Minggu, 17 April 2016

STASIUN GUNDIH

MAMPIR KE STASIUN GUNDIH GROBOGAN

            Sudah lama tidak blusukan di jalur kereta api membuat saya sedikit rindu merasakan sensasi blusukan seperti dulu. Iseng-iseng sambil mengisi waktu liburan, sembari menyelesaikan tesis yang tak kunjung selesai, akhirnya pada hari Minggu tanggal 17 April 2016 saya mlipir ke Kabupaten Grobogan untuk blusukan. Ini adalah kali ke dua saya blusukan ke Kabupaten Grobogan.
            Sebenarnya waktu itu agak malas menuju Grobogan mengingat kondisi jalan yang akan saya lewati pasti akan “berantakan” dan kurang nyaman. Ditambah lagi kondisi jalan disaat musim hujan seperti ini, pasti becek dan penuh kubangan lumpur. Pukul setengah tujuh pagi saya berangkat meninggalkan rumah dengan niat yang masih setengah. Kurang lebih pukul setengah delapan pagi saya mulai memasuki wilayah Kabupaten Grobogan.
            Dugaan awal saya ternyata benar. Disepanjang jalan Solo – Purwodadi terdapat proyek pengecoran jalan raya dibeberapa titik. Hal ini membuat jalan harus ditutup satu sisi yang berdampak pada kemacetan yang luar biasa. Tentu ini berdampak besar dari sisi waktu dan bahan bakar saya. Tapi mau gimana lagi, sudah berada ditengah jalan rasanya tidak efisien juga kalau saya harus kembali pulang. Perjalananpun akhirnya saya lanjutkan.
            Tujuan pertama saya kali ini adalah ingin menelisik sejarah Stasiun Gundih yang cukup legendaris di masa lalu. Sedikit berbicara mengenai sejarah Stasiun Gundih, stasiun ini dibangun pada tahun 1870 sebagai penghubung antara stasiun Solo Balapan dengan Stasiun Semarang Tawang. Di stasiun ini terdapat beberapa percabangan jalur, yakni jalur menuju ke arah Solo, Semarang, dan Gambringan Grobogan.
            Menurut referensi yang pernah saya baca, stasiun ini dahulu di miliki oleh perusahaan kereta api Gundih Stoomtram Maatschapij sebelum akhirnya diambil alih oleh NIS. Jalur yang menuju kearah Gambringan adalah jalur penghubung antara jalur utara dan jalur selatan. Namun jalur ini jarang sekali digunakan, hanya saat-saat tertentu saja semisal ada jalur yang longsor atau banjir.
            Kebetulan waktu joy ride dengan kereta api Kalijaga tahun 2015 saya sempat merasakan melintasi jalur Gundih – Gambringan, karena pada waktu itu jalur di dekat Stasiun Telawa Boyolali longsor. Kereta tidak bisa berjalan maksimal saat melintas dijalur tersebut, mungkin hanya 20-30 km/jam. Menurut info yang saya dapatkan waktu itu kondisi rel dan balas tidak memungkinkan kereta melaju dengan cepat jika tidak mau anjlok. Hal ini tentunya juga akan berdampak pada waktu tempuh kereta.
            Pada masa lampau di Stasiun Gundih terdapat dua macam lebar gauge kereta, yakni 1067 mm dan 1435 mm. Jalur kereta dengan dua gauge tersebut membentang dari Stasiun Gundih hingga Lempuyangan Jogja sebelum akhirnya dibongkar paksa oleh tentara Jepang pada tahun 1942. Stasiun Gundih pada masanya adalah stasiun yang penting. Penting karena berada di perlintasan jalur Solo –  Semarang dan karena Gundih pada waktu itu terkenal dengan hasil hutan nya seperti kayu.
Kemegahan Stasiun Gundih masih bisa kita lihat  hingga saat ini. Bangunan stasiun memiliki ukuran cukup besar dengan tipe pulau dan bergaya indisch. Jam antik dengan ukuran yang cukup besar di empalsemen cukup menjadi bukti betapa sibuknya stasiun ini dimasa lalu. Dibagian selatan terdapat bangunan gudang yang cukup besar. Akan tetapi sayang bangunan gudang tersebut kondisinya merana karena kurangnya perawatan.
Disisi utara terdapat dua bangunan dipo lokomotif yang cukup besar. Akan tetapi sayang kondisi bangunan dipo tersebut juga tak kalah merananya. Bahkan satu bangunannya telah runtuh bagian atapnya. Disisi barat tampak berjajar barisan rumah dinas pegawai kereta api yang ukurannya cukup besar. Beberapa bangunan ada yang masih terawat tapi juga ada bangunan rumah dinas yang kondisinya mengenaskan. Di bagian belakang rumah dinas terdapat sebuah menara air tinggi besar dengan dua tabung penampung airnya yang dulu dijadikan sebagai sumber bahan bakar kereta.
Blusukan saya ke Stasiun Gundih sebenarnya agak sedikit mengecewakan. Ketatnya pengawasan dilingkungan stasiun membuat saya tidak bisa mengabadikan setiap sudut ruang stasiun. Sayapun hanya bisa mengabadikan gambar di lingkungan luar bangunan stasiun saja.    

Bangunan Utama dan Area Stasiun Gundih




Bangunan Gudang di Sisi Selatan Stasiun





Bangunan Rumah Dinas Stasiun



Gerbong Bekas di Area Stasiun



Bekas Bangunan Dipo Lokomotif


Rumah Tua di Dekat Stasiun Gundih


Menara Air



Artikel terkait:


PRIMA UTAMA / 2016 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama





















5 komentar:

  1. setiap membaca kata gamnringan kok yg selalu melintas di ingatan adalah nasi pecel nya, haha.. kalo naik ka rajawali, harga sebungkus jadi lebih mahal daripada naik ka kertajaya.. hahaa
    maaf out of topic

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya pernah santap siang sama pecel gambringan pak. Saat kereta kalijaga putar lokomotif di gambringan. Rasanya enak sambal pecelnya pedes banget.. sampai mules..

      Hapus
    2. transportasi yang selalu saya pakai sekeluarga waktu kecil ke rumah mbah saya di cepu adalah kereta api jurusan Semarang Surabaya, jaman dulu penjual pecel bisa masuk kedalam kereta menjajakan makanannya, masa lalu terasa indah bila saya mengingatnya

      Hapus
  2. Wah...matur nuwun foto-fotonya. Awal 1980an (saya masih sd smp)di stasiun inilah sehari-hari saya bermain.Bikin saya kangen....

    BalasHapus
  3. Mas Soepriyadi, kula nggih asli gundih sampai tahun 1977 saya ke bogor sampae sekarang. saya smp tahun 1974-1977 di smep, sd 4 tahun 1979-1974 kecil saya di stasiun. liat foto jadi inget waktu kecil. mantab Gundih nyamleng. Karno mbah Roko klampisan

    BalasHapus