Sabtu, 10 Juni 2017

JOGJAKARTA - SEWUGALUR KULONPROGO

JEJAK STASIUN MATI DI YOGYAKARTA

            Bulan puasa adalah bulan yang penuh berkah. Apalagi jika setiap aktivitas yang kita lakukan memiliki manfaat dan faedah, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Salah satu aktivitas positif dan bermanfaat yang bisa dilakukan di bulan puasa adalah blusukan. Blusukan disini bukanlah blusukan di rumah makan maupun dirumah orang, melainkan blusukan stasiun-stasiun mati dijalur terlantar tak bertuan. Selain menambah ilmu, aktivitas ini juga ampuh menambah iman kita kepada Allah SWT. Insha Allah.
            Dalam tulisan saya kali ini, saya akan membahas mengenai stasiun-stasiun mati di Yogyakarta. Stasiun yang akan saya bahas disini adalah stasiun yang memang sudah lama tidak digunakan alias mati karena ditutupnya layanan perjalanan kereta dijalur tersebut. Di Propinsi Yogyakarta sendiri sebenarnya banyak terdapat jalur kereta api non aktif. Jalur non aktif tersebut dapat saya bagi menjadi dua, yakni jalur yang berada disebelah selatan Stasiun Yogyakarta dan jalur yang berada disebelah utara Stasiun Yogyakarta. Dalam artikel ini saya hanya akan membahas mengenai stasiun-stasiun mati yang tersebar di selatan Stasiun Yogyakarta.
            Sebagai sebuah wilayah yang menjadi salah satu pusat pemerintahan di Jawa, Yogyakarta merupakan wilayah yang cukup ramai dan sibuk dimasanya. Selain sebagai pusat pemerintahan, Yogyakarta juga banyak memiliki potensi alam yang melimpah ruah. Hal inilah yang banyak menimbulkan eksplorasi kekayaan alam di wilayah Yogyakarta. Salah satu bukti aktivitas eksplorasi di wilayah Yogyakarta adalah banyak bermunculnya pabrik gula diwilayah ini.
            Tercatat pernah terdapat 17 pabrik gula diwilayah Yogyakarta yang tersebar mulai dari wilayah Sleman, Yogyakarta, Bantul hingga Kulon Progo. Banyaknya jumlah pabrik gula ini menjadi salah satu alasan dibukanya jalur kereta api kebeberapa wilayah di Yogyakarta guna mendukung aktivitas pabrik gula.
            Jalur kereta api di wilayah pesisir selatan Yogyakarta, terbagi kedalam dua cabang, yakni Yogyakarta – Pundong dan Yogyakarta – Sewugalur. Stasiun dan halte yang pernah berdiri di petak Yogyakarta – Pundong diantaranya adalah:
Stasiun / Halte
Keterangan
1.      Yogyakarta
2.      Ngabean (Cabang ke Palbapang)
3.      Timuran
4.      Sidikan
5.      Pasargede
6.      Kuncen
7.      Bintaran (Cabang ke PG Kedaton Pleret)
8.      Wonokromo
9.      Ngentak
10.  Jetis
11.  Barongan (Cabang ke PG Barongan)
12.  Patalan
13.  Pundong (Cabang ke PG Pundong)
Jalur kereta api dan Stasiun di bongkar Jepang
           
            Jalur kereta api diatas bercabang di Halte Ngabean yang terletak di sebelah selatan Stasiun Yogyakarta. Selain sebagai angkutan penumpang, jalur tersebut juga ditujukan sebagai angkutan hasil industri gula. Saat dunia mengalami krisis malaise dimana berimbas pada perekonomian dunia, banyak harga komoditi perdagangan yang anjlok. Gula sebagai salah satu komoditi unggulan waktu itu juga tak luput terkena imbasnya.
            Akibat dari krisis ini, pada dekade 1930-an, banyak pabrik gula yang ditutup karena bangkrut yang diakibatkan anjloknya harga jual gula dipasaran. Pada waktu itu jalur kereta yang biasa digunakan untuk angkutan industri gula perlahan-lahan mulai surut. Nasib tragis jalur kereta menuju Pundong ini terjadi pada tahun 1942 saat Jepang mulai masuk kewilayah Indonesia. Akibat tingginya kebutuhan besi untuk mendukung peralatan perang Jepang, jalur kereta api dari Ngabean menuju Pundongpun habis dipreteli oleh tentara Jepang. Tak tanggung-tanggung, seluruh bangunan stasiun berikut alat-alat pendukung perkeretaapianpun juga dihancurkan tanpa sisa. Kini tak banyak bekas yang bisa ditemukan dipetak ini. Hanya beberapa gundukan tanah diarea persawahan saja yang menjadi bukti mengenai keberadaan jalur kereta diwilayah tersebut.
            Nasib baik kiranya masih berpihak pada jalur kereta menuju Palbapang. Jalur ini luput dari pempretelan tentara Jepang. Hanya jalur dari Palbapang hingga Sewugalur saja yang dipreteli oleh Jepang karena pabrik gula diwilayah tersebut sudah banyak yang bangkrut.
            Jalur dari Yogyakarta menuju Sewugalur dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama yakni Yogyakarta – Srandakan sejauh 23 kilometer yang mulai dioperasikan pada tahun 1895. Sedangkan tahap kedua Srandakan – Brosot sejauh 2 kilometer yang mulai dioperasikan pada tahun 1915 yang dilanjutkan pembangunan jalur hingga ke Sewugalur. Stasiun dan Halte di petak ini diantaranya adalah:

Stasiun / Halte
Keterangan
1.      Yogyakarta
2.      Ngabean (Cabang ke Pundong)
3.      Dongkelan
4.      Winongo (Cabang ke PG Madukismo)
5.      Cepit
6.      Bantul (Cabang ke PG Bantul)
7.      Palbapang
8.      Bajang (Cabang ke PG Gesikan)
9.      Batikan 
10.  Pekojan
11.  Mangiran
12.  Srandakan
13.  Brosot
14.  Pasar Kranggan
15.  Sewugalur (ke PG Sewugalur)





Bangunan sudah hilang

Dihancurkan Jepang 
Dihancurkan Jepang
Dihancurkan Jepang
Dihancurkan Jepang
Dihancurkan Jepang
Dihancurkan Jepang
Dihancurkan Jepang
Dihancurkan Jepang
Dihancurkan Jepang

Peta Jalur Kereta di Yogyakarta
Sumber: kitlv.nl
           
Berhubung bekas stasiun yang masih tersisa hanya dipetak Jogja – Palbapang saja, maka penelusuran saya kali ini hanya berada dipetak tersebut. Sebenarnya dua tahun yang lalu saya sudah pernah menelusuri bekas jalur kereta dipetak ini. Namun pada penelusuran saya kali ini akan saya memperpanjang hingga Sewugalur Kulonprogo guna mencari puing-puing bekas pabrik gula yang banyak menyimpan sejarah dan misteri.
Penelusuran pertama saya kali ini saya awali menuju Stasiun Ngabean. Lokasi stasiun ini tidaklah sulit dicari karena berada tepat disamping jalan raya. Stasiun Ngabean terletak Notoprajan Ngampilan Yogyakarta atau di Jalan Kyai Haji Wahid Hasyim. Jika kita menggunakan transportasi umum seperti Trans Jogja kita bisa turun di Halte Ngabean yang berada persis disamping bekas Stasiun Ngabean ini. Kini bekas bangunan Stasiun Ngabean dimanfaatkan sebagai kantor angkutan wisata “siTole”.
Stasiun Ngabean adalah satu-satumya stasiun di petak Ngabean – Palbapang yang bangunannya masih asli. Ornamen bangunan khas Hindia Belanda masih sangat terasa di stasiun ini. Dibagian emplasemen stasiun, kita masih bisa menjumpai bekas jalur kereta menuju Bantul. Beberapa bekas roda kereta apipun juga masih ada disana.
Dahulu di Stasiun Ngabean terdiri dari dua jalur memanjang. Jalur tersebut kemudian bercabang menuju Pundong dan Sewugalur. Selain bangunannya yang unik, Stasiun Ngabean adalah satu-satunya stasiun non aktif dipetak Jogja – Bantul yang masih menyisakan tiang sinyal. Tak kurang ada tiga tiang sinyal yang masih tersisa. Tahun 1973 adalah tahun terakhir stasiun ini beroperasi. Sepinya jumlah penumpang dan banyaknya moda transportasi jalan raya membuat kereta api dijalur ini kalah bersaing.

Percabangan Jalur Kereta Api Yogyakarta – Bantul
Sumber: kitlv.nl

Lokasi Halte Ngabean dan Percabangan Menuju Kota Gede dan Pundong
Sumber: kitlv.nl

Bangunan Halte Ngabean

Emplasemen Halte Ngabean

Bekas Roda Kereta Api di Emplasemen Stasiun Ngabean

Bekas Tiang Sinyal Sebelum Halte Ngabean

Bekas Tiang Sinyal Halte Ngabean Didepan Kecamatan Ngampilan

Bekas Tiang Sinyal Halte Ngabean Dipekarangan Warga

            Beranjak meninggalkan Stasiun Ngabean perjalanan saya lanjutkan menuju Halte Dongkelan. Halte ini terletak di Gedungkiwo Mantrijeron Yogyakarta atau tepatnya berada di Jalan Bantul depan Pasty. Bangunan Halte ini sebenarnya merupakan replika karena bangunan yang asli telah ludes terbakar. Perkiraan saya bangunan Halte Dongkelan jaman dahulu terbuat dari material kayu. kini bangunan Halte Dongkelan digunakan sebagai rumah makan. 

Lokasi Halte Dongkelan
Sumber: kitlv.nl

Replika Halte Dongkelan

            Selama penelusuran saya di Jalan Bantul, bekas besi rel kereta api sebenarnya masih banyak yang bisa dijumpai meskipun kondisinya sudah tidak utuh lagi. Beberapa besi tersebut ada yang tertutup aspal jalan raya. Meskipun demikian bekas jejak kereta api dipetak tersebut masih bisa dikatakan banyak.
            Perjalanan saya berlanjut menuju Halte Winongo. Jarak antara Halte Dongkelan dan Halte Winongo bisa dikatakan lumayan jauh. Tidak seperti halte-halte yang lain, Halte Winongo memiliki posisi yang unik yakni berada ditengah perkampungan warga. Selain itu, halte ini juga memiliki percabangan menuju Pabrik Gula Padokan atau Madukismo.
            Halte Winongo terletak di Desa Tirtonirmolo Kasian Bantul. Halte ini dibuka pada tahun 1895 dan ditutup pada tahun 1973. Selain ramai melayani penumpang, jaman dahulu halte ini juga ramai oleh aktivitas kereta yang mengangkut hasil gula dari Pabrik Gula Padokan yang hendak dikirim ke pelabuhan. Bangunan halte yang ada sekarang ini merupakan rombakan pada masa Djawatan Kereta Api. Meskipun bangunan halte sedikit mengalami perubahan, namun kondisi bangunan halte sendiri masih bisa dikatakan baik. Halte ini pernah mengalami kerusakan saat gempa bumi melanda Bantul pada tahun 2006 silam. Halte Winongo sendiri juga memiliki fasilitas rumah dinas untuk pegawainya yang kini menjadi hak milik PG Madukismo. Kini bangunan Halte Winongo digunakan sebagai balai pertemuan warga.
            Sebelum menuju Halte Winongo dari arah Yogyakarta, kita akan menyeberangi Sungai Winongo yang cukup lebar. Diatas sungai ini masih menyisakan bekas jembatan kereta api yang kini dimanfaatkan warga sebagai jembatan penyeberangan. Akan tetapi hanya sepeda motor yang bisa melintas, itupun harus satu-persatu dan berhati-hati.

Lokasi Halte Winongo dan Jalur Percabangan Menuju PG Padokan
Sumber: kitlv.nl

Jalur Kereta di PG Padokan
Sumber: kitlv.nl

Bekas Jalur Kereta Menuju Halte Winongo


Bekas Jembatan Kereta Diatas Sungai Winongo


Bekas Percabangan Jalur Menuju PG Padokan

Sinyal Tebeng yang Tersisa Sebelum Masuk PG Padokan

Bekas Bangunan Halte Winongo

            Saat menapaki Halte Winongo ini sebenarnya saya juga melakukan penelusuran di percabangan jalur kereta menuju Pabrik Gula Madukismo. Akan tetapi penelusuran saya tersebut saya ulas secara terpisah dan telah saya unggah pada postingan sebelumnya.
            Lanjut perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Bantul. Sebenarnya sebelum Stasiun Bantul ada satu halte yang dulu pernah berdiri, yakni Halte Cepit. Lokasi halte tersebut tepat berada di pertigaan Cepit. Akan tetapi sayang, bangunan halte tersebut kini sudah tidak bersisa sama sekali.

Lokasi Pemberhentian Cepit
Sumber: kitlv.nl

            Siang bolong akhirnya saya mulai memasuki pusat Kota Bantul. Sebelum memasuki kota, saya masih banyak menjumpai bekas besi rel yang tersisa berada tepat disebelah kanan jalan. Sedangkan untuk didalam Kota Bantul sendiri, bekas jalur kereta sudah tidak bisa kita jumpai sama sekali. Hal ini dikarenakan dibekas jalur tersebut telah ditutup aspal jalan.
            Lokasi Stasiun Bantul sendiri berada tak jauh dari pasar kota. Posisinya berada tepat disamping jalan raya. Bentuk bangunan Stasiun Bantul mirip dengan Halte Winongo yang bercorak bangunan stasiun era DKA. Kini bekas bangunan Stasiun Bantul digunakan untuk usaha bengkel dan rumah makan.
            Tak beda jauh dengan Halte Winongo, Stasiun Bantul pada jaman dahulu juga terhubung dengan pabrik gula yakni PG Bantul. Lokasi pabrik gulanya sendiri berada tak jauh dari lokasi stasiun. Waktu itu saya sempat menyusuri bekas lokasi PG Bantul, akan tetapi sayang saya tidak berhasil menemukan sisa-sisa bangunannya.
            PG Bantul sendiri merupakan salah satu dari tujuh belas pabrik gula yang pernah berdiri di Yogyakarya. Saya kurang tahu alasan hancurnya PG Bantul apakah dikarenakan krisis malaise pada dekade 1930an atau hancur karena perang agresi militer Belanda, yang jelas dibekas lokasi Pabrik Gula Bantul tersebut tak menyisakan sedikitpun jejak keberadaan pabrik gula.

Lokasi Halte Bantul dan Percabangan Jalur Menuju SF Bantul
Sumber: kitlv.nl

Bagian Belakang Stasiun Bantul

Bagian Depan Stasiun Bantul

Aktivitas Kereta di SF Bantul
Sumber: kitlv.nl

            Cuaca kala itu begitu terik. Apalagi Bantul merupakan kawasan pesisir yang membuat hawa panas terasa berlipat ganda jika dibandingkan wilayah lain. Haus dahagapun sangat menggangu tenggorokan. Perjalananpun segera saya lanjutkan menuju Stasiun Palbapang.
            Jarak antara Stasiun Bantul dan Stasiun Palbapang tidaklah begitu jauh. Kurang lebih 15 menit perjalanan saya telah tiba di Stasiun Palbapang. Lokasi stasiun ini berada tepat disamping jalan raya menuju Kulonprogo. Tak jauh beda dengan bangunan stasiun-stasiun sebelumnya, Stasiun Palbapang memiliki model bangunan era DKA. Akan tetapi bedanya bangunan Stasiun Palbapang memiliki ukuran yang lebih panjang jika dibandingkan dengan Halte Winongo dan Stasiun Bantul.
            Stasiun Palbapang sendiri sebenarnya pernah mengalami perombakan pada 20 Juli 1990. Hal ini dikarenakan lokasi stasiun yang dialihfungsikan menjadi terminal bus. Bangunan Stasiun Palbapang sendiri kini dijadikan kantor Terminal Palbapang. Bangunanya masih asri dan terawat. Dibekas emplasemen stasiun yang kini telah dirubah menjadi taman, ada beberapa alat perkeretaapian yang dipajang disana yang dijadikan monumen.
            Bekas rel di stasiun ini sudah tidak bisa dijumpai lagi. Akan tetapi disebelah selatan stasiun masih banyak tersisa bekas besi rel dari arah Bantul yang berada dipekarangan warga. Selain bangunan utama stasiun, kita juga masih bisa menjumpai bekas bangunan rumah dinas pegawai stasiun. Menurut catatan yang ada, dahulu lebar gauge di stasiun ini memakai lebar 1435 mm sebelum diubah menjadi gauge 1067 mm pada masa pendudukan Jepang.

Lokasi Halte Palbapang
Sumber: kitlv.nl

Stasiun Palbapang 1896
Sumber: kitlv. nl

Bagian Depan Stasiun Palbapang


Emplasemen Stasiun Palbapang


Monumen di Halaman Stasiun Palbapang

            Selesainya saya mengulik bekas Stasiun Palbapang, maka selesai pula penelusuran saya mengenai stasiun mati di petak Ngabean – Palbapang. Selanjutnya penelusuran akan saya lanjutkan dibekas jalur kereta Palbapang – Sewugalur. Akan tetapi pada penelusuran saya kali ini saya akan lebih menekankan pada bekas-bekas pabrik gula yang pernah ada dipetak tersebut.  
            Salah satu motif Belanda membangun jalur kereta api di petak Palbapang – Sewugalur adalah guna mendukung aktivitas industri gula di wilayah tersebut. Tercatat pernah ada dua pabrik gula antara Palbapang hingga Sewugalur, yakni PG Gesikan dan PG Sewugalur. Kedua pabrik gula tersebut merupakan dua dari tujuh belas pabrik gula yang pernah berdiri diwilayah Yogyakarta.
            Menurut catatan yang saya peroleh Pabrik Gula Gesikan dan Pabrik Gula Sewugalur memang telah lama hancur. Saya kurang tahu pasti alasan apa yang menyebabkan pabrik gula tersebut hancur. Akan tetapi menurut perkiraan saya, kedua pabrik gula tersebut lenyap akibat bangkrut saat terjadi krisis malaise pada dekade 1930an. Hal ini saya dasarkan pada dicabutnya jalur kereta api menuju dua pabrik gula tersebut oleh Jepang pada tahun 1942-1943 untuk dipindah ke Bayah yang mengindikasikan bahwa pada tahun tersebut memang sudah tidak ada aktivitas dikedua pabrik gula tersebut. Akan tetapi ini hanya sebatas asumsi saya semata.
            Perjalanan saya mulai menelusuri jalan Bantul – Kulonprogo. Kali ini tujuan pertama saya adalah mencari bekas Pabrik Gula Gesikan. Jalur kereta PG Gesikan merupakan percabangan dari Halte Bajang. Jika dilihat dari peta Belanda, sebenarnya bekas jalur kereta menuju Sewugalur terletak berdampingan dengan jalan raya. Posisinya sebagian besar berada di kiri jalan.
            Disebuah pertigaan jalan yang tak jauh dari Stasiun Palbapang, saya ambil arah ke kanan. Jalan tersebut dulunya merupakan percabangan jalur kearah PG Gesikan. Kurang lebih 500 meter dari jalan raya, akhirnya saya tiba dibekas lokasi PG Gesikan. Pertama saya masih ragu apakah benar tanah lapang didepan saya ini dulunya merupakan bekas pabrik gula. Sembari mencermati peta yang saya bawa, sayapun berkeliling mengitari tanah lapang yang cukup luas tersebut.
            Semak belukar disisi selatan lapanganpun tak luput dari pengamatan saya. Akhirnya saya mulai menemukan petunjuk. Saya menemukan sebuah bongkahan pondasi bangunan yang cukup besar tertutup oleh rerimbunan pohon. Saya semakin yakin bahwa lokasi ini memang benar bekas dari Pabrik Gula Gesikan. Karena semakin penasaran saya mencoba mengitari semak belukar yang ada diarea tersebut. Beberapa bekas pondasi rendah juga sempat saya jumpai.
            Meskipun dibekas lokasi pabrik tersebut sudah tidak ada bekas bangunan yang tersisa, namun bekas bongkahan pondasi besar tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa dahulunya dilokasi tersebut memang pernah berdiri sebuah pabrik gula. Hal inipun juga didukung dengan peta PG Gesikan yang persis menunjukkan lokasi tersebut.

Lokasi PG Gesikan
Sumber: kitlv.nl

Bekas Lokasi Pabrik Gula Gesikan





Bekas Reruntuhan Pabrik Gula Gesikan


Bekas Area Sekitar Pabrik

            Berhubung saya tidak menemukan bangunan yang utuh di bekas lokasi Pabrik Gula Gesikan, perjalananpun saya lanjutkan kembali. Dengan sedikit menambah kecepatan, perjalanan saya lanjutkan menuju Sewugalur Kulonprogo. Cukup jauh memang perjalanan saya menuju Kulonprogo. Perlu diketahui bahwa Pabrik Gula Sewugalur adalah satu-satunya pabrik gula yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Kulonprogo.
            Berdasarkan informasi yang saya peroleh, di lokasi pabrik gula tersebut masih banyak peninggalan yang bisa kita saksikan. Kurang lebih 20 menit perjalanan, akhirnya tiba juga saya di Galur. Siang itu suasana kampung sepi. Tak banyak aktivitas yang terlihat. Mungkin karena siang yang sangat terik, sehingga warga lebih memilih untuk tinggal dirumah. Dari Pasar Galur perjalanan saya teruskan masuk kedalam sebuah kampung. Awalnya tidak ada yang aneh dengan perkampungan disana hingga saya tiba disebuah perkampungan kecil di tengah desa. Wow akhirnya saya tiba juga di bekas Pabrik Gula Sewugalur.
            Saya langsung bisa menduga bahwa kampung tersebut dahulu merupakan bekas komplek pabrik gula. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya bangunan Belanda yang berdiri diare tersebut. Disepanjang jalan masih banyak saya jumpai rumah-rumah tua bergaya Belanda yang mendominasi kampung. Warga sekitar ada yang menyebutnya “Benteng”. Selain mencari bekas lokasi Pabrik Gula Sewugalur, sebenarnya saya juga mencari komplek makam Belanda  atau Kerkof yang berada disana.
            Setelah bertanya pada beberapa orang warga yang ternyata juga tidak tahu mengenai keberadaan Kerkof dikampung mereka, akhirnya saya memperoleh petunjuk dari seorang nenek renta yang saya jumpai dipinggir jalan. Nenek tersebut menunjukkan bahwa lokasi makam berada di sudut sawah didekat kebun warga.
            Melalui petunjuk si nenek akhirnya saya berhasil menemukan makam tersebut. Tak mudah ternyata jalan menuju makam tersebut. Suasananya gelap dan sepi, bahkan banyak semak belukar yang menutupi area makam. Maklum saja, makam tersebut merupakan makam kuno tak bertuan yang sudah tidak terawat. Bahkan masayarakat sekitarpun banyak yang tak tahu kalau didesa mereka terdapat makam Belanda.
            Dilokasi makam tersebut terdapat beberapa makam yang ukurannya tidak terlalu besar. Nisan yang terbuat dari marmerpun juga tampak masih merekat di bangunan kuburnya meskipun tidak utuh. Perkiraan saya orang yang dimakamkan disini adalah kerabat keluarga dari pegawai Belanda di Pabrik Gula Sewugalur.
            Melalui makam ini saya bisa mengambil beberapa pelajaran yakni bahwa semua manusia pasti akan mati. Berapapun harta kita didunia dan apapun pangkat kita didunia pasti akan kita tinggal jika kita telah mati. Bahkan waktu pula yang akan mencampakan kita. Saya bisa melihat betapa mengenaskannya kondisi makam tersebut seolah-olah tak memiliki nilai. Padahal mungkin dulu orang yang dimakamkan di area tersebut adalah orang terpandang, akan tetapi semua itu seolah tak bisa memberi manfaat sedikitpun. Semua lenyap oleh waktu. Hanya waktulah yang abadi.

Lokasi Pabrik Gula Sewugalur dan Halte Sewugalur
Sumber: kitlv.nl

Bekas Lokasi Pabrik Gula Sewugalur








Bekas Bangunan Rumah Belanda di PG Sewugalur

Makam Belanda di Sewugalur

Foto Jembatan Kereta Api di Kali Progo Kulonprogo 1896
Sumber: kitlv.nl

            Akhirnya selesai sudah penelusuran saya di Kulonprogo. Capek tapi seru. Banyak hal baru yang saya temui selama diperjalanan. Selain itu saya juga sempat berkenalan dengan beberapa orang warga di Sewugalur yang cukup ramah dan banyak memberikan cerita dan informasi sejarah kepada saya. Alhamdulilah tambah pengalaman tambah paseduluran, begitulah kiranya. Semoga dilain kesempatan bisa blusukan di lokasi lain yang lebih seru tentunya.

PRIMA UTAMA / 2017 / WA: 085725571790 / MAIL, FB : primautama@ymail.com / INSTA: @primautama

LINK:













































5 komentar:

  1. Wah keren bang klo gak salah yang di PG sewugalur itu di daerah pandowan ya mas?
    Soalnya klo kata warga sekitar, dulu pasarnya itu sebagai stasiunya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau daerah pandowan saya kurang tahu. Soale saya tahunya daerah galur gitu. Disekitar sana dl ada 2 pemberhentian kereta yaitu stopplast pasar yg lokasinya berada didepan pasar galur kurang lebihnya dan halte galur yg berada didekat pg sewu galur yg sekarang berada disekitar SMP 2 GALUR kurang lebihnya.

      Diartikel saya ada petanya diatas. Coba perhatikan bagian bawah kiri dengan tulisan S PASAR dan H SEWUGALUR. it dl merupakan tmpt kereta berhenti

      Hapus
  2. Oiya mas, di depan pasar brosot tepatnya di smp 1 galur, itu ada sumur gede tua. Kata warga sekitar itu buat "ngedusi sepur".
    Sekalian nanya, tugu pertigaan brosot itu bangunan belanda bukan 😁

    BalasHapus
  3. Mungkin kita mempunyai pemikiran yg sama, saya suka sejarah dan peradapan masa lampau yg membuat penasaran, oya stasiun Srandakan letaknya dmana ya

    BalasHapus