JALUR MATI JOGJA-PALBAPANG: NASIBMU
KINI
Berbicara mengenai Kota Jogjakarta pasti tidak
akan pernah ada habisnya, apalagi jika dikaitkan dengan sejarah, budaya dan
peninggalan-peninggalan masa lalunya. Salah satu sejarah yang yang menarik
untuk digali di kota ini adalah sejarah keberadaan alat transportasi kereta api
yang sudah ada sejak era kolonialisme. Predikat Jogja sebagai kota perdagangan
dan pusat pemerintah pada masanya membuat Pemerintah Hindia Belanda membangun
jaringan transportasi berbasis kereta api di kota tersebut. Tercatat ada
beberapa jalur kereta api yang terhubung ke Jogjakarta, yakni:
Magelang-Jogjakarta, Solo-Jogjakarta, Purworejo-Jogjakarta,
Sewugalur-Jogjakarta, dan Pundong– Ngabean -Jogjakarta. Semua jalur tersebut
dibangun sebagai sarana distribusi perdagangan dan hasil industri serta
mobilitas masyarakat pada masanya.
Pada kesempatan kali ini saya
berkesempatan untuk menjelajahi peninggalan kereta api di Kota Jogjakarta,
khususnya jalur kereta api sepanjang Jogja hingga Palbapang Bantul.Jika melihat
sejarahnya, jalur Jogja – Bantul-Sewugalur Kulon Progo dimulai pembangunannya
secara bertahap pada tahun 1895 dan pada tahun 1915 oleh perusahaan swasta
kereta api Hindia Belanda NIS. Pembangunan jalur ini selain untuk transportasi
masyarakat juga ditujukan untuk angkutan komoditi pertanian dan angkutan pabrik
gula yang pada kala itu banyak bermunculan diwilayah Jogjakarta. Seiring
berjalannya waktu dan masuknya Jepang di Indonesia, banyak jalur kereta api di
wilayah Jogjakarta yang di preteli oleh pemerintah Jepang untuk dipindah ke
daerah lain seperti di Saketi, Bayah dan Burma yang mengambil jalur kereta dari
Ngabean – Pundong dan Palbapang – Sewugalur.
Setelah Indonesia merdeka, jalur
kereta api dari Jogjakarta hingga Palbapang masih digunakan untuk angkutan
penumpang oleh masyarakat. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan
berkembangnya moda transportasi jalan raya, kereta api mulai ditinggalkan oleh
masyarakat karena kecepatannya yang lambat dan kurang fleksibel. Akhirnya pada
tahun 1973 jalur kereta api dari Jogjakarta menuju Palbapang resmi ditutup oleh
pemerintah karena menurunnya jumlah okupansi penumpang. Kini sisa-sisa
infrastruktur kereta api dijalur tersebut masih bisa kita saksikan meskipun
dengan kondisi yang memprihatinkan.
Peta Jalur
Kereta di Bantul dan Kotagede Tahun 1921
Sumber: kitlv.nl
Stasiun Tugu
Yogyakarta Tahun 1890
Sumber: kitlv.nl
Blusukan saya kali ini saya lakukan
pada hari Kamis tanggal 14 Mei 2015 bertepatan dengan hari libur nasional. Saya
mulai berangkat dari Kota Solo kurang lebih pukul setengah tujuh pagi. Kurang
lebih satu setengah jam perjalanan, akhirnya perjalanan saya tiba di Kota Jogjakarta.
Blusukan saya di Jogja kali ini sebenarnya akan saya bagi kedalam tiga tahap,
yaitu: tahap pertama dari Jogja hingga Palbapang, tahap kedua dari Palbapang
hingga Sewugalur, dan tahap ketiga dari Ngabean hingga Pundong. Akan tetapi
karena terbatasnya waktu dan berdasarkan informasi yang saya peroleh bahwa
bekas jalur kereta yang masih tersisa hanyalah di petak Jogja-Palbapang, maka
saya hanya melakukan blusukan di jalur tersebut saja.
Sebagai informasi ada beberapa jalur
non aktif kereta api yang ada di Jogjakarta. Jalur pertama adalah jalur dari
Kota Jogjakarta hingga Palbapang Bantul. Dijalur ini terdapat beberapa stasiun terhubung
diantaranya adalah: Stasiun Tugu – Stasiun Ngabean – Stasiun Dongkelan –
Stasiun Winongo – Stasiun/Halte Cepit – Stasiun Bantul – Stasiun Palbapang.
Jalur kedua adalah percabangan dari Ngabean hingga Pundong. Dijalur ini
terdapat beberapa stasiun terhubung diantaranya adalah: Stasiun Ngabean –
Stasiun Timuran – Halte Sidikan – Stasiun Pasar Gede/Basen – Halte Kuncen –
Halte Bintaran – Halte Wonokromo – Halte Ngentak – Halte Jetis – Halte Barongan
– Halte Patalan – Stasiun Pundong. Untuk jalur ini sudah tidak bersisa karena
pada masa pendudukan Jepang telah dipreteli untuk dibangaun diwilayah lain.
Yang tersisa kini hanyalah beberapa pondasi jembatan dan bekas jalur keretanya
saja.Jalur ketiga atau yang terakhir adalah dari Palbapang hingga Sewugalur di
Kulon Progo. Di jalur ini terdapat beberapa stasiun terhubung diantaranya
adalah: Stasiun Palbapang – Stasiun Bajang - Stasiun Batikan – Stasiun Pekoja –
Stasiun Mangiran – Stasiun Srandakan – Stasiun Brosot – Stasiun Pasar Kranggan
– Stasiun Sewugalur. Nasib jalur ini sama seperti jalur Ngabean-Pundong yang
dipreteli oleh pemerintah Jepang.
Tujuan
saya yang pertamadalam blusukan kali ini adalah Stasiun Tugu atau Stasiun
Jogjakarta sebagai titik strart yang
merupakan titik percabangan jalur kereta api menuju Ngabean. Disekitar area
Stasiun Tugu, saya sudah tidak bisa menemukan bekas percabangan jalur kereta
menuju Stasiun Ngabean.Perkiraan saya, bekas rel telah terkubur oleh aspal
jalan raya karena menurut peta yang saya peroleh jalur tersebut berada di
pinggir jalan.
Bergerak
meninggalkan area Stasiun Tugu, saya menuju Jalan Letjen Suprapto sambil
berjalan pelan. Disini awalnya saya tidak mejumpai hal-hal yang berbau dengan
kereta api. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti sejenak sambil memperhatikan
lingkungan sekitar.Tak disengaja, disamping saya ternyata ada bekas tiang
listrik yang menggunakan bekas rel kereta yang berdiri kokoh didepan SD Gedong
Tengen.
Tiang
Listrik dari Bekas Rel Kereta di Jalan Letjen Soeprapto
Saya
pun kembali melanjutkan perjalanan dengan pelan-pelan siapa tahu akan menemukan
petunjuk berikutnya. Beberapa meter bergerak saya menjumpai patok kecil dari
potongan rel kereta api yang tertancap di mulut gang. Semakin penasaran,
perjalanan saya lanjutkan.Tepat didepan sebuah bengkel saya menjumpai sebuah
tiang sinyal masuk stasiun yang masih tertancap di trotoar pinggir
jalan.Kondisi tiang sinyal sendiri tidak begitu terlihat karena tertutup oleh
rimbunnya pepohonan yang berdiri disampingnya.
Tiang
sinyal ini terletak tidak jauh dari perempatan Ngabean.Dugaan saya bahwa
Stasiun Ngabean sudah tidak jauh lagi.Sayapun segera tancap gas menuju Stasiun
Ngabean.Sesampainya di Ngabean saya agak bingung karena ada sebuah bangunan
tempat parkir bertingkat yang sangat kontras.Setelah berputar ternyata bangunan
bekas Stasiun Ngabean sendiri terletak dibelakang bangunan tempat parkir
tersebut.Berpura-pura sebagai wisatawan, sayapun menjelajahi bangunan bekas
Stasiun Ngabean yang kini telah berubah menjadi pangkalan angkot “siTole”.
Bekas
Patok Milik PT. KAI
Bekas
Tiang Sinyal di Jalan Letjen Soeprapto
Tidaklah mudah bagi saya untuk
menjelajahi bekas bangunan Stasiun Ngabean.Bekas bangunan stasiun yang ramai
oleh aktivitas driver “si Tole”
membuat blusukan saya terbatas.Selain itu bangunan stasiun yang dikelilingi
dengan pohon-pohon yang rindang memberikan kesulitan tersendiri bagi saya untuk
mengambil gambar.Bahkan saya harus sembunyi-sembunyi untuk mengambil gambar
agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dihalaman stasiun, kita masih bisa
menyaksikan bekas rel kereta dengan tiga roda kereta api yang mungkin sengaja
di tinggalkan sebagai monumen bahwa dulu ditempat tersebut pernah dilalui
kereta api. Secara keseluruhan bangunan Stasiun Ngabean masih terawat dengan
baik dengan masih mempertahankan keasliannya, termasuk lantai emplasemen
stasiun.
Stasiun Ngabean dibangun pada tahun
1895.Dulu di stasiun ini terdapat percabangan jalur menuju Pundong. Jalur
tersebut unik karena memiliki gauge 1.435 mm. Selama tiga tahun pendudukan
Jepang, jalur menuju Pundong dicabut dan dipindah di daerah Saketi-Bayah.
Stasiun Ngabean sendiri ditutup oleh pemerintah pada tahun 1973 karena
menurunnya jumlah okupansi penumpang.
Bekas
Roda Kereta di Emplasemen Stasiun Ngabean
Emplasemen
Stasiun Ngabean
Puas menjelajahi bekas Stasiun
Ngabean, perjalanan saya lanjutkan kearah selatan melalui Jalan Wahid Hasyim
untuk mencari bekas Stasiun Dongkelan. Sembari berjalan pelan mata saya terus
memperhatikan kondisi sekitar, siapa tahu ada bekas keberadaan infrastruktur
kereta api yang masih bisa saya temui. Sebenarnya posisi saya saat itu agak
kurang menguntungkan.Bekas jalur yang ada disebelah kanan jalan sementara
posisi saya berada sebelah di kiri jalan memberikan kesulitan tersendiri bagi
saya. Ditambah lagi dengan kondisi lalu lintas yang ramai karena masa liburan
memaksa penglihatan saya untuk jeli menemukan bekas jalur kereta api.
Perjalanan saya mendadak
terhenti.Saya melihat sesuatu yang aneh di seberang jalan tepatnya dibelakang
sebuah warung tertutup rimbunnya pepohonan. Saya segera putar arah dan
memarkirkan motor saya dipinggir jalan. Tanpa pikir panjang saya segera masuk
kepekarangan rumah warga.Ternyata saya berhasil menemukan lagi bekas sinyal
Stasiun Ngabean.Posisinya sangat tersembunyi. Jika saya tidak teliti mungkin
saya akan melewatkannya. Tak jauh dari sana, disebuah gang saya juga menemukan
bekas rel kereta yang sudah tersamarkan oleh jalan paving. Lokasinyapun juga
agak tersembunyi dari jalan raya.
Bekas
Sinyal Stasiun Ngabean
Bekas Rel dari Ngabean Menuju
Dongkelan
Terus melanjutkan perjalanan,
akhirnya saya tiba di Jalan Bantul.Dipinggir jalan tepatnya disebelah kanan
jalan, saya banyak menjumpai bekas rel membentang disepanjang jalan.Kondisi rel
banyak yang tertimbun tanah dan trotoar jalan. Dibeberapa titik juga terdapat
patok-patok penanda bekas jalur kereta api milik PT. KAI yang terbuat dari
potongan besi rel kereta.
Bekas
Rel di Jalan Bantul
Tak terasa perjalanan saya sampai di
Stasiun Dongkelan. Stasiun ini lokasinya berada di samping Jalan Raya Bantul
atau tepatnya di Kelurahan Kedungkiwo Kecamatan Mantrijeron depan Pasty (Pasar
Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta). Bentuk bangunannya yang antik sepintas
menyerupai bangunan halte bus, akan tetapi kini bangunan bekas Stasiun
Dongkelan digunakan untuk rumah makan. Bangunan stasiun sendiri masih nampak terawat
dengan baik.
Stasiun Dongkelan dibangun oleh NIS
pada tahun 1895 bersamaan dengan pembangunan jalur dari Jogja hingga
Sewugalur.Sebenarnya bangunan stasiun sendiri sudah tidak asli, melainkan hanya
bangunan replika saja karena Stasiun Dongkelan pernah mengalami kebakaran yang
menghanguskan seluruh bangunannya.Stasiun ini resmi ditutup oleh pemerintah
pada tahun 1973 bersamaan dengan di tutupnya jalur dari Jogja hingga Palbapang
karena menurunnya jumlah okupansi penumpang.
Bekas
Bangunan Stasiun Dongkelan
Hari semakin panas, sayapun segera
tancap gas menuju lokasi stasiun berikutnya yaitu Stasiun Winongo. Menurut
referensi yang saya dapatkan lokasi Stasiun Winongo berada dekat dengan Pabrik
Gula Madukismo.Hal ini terjadi karena pada zaman dahulu PG Madukismo terkoneksi
dengan Stasiun Winongo untuk memudahkan aliran distribusi pabrik. Hal ini sama
seperti pabrik gula ditempat lain yang terkoneksi dengan jalur kereta
api.Ternyata tidaklah mudah menemukan lokasi Stasiun Winongo.Saya sempat kebingunan
saat berada di daerah Kweni Bantul.Posisi jalur yang berada diseberang jalan
membuat saya harus jeli melihat arah jalur rel.Karena tidak kunjung menemukan
petunjuk akhirnya saya berputar arah.Saat berputar arah inilah saya mulai
menemukan petunjuk.Ternyata jalur kereta berbelok masuk ke dalam perkampungan
warga.
Saya pun mencoba masuk kedalam
sebuah gang di daerah Kweni yang menurut saya dulu adalah bekas jalur kereta
api. Sudut belokan yang ada di gang tersebut pun mirip dengan jalur kereta api.
Semakin lama saya semakin merangsek masuk kedalam perkampungan warga.Bekas rel
yang sudah tidak ada serta kondisi perkampungan yang sepi dan sunyi menjadi
tantangan tersendiri bagi saya.Sampailah saya disebuah jembatan desa yang
melintang diatas sungai yang cukup besar. Ternyata jembatan tersebut terbuat
dari bekas jembatan keretaapi yang sudah di cor. Jembatan yang saya lewati ini
sebenarnya cukup berbahaya dari segi keamanan, karena jembatan ini dulunya
ditujukan hanya untuk kereta api bukan untuk kendaraan umum seperti motor.
Lebarnya yang sempit serta tidak adanya pembatas di sebelah kiri dan kanan
jembatan membuat saya merinding saat melewatinya.Bahkan jembatan ini hanya bisa
dilalui oleh satu kendaraan saja. Jika dari lawan arah ada kendaraan lain yang
ingin menyebrang maka harus antri terlebih dahulu.
Setelah berhasil menyeberangi
jembatan dengan selamat, tibalah saya di sebuah perkampungan yang tidak kalah
sepinya dengan kampung sebelumnya. Terus berjalan akhirnya saya menemukan
bangunan rumah dinas Stasiun Winongo. Saya pun berhenti sejenak sambil
memperhatikan lingkungan sekitar siapa tahu bangunan Stasiun Winongo ada
disekitar situ.Belum juga saya menemukan bangunan stasiun. Berjalan beberapa
meter akhirnya saya menjumpai bangunan bekas Stasiun Winongo yang tampak
kontras dengan perumahan warga. Bangunannya sangat megah dengan gaya arsitektur
khas bangunan stasiun tempo dulu.
Stasiun Winongo terletak didaerah
Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul.Seperti stasiun sebelumnya, bangunan stasiun ini
didirikan pada tahun 1895 oleh NIS.Dahulu Stasiun Winongo terhubung dengan
pabrik gula Madukismo sebagai sarana distribusi gula.Tahun 1973 adalah tahun
terakhir stasiun ini beroperasi.Kini bangunan stasiun digunakan warga sekitar
sebagai tempat pertemuan.Bangunan ini pernah rusak oleh gempa bumi yang terjadi
pada tahun 2006 di Jogja.Akibatnya ada beberapa perubahan yang dilakukan oleh
masyarakat saat merenkonstruksi bangunan stasiun. Kini disekitar bangunan
stasiun sudah tidak bisa dijumpai lagi bekas alat persinyalan dan rel kereta
api.
Meninggkalkan Stasiun Winongo, saya
masih menelusuri jalan kampung yang terduga dulu adalah bekas jalur kereta api
menuju Kota Bantul. Jalan kampung yang saya lewati masih berupa jalan tanah
yang berpasir.Bekas rel kereta pun sudah tidak ada yang tersisa.Akhirnya saya
tiba di titik pertemuan dengan jalan raya.Disana saya menemukan sebuah bekas
rel yang berbelok menuju Stasiun Winongo dari arah Kota Bantul tepat diatas
sebuah bangunan warung kopi semi permanen.Kondisi relnya pun sudah tidak utuh
lagi. Dugaan saya disekitar situ dahulu terdapat sinyal dari Stasiun Winongo.
Rel
Berbelok Masuk Menuju Stasiun Winongo
Bangunan
Rumah Dinas Stasiun Winongo
Bekas
Bangunan Stasiun Winongo
Bekas
Jalur dari Stasiun Winongo Menuju Kota Bantul
Perjalanan saya berlanjut menuju
Kota Bantul.Dikanan jalan, bekas rel kereta masih banyak yang terlihat. Bahkan
dibeberapa titik patok-patok milik kereta api yang terbuat dari potongan besi
rel kereta api pun juga banyak saya jumpai. Yang membuat saya heran, kenapa
patok yang digunakan sebagai penanda hanya terbuat dari potongan rel kereta,
bukan dari beton yang bergambar logo PT. KAI seperti di daerah lain.
Tak terasa perjalanan saya sampai di
daerah Cepit.Disini menurut referensi yang saya dapatkan pernah berdiri sebuah
halte kereta bernama Halte Cepit.Lokasinya sendiri diperkirakan berada dekat
dengan pos polisi yang ada dipertigaan Cepit.Tapi sayang bangunan halte sendiri
kini sudah tidak ada karena telah dirubuhkan.Bekas rel pun juga sudah tidak
bisa saya temukan.Hipotesis saya kini bekas lokasi halte telah berubah menjadi
kawasan pertokoan.Perjalananpun saya lanjutkan menuju Kota Bantul.
Perkiraan
Lokasi Halte Cepit
Memasuki
Kota Bantul, suasana kota yang rindang dan teduh langsung menyambut kedatangan
saya. Disini saya mencoba menelusuri keberadaan Stasiun Bantul yang menurut
catatan saya berada tidak jauh dari lokasi Pasar Bantul. Sambil menikmati
keindahan kotayang asri, akhirnya saya tiba di lokasi Pasar Bantul. Saya
berhenti sejenak sambil mengamati kondisi sekitar apakah ada bangunan yang
menyerupai bangunan stasiun.Pandangan saya tertuju pada sebuah bangunan tua
berwarna kuning dengan lubang ventilasi bundar mirip Stasiun Winongo disebelah selatan
jalan.Ternyata benar, itu adalah bangunan bekas Stasiun Bantul.
Saya
mencoba mendekat ke bangunan stasiun untuk mengambil gambar.Kini bangunan
stasiun dimanfaatkan sebagai bengkel motor.Kondisi bangunannya sendiri banyak
mengalami kerusakan.Disana saya sudah tidak bisa menjumpai bekas rel kereta
karena sudah tertutup dengan aspal jalan.Saya pun bergerak menuju bagian
belakang stasiun untuk melihat kondisinya.Ternyata kondisinya juga tak jauh
berbeda dengan kondisi emplasemen stasiun, banyak kerusakan terutama dibagian
atap yang membuat kesan tak terawatnya bangunan tersebut.
Bagian
Belakang Stasiun Bantul
Stasiun Bantul didirikan pada tahun
1895 oleh NIS yang terhubung dengan Stasiun Palbapang.Dulu stasiun ini ramai
oleh pedagang karena lokasinya sendiri yang berada tak jauh dari Pasar Bantul.
Tahun 1973 pemerintah resmi menghentikan layanan perjalanan kereta api di
stasiun ini karena sepinya penumpang.
Hari semakin terik, saya pun segera
melanjutkan perjalananmenuju Palbapang untuk mencari lokasi stasiun terakhir
yakni Stasiun Palbapang.Sesampainya di Palbapang saya sempat tersesat karena tidak
memperhatikan rambu penunjuk jalan.Berkat informasi dari warga yang saya temui
dipinggir jalan, akhirnya saya memperoleh informasi dimana lokasi Stasiun
Palbapang berada. Diperempatan Palbapang saya sempat menjumpai bekas jalur lori
atau decauville yang tersamarkan oleh
aspal jalan raya. Saya kurang tahu jalur tersebut milik PG Sewugalur atau milik
pabrik gula yang lain.
Tak jauh dari perempatan Palbapang
saya juga menjumpai potongan rel berbelok menuju lokasi stasiun.Sayangnya
sebagian besar bekas rel tersebut kini telah tertutup oleh bangunan rumah milik
warga.Sambil terus menelusuri jejak tersebut, akhirnya perjalanan saya tiba di
Terminal Palbapang yang dulu merupakan bekas Bangunan Stasiun Palbapang yang
terletak persis disebelah jalan raya Palbapang - Sewugalur.Dilokasi tersebut
kini digunakan sebagai tempat parkir bus.Kondisi bekas bangunan stasiun sendiri
masih tampak terawat.Disana saya sudah tidak bisa menjumpai sisa rel kereta.Hal
tersebut karena seluruh halaman stasiun kini telah dilapisi dengan aspal.
Setelah istirahat sejenak diarea
stasiun, saya mencoba mencari petunjuk lain yang mungkin bisa saya temukan di
sekitaran stasiun. Saya menemukan bekas jalur kereta yang tersamarkan oleh
tanah disebuah jalan kampung yang berada tak jauh dari lokasi stasiun.Kondisinya
masih utuh. Tak jauh dari lokasi tersebut saya juga menjumpai dua bangunan
bekas rumah dinas Stasiun Palbapang yang kini masih dipakai untuk tempat
tinggal warga dengan kondisi yang masih terawat dengan baik.
Seperti stasiun-stasiun sebelumnya,
Stasiun Palbapang didirikan oleh NIS pada tahun 1895. Stasiun ini adalah
stasiun terminus dari Jogjakarta karena jalur menuju Sewugalur Kulon Progo
telah dipreteli oleh Jepang untuk dipindah kedaerah lain. 1973 adalah tahun
operasional terakhir stasiun ini yang terpaksa ditutup karena sepinya jumlah
penumpang.
Bangunan
Rumah Dinas Stasiun Palbapang
Dengan selesainya blusukan saya di
Stasiun Palbapang, berarti usai sudah perjalanan saya menyusuri jalur mati di
petak Jogja – Palbapang.Sungguh banyak pelajaran yang bisa diambil dalam
perjalanan kali ini. Terkait wacana reaktivasi yang sempat diwacanakan oleh
pemerintah, menurut saya akan sangat sulit terwujud. Lokasi jalur yang tepat
berada disamping jalan raya serta kondisi jalur yang banyak berubah menjadi
perumahan warga memberikan kesulitan tersendiri untuk proses reaktivasi.
Kalaupun jadi dihidupkan kembali, kecepatan keretapun juga tidak akan bisa
maksimal. Terlepas dari masalah direaktivasi atau tidak, yang terpenting adalah
bagaimana upaya semua pihak untuk menjaga dan melestarikan peninggalan sejarah
yang sangat berharga ini.Hal ini sangatlah penting agar generasi berikutnya
tahu dan masih bisa melihat saksi bisu keberadaan kereta di sepanjang jalur
Jogja hingga Palbapang.
di depan koramil gedongtengen juga ada rel yg membelok
BalasHapusdari arah stasiun tugu, menyeberang ke arah jlagran lor
jlagran, jlagra adalah profesi tukang batu
terima kasih pak atas petunjuknya.
BalasHapuskebetulan kemarin adalah blusukan pertama saya di jogja. memang sebuah kesulitan tersendiri jika blusukan dilakukan di tengah kota. kesulitan yang sering saya jumpai adalah: ramainya jalan raya, serta banyak petunjuk yang tersamarkan.
mas, salut saya dengan hasil blusukannya,kebetulan saya nemu artikel Anda karena di berita sedang ada wacana aktivasi jalur2 kereta tua
BalasHapussaya orang Jogja jadi penasaran seperti apa jalur tua di kota saya,malah nemu blog anda..
sayang sekali sudah banyak yg rusak dan lenyap,tapi semoga bisa terwujud kembali transportasi massal KA yg hilang..
matur nuwun buat blusukannya mas... sukses selalu buat Anda
terima kasih sudah bersedia membaca
HapusBagus mas artikel blusukannya. Oh iya, sebenarnya di perempatan Jetis Bantul tahun kemarin masih terlihat jelas bekas persimpangan jalur relnya terutama yg menuju ke barat yg kemudian berbelok ke selatan ke arah Ngentak / lapangan Sumberagung. Tp karena balum lama ini jalan diaspal ulang, jalur relnya sekarang tertutup aspal. Potongan rel yg masih terlihat ada di atas jembatan 300an meter sebelah barat perempatan Jetis. Tepat di samping jalan raya.
BalasHapusPerempatan jetis itu apa dekat dengan palbapang itu ya?
BalasHapusPerempatan jetis itu apa dekat dengan palbapang itu ya?
BalasHapusBukan mas, perempatan Jetis jalan Imogiri Barat. Kalo dari perempatan ringroad selatan wojo lurus ke arah selatan, perempatn lampu merah terakhir sebelum pasar mbarongan. Atau kalau lewat jalan parangtritis perempatan lampu merah Manding ambil kiri arah Jetis.
HapusOw saya kira yang dekat palbapang
BalasHapusdulu saat blusukan di palbapang saya juga sempat menjumpai bekas jalur lori yang terlihat ditengah2 aspal
mungkin milik pg sewugalur
Saya juga kurang tau mas.
BalasHapusSukses terus, di nanti hasil blusukan selanjutnya mas
kalo sepanjang jalan dari palbapang ke sewugalur masih ada bekas stasiunnya tidak ya? karena diatas disebutkan "Stasiun Palbapang – Stasiun Bajang - Stasiun Batikan – Stasiun Pekoja – Stasiun Mangiran – Stasiun Srandakan – Stasiun Brosot – Stasiun Pasar Kranggan – Stasiun Sewugalur"
BalasHapusKalau setahu saya sudah tidak ada bekasnya. Karena sudah dihancurkan sejak jaman jepang
HapusSaya sudah pernah menikmati naik sepur kluthuk (kereta api uap)dari Ngepal (Palbapang)- Tugu tahun 1964 ketika ada Pasar Malam raya di Alun-alun utara Yogyakarta,dalam rangka mensosialisasikan program pemerintah BERDIKARI (berdiri diatas kaki sendiri) Kala itu saya masih kelas 4 SR. Bersama guru dan teman-teman kelas 4,5, dan 6. menyaksikan ATBM (alat tenun bukan mesin)dan mesin produksi sabun batangan (tong, dan Sunlight. Ya hanya sekali-kalinya saya naik kereta api uap tersebut. 2x (pergi-pulang)
BalasHapusWah bapak beruntung sekali...
Hapuspasti pemandangan kala itu dari jendela kereta sangat indah..
Catatan blusukannya menarik ...
BalasHapusMenginspirasi saya untuk juga turut melakukan napak tilas jalur mati di sekitar Yogyakarta..
Mungkin dalam waktu dekat saya akan melakukannya... Terima kasih..
Monggo mampir ke rumah saya: Menggapai Angkasa
Trimakasih sudah membaca. Rumahnya mana?
BalasHapusTrimakasih sudah membaca. Rumahnya mana?
BalasHapusPajang bang.. Belakang Solo Square..
Hapuswah dekat kraton pajang dong...
Hapusbesok kalau artikel nya sudah jadi saya di info ya. hehe
makasih
Adoh bang yen karo Keraton Pajang...
HapusBtw.., postingan blusukan jalur mati saya sudah jadi..
Nama njenengan dan blognya pun turut saya cantumkan..
Monggo mampir dan minta masukannya njih..
NAPAK TILAS JALUR KERETA API YOGYAKARTA - PALBAPANG
saya juga menemukan bekas gundukan tanah di daerah cepit perempatan stadion sultan agung dulu bekas jalur rel kereta api jaman belanda yg hilang waktu jepang
BalasHapusmaaf kepek maksud saya arah dari timur ke barat melengkung menuju arah barongan
BalasHapusdi perempatan kasongan ada cross rail anatara rel nis dengan rel lori
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Hapusupdate terus pleaseee
BalasHapusTerima kasih sudah mampir.
HapusKedepan akan saya update jika nelakukan perjalanan luar kota yg ada jalur matinya
Sedikit koreksi ya, untuk halte Dongkelan, saat ini masuk dlm wilayah kelurahan Gedongkiwo (bukan Kedungkiwo).. Anyway salut dg perjuangannya.. Dari Solo berburu smpe ke Jogja..
BalasHapusKalo kereta tebu dekat rumah sy juga ada bekas relnya
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusHarusnya dibangkitkan lagi ya, lha wong sekarang jogja sdh jadi kota wisata
BalasHapusSangat membantu tulisannya mas, jika bersedia mohon info kontaknya mas sekedar ingin berdiskusi hehe
BalasHapusWa: 085725571790
HapusInstagram @primautama
Fb: prima utama
Artikel dipetak jalur ini akan saya update kedalam 2 artikel. Ditunggu ya ....
Mantap catatan hasil mblusukannya mas!
BalasHapusBekas rel dari Stasiun Tugu ke arah Ngabean sebenernya masih ada di depan koramil Gedongtengen. Relnya nyebrang jalan Jlagran lor terus masuk ke gang. Dari mulai masuk gang itu sampai ketemu jalan raya lagi relnya masih kelihatan jelas.
Bangunan Stasiun Dongkelan yang asli sebenarnya sudah nggak ada mas. Bangunan yang ada sekarang itu dibangun sekitar tahun 2006, mungkin tujuan dibuatnya sebagai "monumen" Stasiun Dongkelan.
Iya betul. Diartikel saya sdh saya jelaskan bahwa bangunan stasiun merupakan replika. Karena bangunan aslinya sdah terbakar. Terima kasih atas tambahannya
Hapuspemberitahuan:
BalasHapushalte cepit tidak ada coba cari di wikimapia.org
Jaman belanda kan hanya berupa stoplas.
HapusDi jalan suryowijayan itu masih ada bekas relnya, dari jalan rayanya disebrang TOKO TIGA masuk gang sedikit, ada pasar pagi yang berdiri diatas rel,(sampai sekarang masih keliatan) saya orang situ dulu diceritain mbah saya
BalasHapussaya pernah lihat jembatan tua dekat Brosot, apakah itu jembatan kereta api?
BalasHapusBisa jadi jembatan kereta api. Bisa jadi jembatan lori tebu
BalasHapusSaya ikut menyimak,sisi2 sejarah saat ini semakin terkikis.
BalasHapusWah mantap, saya bukan orang Jogja. saya kemarin melewati jalan Parangtritis heran kok ada bekas rel. Akhirnya pertanyaan saya terjawab sudah di blog ini 🙏
BalasHapus