Senin, 05 Januari 2015

JALUR MATI GROBOGAN - BLORA

TERGUSURNYA JALUR PURWODADI – BLORA

            Keberadaan jalur kereta api lintas Grobogan belakangan ini menarik perhatian saya. Kabupaten yang berjarak kurang lebih 50 kilometer arah utara Kota Solo ini ternyata pernah dilewati dua jalur kereta api sekaligus, yakni jalur kereta api milik NIS dan jalur kereta api milik SJS. Sungguh istimewa memang mengingat Grobogan bukanlah kabupaten yang besar dan bukan pula pusat perdagangan dimasa itu. Melaui beberapa referensi saya mencoba menggali informasi mengenai hal tersebut.
            Menurut informasi yang saya peroleh jalur kereta api lintas Demak – Grobogan - Blora dibangun oleh salah satu perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda kala itu yang bernama SJS atau Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij. Perusahaan ini dulunya membangun jalur kereta api di wilayah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dengan daerah operasi di sekitar Semarang seperti Kabupaten Demak, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang, Kabupaten Jepara, sebagian di Kabupaten Blora, sebagian di Kabupaten Grobogan, sebagian di Kabupaten Bojonegoro, dan sebagian di Kabupaten Tuban. Total jalur yang pernah dibangun oleh SJS mencapai 417 kilometer. Pembangunan jalur tersebut dilakukan sekitar akhir abad 18 hingga awal abad 19.
            Pembangunan jalur kereta api oleh Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij dilatar belakangi oleh banyaknya komoditi perdagangan yang dihasilkan oleh wilayah diatas seperti komoditi gula, kapuk, kayu jati, tras dan bahan bangunan lainnya. Selain itu belum adanya alat transportasi masal diwilayah tersebut juga menjadi alasan dibangunnya jalur tersebut. Diawal abad 19 jalur tersebut ramai oleh kereta lokal yang mengantarkan warga bepergian dari Kabupaten Demak hingga Kabupaten Blora. Seiring dengan berjalannya waktu kereta api mulai ditinggalkan karena kecepatannya yang lambat dibandingkan dengan bus dan moda transportasi lain.

            Sepinya jalur kereta api yang menghubungkan wilayah Kabupaten Demak hingga Kabupaten Blora membuat pemerintah harus menutup jalur tersebut ditahun 1987. Sejarahnya yang panjang serta sisa-sisa jalur peninggalan SJS di Kabupaten Grobogan ini lah yang menarik saya untuk mencari tahu jejak keberadaan jalur tersebut.  

Peta Jalur Kereta Api di Demak hingga Blora Tahun 1913
Sumber: kitlv.nl

            Blusukan saya kali ini saya lakukan pada hari Sabtu 3 Januari 2015. Ini adalah blusukan pertama saya di tahun 2015. Perjalanan saya mulai dari Kota Solo pada pukul 6 pagi. Rute yang saya ambil adalah rute dari Solo – Gemolong (Kabupaten Sragen) – Grobogan kurang lebih sejauh 50 kilometer. Diperjalanan saya juga menyempatkan diri untuk mampir dibeberapa stasiun yang kebetulan saya lewati. Bergerak kearah utara saya melaju menuju Gemolong. Sebelum masuk wilayah Gemolong saya sempat mampir di Stasiun Kalioso yang masuk dalam wilayah Kabupaten Karanganyar.
Setibanya di Stasiun Kalioso hanya suasana sepi yang nampak. Tidak ada aktivitas yang berarti di stasiun ini. Hal ini terjadi karena stasiun ini memang sudah tidak melayani perjalanan kereta api regular. Kemudian perjalanan saya lanjutkan ke utara menuju Gemolong. Di jalur ini terdapat dua stasiun yang masuk dalam wilayah Kabupaten Sragen yaitu Stasiun Salem dan Stasiun Sumberlawang. Dari dua stasiun tersebut hanya Stasiun Salem saja yang masih melayani perjalanan kereta api.

Stasiun Kalioso

Stasiun Salem

Stasiun Sumberlawang

Selepas dari wilayah Sumberlawang perjalanan saya mulai memasuki wilayah Kabupaten Grobogan. Kurang lebih 15 kilometer perjalanan, akhirnya saya tiba di wilayah Gundih. Disini berdiri Stasiun Gundih yang ukurannya cukup besar. Disini pula terdapat titik percabangan jalur kereta api menuju ke Semarang dan ke Kabupaten Grobogan. Di Stasiun Gundih ini dulunya terdapat banguan dipo lokomotif yang ukuran lumayan besar. Akan tetapi sayang, bangunan dipo tersebut sekarang sudah tidak terpakai dan kondisinya tak terawat, bahkan kesan angker pun sangat kental terasa.
Stasiun Gundih adalah stasiun besar dimasanya. Hal ini bisa dilihat dari ukuran bangunan stasiun dan fasilitas pendukung yang ada disana. Hal ini dikarenakan wilayah Gundih adalah kawasan yang kaya akan hasil hutan seperti kayu. Di bagian barat stasiun, saya masih bisa menjumpai bangunan rumah dinas kepala stasiun yang beberapa diantaranya masih dimanfaatkan sebagai tempat tinggal dan bangunan menara air yang dulu digunakan untuk mensuplai air untuk lokomotif-lokomotif yang singgah disana. Disebelah selatan bangunan stasiun terdapat sebuah bangunan gudang yang sudah tidak terpakai dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sementara itu dibagian emplasemen timur stasiun terparkir beberapa gerbong bekas berkarat yang sudah lama tidak difungsikan. 

Stasiun Gundih

Stasiun Gundih Tahun 1910
Sumber: Tropen Museum

Bekas Bangunan Dipo Stasiun Gundih

Perjalanan saya lanjutkan kearah pusat Kota Purwodadi. Sebelum memasuki pusat kota, saya sempat melewati Stasiun Ngrombo yang berada di sebelah kiri jalan. Menurut informasi yang saya peroleh, di stasiun ini lah dulunya terdapat jalur percabangan kereta dengan Stasiun Purwodadi. Dari titik inilah blusukan saya mencari jejak jalur kereta api sepanjang Grobogan – Blora dimulai.

Stasiun Ngrombo

Beranjak dari Stasiun Ngrombo perjalanan saya lanjutkan kearah Simpang Lima Purwodadi. Selama diperjalanan menuju Simpang Lima, saya menemukan beberapa petunjuk mengenai keberaadaan jalur kereta api. Menurut pengamatan saya percabangan jalur kereta dari Stasiun Ngrombo berada di sebelah kiri jalan dan kemudian memotong jalan raya berpindah kesebelah kanan jalan menuju Simpang Lima. Asumsi ini saya dasarkan pada bekas jalur rel kereta api yang berpotongan dengan jalan raya yang saya temukan.
Disepanjang jalur tersebut saya masih menjumpai beberapa potongan besi rel kereta api dan beberapa tiang listrik yang menggunakan besi bekas dari rel kereta. Beberaa patok milik PT. KAI pun juga tertancap dilokasi tersebut. Terus berjalan mengikuti bekas jalur kereta, akhirnya perjalanan saya tiba di lapangan Simpang Lima Purwodadi. Di tengah lapangan Simpang Lima terdapat dua garis lurus sejajar yang terbuat dari semen mengarah kearah Pasar Purwodadi. Menurut informasi yang saya peroleh, sepasang garis tersebut adalah bekas jalur kereta menuju Stasiun Purwodadi yang memang sengaja dibuat sebagai penanda. Perjalananpun kemudian saya lanjutkan mencari keberadaan Stasiun Purwodadi yang menurut informasi berada di area Pasar Purwodadi.

Bekas Jalur Kereta dari Stasiun Ngrombo

Bekas Jalur Kereta Menuju Simpang Lima

            Cukup membingungkan ternyata mencari bekas lokasi Stasiun Purwodadi. Banyaknya percabangan jalan dari Simpang Lima serta jalan searah membuat saya harus tersesat beberapa kali. Bahkan saya harus bertanya kepada beberapa orang warga untuk bisa menemukan lokasi Pasar Purwodadi.
            Selang kemudian saya berhasil menemukan lokasi Pasar Purwodadi. Salah satu tanda yang bisa dijadikan petunjuk mengenai keberadaan bekas Stasiun Purwodadi adalah plang milik PT. KAI yang tertancap di samping jalan raya. Dibelakang plang tersebut terdapat sebuah bangunan besar berkerangka besi yang kini digunakan sebagai terminal angkot. Perkiraan saya, itulah bangunan bekas Stasiun Purwodadi yang saya cari.
Stasiun Purwodadi didirikan pada tahun 1884 oleh SJS atau Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij. Dahulu stasiun ini terhubung dengan jalur menuju Stasiun Ngrombo, Stasiun Godong, dan Stasiun Wirosari. Stasiun ini resmi ditutup pada tahun 1980 karena sepinya penumpang dan kalah bersaing dengan moda transportasi jalan raya. Saat ini kondisi bangunan stasiun masih tampak megah dengan besi-besinya yang masih kokoh.

Bekas Jalur Kereta di Simpang Lima Purwodadi
Sumber: ajarkonmuter.wordpress.com

Perkiraan Stasiun Purwodadi Tempo Dulu
Sumber: kitlv.nl

Bekas Bangunan Stasiun Purwodadi

Beranjak dari Stasiun Purwodadi perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Godong yang masih terletak di Kabupaten Grobogan. Stasiun ini terletak di jalur menuju Kabupaten Demak. Cukup jauh memang jarak antara Stasiun Purwodadi dengan Stasiun Godong. Dulu diantara kedua stasiun tersebut berdiri beberapa halte kereta diantaranya Halte Nglejok, Halte Cekok, dan Halte Mulungan. Menurut informasi yang saya dapatkan semua bangunan halte tersebut kini sudah tidak tersisa karena telah dirobohkan.
            Selama diperjalanan hanya sedikit sisa keberadaan jalur kereta api yang bisa saya temukan. Beberapa jejak tersebut diantaranya adalah gundukan tanah bekas jalur kereta, potongan-potongan rel besi, bantalan kayu rel kereta serta pondasi jembatan kereta. Jalur kereta api dari Stasiun Purwodadi menuju Stasiun Godong terletak disebelah kanan jalan atau disisi utara jalan raya.
Kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya saya tiba di daerah Godong. Disana saya melihat sebuah bekas tiang sinyal kereta api tepat berdiri di depan dealer motor milik warga. Sesampainya di Pasar Godong akhirnya saya berhasil menemukan bekas bangunan stasiun yang kini dimanfaatkan sebagai kios buah. Bangunan asli Stasiun Godong hampir keseluruhannya terbuat dari kayu. Jika kita tidak teliti, mungkin kita tidak akan menyadari jika bangunan kayu yang berada tepat didepan Pasar Godong tersebut adalah bekas bangunan stasiun. Kondisi emplasemen stasiun memang sudah sangat sulit dikenali karena banyaknya penambahan bangunan baru. Dibagian belakang stasiun kini dimanfaatkan sebagai lahan parkir bus antar kota.


Bekas Jalur Kereta Menuju Godong


Bekas Sinyal Masuk Stasiun Godong


Bekas Bangunan Stasiun Godong

Stasiun Godong didirikan oleh SJS atau Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij pada tahun 1888. Stasiun ini dulunya melayani perjalanan kereta api hingga ke Demak. Pada tahun 1987 stasiun ini resmi ditutup oleh pemerintah karena kalah bersaing dengan moda transportasi berbasis jalan raya.
Beranjak dari Stasiun Godong perjalanan saya lanjutkan kembali menuju Simpang Lima Purwodadi. Kali ini perjalanan saya lanjutkan menuju Kabupaten Blora. Menurut beberapa referensi yang saya peroleh, dahulu jalur kereta api yang menghubungkan Purwodadi dan Blora memiliki beberapa bangunan stasiun dan halte, diantaranya adalah: Halte Mayahan, Halte Jono, Halte Ngantru, Halte sambirejo, Stasiun Wirosari, Halte Pengkol, Halte Truwolu, Halte Ngaringan, Halte Ngariang Pasar, Stasiun Kunduran, Halte Brengus, Halte Klokan, Halte Trembul, Stasiun Ngawen, Halte Kembang, Halte Sembong, Halte Tutup, Halte Blora Pasar, dan Stasiun Blora.

Petunjuk Arah Menuju Blora

Tujuan saya selanjutnya adalah menuju Wirosari untuk mencari keberadaan bekas Stasiun Wirosari. Posisi bekas jalur kereta menuju Wirosari tepat berada di sebelah kanan jalan raya. Hal ini cukup menyulitkan saya untuk menemukan bekas jalur kereta karena posisi saya yang berada disebelah kiri jalan raya. Selama perjalanan menuju Wirosari hanya sedikit bekas jalur kereta yang bisa saya temui. Sebagian bekas rel telah hilang dan tertimbun jalan raya akibat pelebaran jalan. Dibeberapa titik saya juga menemukan bekas rel yang dijadikan tiang listrik oleh masyarakat.
Sebelum memasuki wilayah Wirosari saya sempat menemukan bekas rel yang berada tepat di depan Masjid Baiturahman. Bekas rel tersebut masih nampak terlihat jelas. Selain itu dititik tersebut saya juga menjumpai bekas rel yang bercabang dua.   Menurut analisa saya dulunya di area tersebut terdapat sebuah halte pemberhentian kereta karena terdapat dua percabangan jalur kereta seperti yang lazim saya temui dibeberapa halte kereta di Magelang. Didekat percabangan jalur tersebut terdapat sebuah rumah yang saya perkirakan adalah bekas lokasi Halte Sambirejo.


Bekas Rel di Sambirejo

Dari Sambirejo perjalanan saya lanjutkan menuju Wirosari. Sesampainya di daerah Wirosari tepatnya di dekat Pasar Wirosari, saya menjumpai bekas rel kereta bersilangan dengan jalan raya berpindah ke sebelah kiri jalan raya. Rel tersebut  menembus pertokoan disekitar pasar dan masuk ke perkampungan warga. Setelah saya ikuti ternyata rel tersebut mengarah ke Stasiun Wirosari yang terletak tidak jauh dari pasar.
Bangunan Stasiun Wirosari saat ini digunakan sebagai toko bahan bangunan. Bangunan asli stasiun yang didominasi oleh kayu masih bisa saya saksikan meskipun dibeberapa bagian sudah mengalami perubahan. Stasiun ini didirikan oleh SJS atau Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij. Kemungkinan stasiun ini didirikan pada tahun 1894 seiring dengan dibukanya jalur Purwodadi menuju Wirosari. Dahulu stasiun ini melayani perjalanan dari Purwodadi menuju Blora. Distasiun ini pula terdapat percabangan jalur terhubung dengan jalur kereta milik NIS di Kradenan. Seiring berjalannya waktu stasiun ini mulai sepi dan ditinggalkan masyarakat hingga akhirnya ditutup pada tahun 1987.  

Bekas Jalur Kereta Menuju Stasiun Wirosari

Bekas Bangunan Stasiun Wirosari

Beranjak dari Stasiun Wirosari perjalanan saya lanjutkan menuju Kunduran untuk mencari lokasi bekas Stasiun Kunduran. Setelah Stasiun Wirosari posisi rel berubah-ubah. Dibeberapa titik posisi rel berada disebelah kiri jalan dan di beberapa titik posisi rel berpindah disebelah kanan jalan. Hal ini lah yang agak menyulitkan saya dalam mencari jejak jalur kereta. Selain itu ada beberapa titik dimana lokasi bekas jalur kereta masuk ke area persawahan dan perkampungan warga.
            Selama perjalanan menuju Kunduran, saya mulai menemui beberapa pos milik Perhutani dimana ditempat tersebut terdapat banyak kayu gelondongan hasil hutan yang siap dijual. Menurut saya inilah salah satu alasan kenapa jalur kereta ini dahulu dibangun, yaitu untuk mengangkut hasil kayu yang akan dijual ke beberapa wilayah disekitar Purwodadi.
            Beberapa saat saya menemukan sebuah bekas tiang sinyal kereta berdiri di depan pos Perhutani. Tiang sinyal tersebut nampak masih kokoh meskipun kondisinya sudah berkarat. Setelah saya amati ternyata di dekat tiang sinyal tersebut terdapat bekas rel yang bercabang masuk ke area Perhutani. Bekas rel nya masih nampak bagus dengan menyisakan dudukan wesel. Mungkin pada zaman dahulu Perhutani memiliki kereta khusus untuk mengangkut hasil kayu seperti yang terdapat di daerah Cepu Blora dimana terdapat jalur khusus angkutan kayu.

Bekas Tiang Sinyal di Dekat Area Perhutani

Rel Bercabang ke Area Perhutani

Dari area Perhutani tersebut perjalanan saya lanjutkan menuju Kunduran Blora. Posisi jalur kereta berpindah kesebelah kanan jalan raya. Kali ini bekas rel sudah jarang saya temui, yang tersisa hanyalah bekas rel kereta yang digunakan warga sebagai tiang listrik.
            Di beberapa titik sesekali jalur kereta masuk ke perkampungan warga dan ke area persawahan. Selain bekas rel, saya juga menemui beberapa bekas jembatan kereta api melintas dibeberapa sungai yang saya lewati. Meskipun besi penyangga rel sudah tidak ada dan hanya menyisakan pondasi jembatan, akan tetapi saya bisa memprediksi betapa kokohnya jembatan kereta kala itu dengan plengkung khas jembatan buatan Belanda.
Mendekati perbatasan Purwodadi dan Blora saya kembali menemukan bekas rel yang bercabang seperti yang saya temui di area Sambirejo sebelumnya. Bekas rel tersebut terletak disebelah kanan jalan dengan ukuran yang lumayan panjang. Perkiraan saya dulu disekitar area tersebut terdapat sebuah halte pemberhentian kereta. Sayang sekali saya tidak bisa menemukan bangunan yang saya duga sebagai halte karena bangunan disekitar lokasi sudah didominasi bangunan baru.

Bekas Rel di Perbatasan Grobogan dengan Blora

Dari lokasi bekas rel tersebut hanya berjarak kurang lebih 30 meter saya mulai masuk kedalam wilayah Kabupaten Blora. Perjalanan mulai saya percepat untuk mengejar waktu yang kala itu nampak mendung. Kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya saya tiba di wilayah Kunduran. Dulu diwilayah ini terdapat sebuah stasiun bernama Stasiun Kunduran.
Terus berjalan saya mencoba mencari pasar central di Kunduran. Perlu menjadi sebuah acuan, lazimnya pada zaman dahulu stasiun-stasiun yang di bangun oleh Belanda terletak di wilayah sekitar pasar karena pasar merupakan pusat perekonomian warga dan tempat distribusi barang. Tak berapa lama akhirnya saya tiba di Pasar Kunduran. Kondisi pasar sangat ramai kala itu. Disana saya agak kesulitan untuk melacak keberadaan bekas jalur kereta karena telah tertutup oleh bangunan pertokoan disekitar pasar. Akhirnya saya mencoba untuk masuk kesebuah gang yang berada di belakang komplek pasar. Dari bagian belakang pasar terlihat bekas jalur kereta melintas di tengah-tengah pasar.
Terus berjalan akhirnya saya menjumpai sebuah bekas tiang sinyal yang berdiri tepat di rumah seorang warga yang tertutup oleh pohon pisang. Tiang sinyal tersebut sampai saat ini masih dipertahankan. Mungkin sebagai penanda bahwa disana dulu terdapat jalur kereta. Riuhnya suasana pasar membingungkan saya mencari lokasi stasiun. Saya sempat bertanya kepada seorang kakek yang kebetulan melintas di samping pasar. Kakek tersebut mengatakan bahwa bekas stasiun berada dipinggir jalan dekat pasar dan telah berubah menjadi warung makan. Dengan penuh semangat saya segera tancap gas menuju kesana.
Tak berapa lama akhirnya saya berhasil menemukan bekas bangunan Stasiun Kunduran. Bangunannya masih utuh hanya berubah fungsi sebagai warung makan mie ayam. Sebenarnya saat itu sempat berniat untuk makan siang dilokasi bekas Stasiun Kunduran, akan tetapi saya kurang beruntung warung tersebut saat itu tutup. Stasiun Kunduran dibangun oleh SJS pada tahun 1894. Stasiun ini merupakan perpanjangan dari Grobogan menuju Kota Blora. Selain untuk angkutan penumpang, dahulu stasiun ini juga digunakan sebagai sarana distribusi barang. Sepinya jumlah penumpang membuat pemerintah menutup stasiun ini pada tahun 1987.

Bekas Sinyal Masuk Stasiun Kunduran

Bekas Bangunan Stasiun Kunduran

Bekas Rumah Dinas Kepala Stasiun Kunduran

Beranjak meninggalkan Stasiun Kunduran, perjalanan saya lanjutkan menuju Ngawen untuk mencari keberadan Stasiun Ngawen. Cukup jauh perjalanan dari Kunduran hingga Ngawen. Kondisi jalan yang bergelombang menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Tibalah saya di Pasar Ngawen. Kondisi pasar sangat ramai karena bersebelahan dengan Terminal Ngawen. Pasar Ngawen memiliki ukuran yang lebih luas jika dibandingkan dengan Pasar Kunduran. Disini sekali lagi saya menjumpai bekas tiang sinyal tepat berada di depan pasar.
            Saya sempat kebingungan mencari lokasi Stasiun Ngawen karena asumsi saya letak bangunan stasiun berada di pinggir jalan seperti beberapa stasiun sebelumnya. Kebingungan saya berakhir setelah mendapat informasi dari seorang tukang parkir yang memberi informasi kepada saya bahwa lokasi Stasiun Ngawen berada masuk di dalam gang yang ada di depan terminal. Sayapun mengikuti petunjuk dari tukang parkir tersebut dengan masuk kesebuah gang yang ada didepan terminal. Ternyata gang tersebut menuju kesebuah perkampungan warga yang berada dibelakang pasar. Terus berjalan akhirnya saya tiba dipertigaan jalan yang kebetulan saat itu ada beberapa anak kecil yang sedang bermain bola. Tak disangka ternyata bekas bangunan stasiun tepat berdiri disamping kiri saya. 

Bekas Sinyal Masuk Stasiun Ngawen

Bekas Bangunan Stasiun Ngawen

Bentuk bangunan Stasiun Ngawen sendiri sangat mirip dengan bangunan Stasiun Kunduran. Disamping bangunan stasiun berdiri bangunan rumah dinas kepala stasiun yang hingga kini masih digunakan. Kondisi bangunan stasiunpun masih nampak terawat meskipun terlihat sudah tidak terpakai. Yang saya sayangkan adalah saya hanya bisa melihat bagian depan bangunan stasiun saja, karena sisi emplasemen stasiun sudah dikelilingi pagar dan nampak ada beberapa bangunan tambahan baru. Bekas jalur rel pun sudah tidak bisa saya temui karena jalan disekitar bangunan stasiun sudah tertutup paving. Stasiun Ngawen didirikan oleh SJS pada tahun 1894 yang melayani perjalanan hingga ke Blora. Stasiun ini ditutup pada tahun 1987 bersamaan dengan ditutupnya jalur tersebut.
Dari Ngawen perjalanan saya lanjutkan menuju Kota Blora. Selama perjalanan saya menuju Kota Blora saya sudah tidak melihat jejak bekas jalur kereta api lagi. Menurut saya posisi jalur kereta telah berpindah di area persawahan dan perkebunan yang ada disebelah kiri jalan. Selang beberapa waktu akhirnya saya tiba di Kota Blora. Saya agak bingung dengan kondisi Kota Blora, karena ini merupakan kali pertama saya blusukan di Kota Blora.
            Tujuan saya di Kota Blora adalah untuk mencari daerah Tempelan mencari bekas Stasiun Blora yang menurut informasi yang saya peroleh disanalah dulu Stasiun Blora berdiri. Setelah mendapat petunjuk dari warga sekitar akhirnya saya tiba di daerah Tempelan. Terus berjalan akhirnya saya menjumpai bangunan besar berwarna biru yang seluruh bangunanya terbuat dari kayu berdiri kokoh di tengah kota tepat di depan pusat oleh-oleh khas Blora. Ternyata itu adalah bekas bangunan Stasiun Blora. 
            Bangunan Stasiun Blora menurut saya hampir menyerupai bentuk bangunan Stasiun Godong. Bangunan tersebut hampir 100 persen masih asli. Konstruksi bangunan yang terbuat dari kayu dan berarsitek Belanda sangat kontras dengan bangunan sekitar yang bergaya modern. Bangunan stasiun kini dijadikan kios pertokoan. Meskipun bangunan telah dialihfungsikan sebagai kios, namun hal itu tidak merubah bentuk asli bangunan stasiun. Berbeda dengan Stasiun Godong yang bangunan aslinya telah dirubah oleh masyarakat akibat dialihfungsikan.

Bekas Bangunan Stasiun Blora

Stasiun Blora Tempo Dulu
Sumber: priyatmaja.blogspot.com

Didekat stasiun saya juga menjumpai sebuah bangunan kuno yang cukup besar yang menurut saya adalah bangunan dipo lokomotif. Bentuk bangunannya menyerupai bangunan dipo lokomotif yang ada di Stasiun Gundih. Akan tetapi sayang nasib bangunan tersebut tak sebaik nasib bangunan stasiun. Bangunan tampak tak terawat dan rusak. Bangunan dipo nampaknya dimanfaatkan warga sebagai gudang. Stasiun Blora didirikan oleh SJS atau Samarang Joana Stoomtram pada tahun 1894. Dahulu stasiun ini merupakan stasiun terminus atau stasiun terakhir dari arah Wirosari. Akan tetapi pada tahun 1904, SJS memperpanjang jalur dari stasiun ini menuju Rembang dan menuju Cepu. Stasiun Blora resmi ditutup oleh pemerintah pada tahun 1987 karena menurunnya jumlah penumpang yang banyak beralih ke bus dan kendaraan lainnya.


Bekas Bangunan Dipo Stasiun Blora Tampak Samping

Beranjak dari Stasiun Blora perjalanan saya lanjutkan ke arah Jepon untuk mencari keberadaan bekas Stasiun Jepon. Kurang lebih membutuhkan waktu 20 menit perjalanan dari Stasiun Blora menuju Jepon. Selama diperjalanan saya tidak menjumpai bekas jalur kereta. Yang tampak hanyalah patok KAI yang tertancap di sisi kanan jalan. Karena asyiknya mengendarai motor, tanpa sadar ternyata saya telah melewati lokasi stasiun. Saya sempat bertanya kepada seorang kakek di pinggir jalan yang sangat ramah menunjukkan letak Stasiun Jepon kepada saya. Ternyata saya telah melewatkan lokasi stasiun sejauh 1 kilometer. Kakek tersebut menjelaskan bahwa bangunan Stasiun Jepon berdiri persis di depan kantor polisi Jepon. Berbekal informasi dari kakek tersebut sayapun segera tancap gas berputar arah menuju lokasi Stasiun Jepon berada.
            Sesampainya di depan kantor polisi Jepon yang saya lihat hanyalah barisan pertokoan. Ternyata disana ada sebuah barisan komplek toko yang didepannya tertancap plang milik PT. KAI. Setelah saya amati ternyata bangunan toko itulah bekas bangunan Stasiun Jepon. Bentuk bangunan stasiun mirip dengan bangunan Stasiun Ngawen dan Stasiun Kunduran, hanya saja bangunan stasiun sudah sangat berubah sehingga agak sulit untuk mengenalinya.
            Sayapun mencoba melihat sisi belakang bangunan stasiun yang ternyata tepat berada di pinggir sungai. Bangunaan dinding stasiun dibeberapa titik sudah dimodifikasi seperti menghilangkan jendela dan pintu stasiun. Bekas emplasemen stasiunpun sekarang sudah tertutup tanah. Tak ada bekas rel yang terlihat di sekitar bekas bangunan stasiun.

Emplasemen Stasiun Jepon

 Stasiun Jepon dibangun oleh SJS dimana pembangunan stasiun ini bebarengan dengan pembangunan jalur perpanjangan dari Stasiun Blora kurang lebih pada tahun 1904. Stasiun ini juga terhubung dengan Stasiun Cepu. Akan tetapi pada tahun 1987 jalur menuju Cepu dan Rembang di tutup oleh pemerintah karena jumlah penumpang yang menurun. Penutupan jalur kereta api disepanjang rute Godong Purwodadi hingga Jepon Blora sebenarnya disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah: letak jalur kereta yang berada dipinggir jalan raya sehingga sering menimbulkan kecelakaan, laju kereta api yang dianggap lambat karena masih menggunakan kereta uap dan kereta lokomotif jenis D300 atau D301 yang saat ini hanya digunakan untuk langsiran, dan penumpang yang beralih ke moda transportasi lain sehingga jumlah penumpang yang menurun drastis.

Bagian Belakang Stasiun Jepon

Dengan sampainya saya di bekas Stasiun Jepon, berakhir pula perjalanan blusukan saya menyusuri jejak jalur kereta api lintas Purwodadi - Blora. Kurang lebih pukul setengah satu siang saya beranjak pergi meninggalkan Stasiun Jepon kembali menuju Kota Solo. Perjalanan kali ini tentu saja masih menyisakan beberapa misteri yang perlu ditelaah lebih lanjut. Harapan saya kepada pemerintah semoga bisa merawat peninggalan dari Samarang Joana Stoomtram ini dengan baik. “Kita tidak membuat, tapi kita mewarisi”. Sudah selayaknya peninggalan yang “mahal” ini harus kita jaga dengan sebaik-baiknya.
            Kurang lebih pukul setengah lima sore akhirnya saya tiba di Kota Solo dengan selamat meskipun sempat basah kuyup akibat diguyur hujan diwilayah Gundih. Banyak kenangan yang tersisa. Harapan saya, semoga dilain kesempatan saya bisa meneruskan blusukan saya hingga ke Kota Cepu dimana disana juga terdapat banyak peninggalan kereta api milik Samarang Joana Stoomtram.

_______________________________________________
_______________________________________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama