Emplasemen Stasiun Parakan

Beranjak dari Stasiun Parakan perjalanan saya lanjutkan pulang. Saat perjalanan pulang, di dekat Pasar Parakan saya melintas disebuah jembatan yang berukuran lumayan besar. Disisi kiri saya melihat bekas jembatan kereta api yang masih nampak utuh dan kokoh. Saya pun tertarik untuk mendekat ke area jembatan tersebut. Cukup sulit ternyata untuk menjangkau jembatan tersebut karena area disekitar jembatan telah berubah menjadi kawasan pertokoan yang padat.
Dengan sangat teliti saya mencoba mencari jalan menuju jembatan tersebut. Akhirnya saya melihat sebuah gang kecil terletak disamping sebuah showroom. Sayapun masuk melalui jalan tersebut. Sampainya disana saya agak sedikit kecewa, ternyata ujung jembatan telah digunakan warga sebagai tempat menyimpan kayu bakar sehingga saya tidak bisa melihat lebih jauh kondisi jembatan.

Bekas Jembatan Kereta di Parakan

Beranjak dari Parakan perjalanan saya lanjutkan pulang menuju Solo. Sebelum kembali ke Solo saya menyempatkan untuk mampir ke Kota Magelang untuk beristirahat sambil menikmati keindahan kota yang terkenal dengan getuk trionya itu. Kurang lebih pukul setengah lima sore akhirnya saya tiba di Solo dengan pengalaman yang luar biasa mengenai sejarah kereta api di tanah Kedu. Semoga dilain waktu saya bisa kembali melakukan blusukan di tempat lain yang tak kalah serunya. 

_________________________________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
_______________________________________________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama