Belakangan ini
banyak teman-teman pecinta kereta api terutama pecinta jalur mati yang
menghubungi saya baik melalui pesan singkat maupun surat elektronik yang
menanyakan kapan blusukan lagi? Boleh ikut gabung blusukan tidak? kok blognya
sudah tidak di update lagi? Dan
beberapa pertanyaan lainnya yang masuk ke saya yang berkaitan dengan blusukan
jalur mati kereta api. Maklum saja, sudah tujuh bulan ini saya vakum dari
blusukan jalur mati kereta api karena beralih blusukan ke pabrik gula (suiker fabriek).
Diawal tahun 2017 ini, kebetulan
Komunitas Kota Tua Magelang (KTM) kembali mengadakan event yang bertajuk Jelajah Jalur Spoor yang kelima kalinya. Sebenarnya agenda rutin KTM ini sedikit
terlambat dari jadwal awal yang biasanya diadakan di bulan September yang
bebarengan dengan ulang tahun kereta api Indonesia. Ini adalah ketiga kalinya
saya mengikuti event ini sejak tahun
2014.
Sedikit mengingat kembali sejarah
perkeretaapian di Kota Magelang, kota yang berjulukan Kota Sejuta Bunga ini
merupakan salah satu kota penting dan tua yang ada di Indonesia. Penting karena
Magelang merupakan salah satu jalur perlintasan strategis antara Semarang dan
Yogyakarta. Tua karena kota yang terkenal dengan Candi Borobudurnya ini telah
berusia lebih dari 1000 tahun. Peninggalan-peninggalan arkeologi dan
purbakalapun cukup menjadi bukti bahwa Kota Magelang merupakan wilayah yang
sangat penting sejak dulu kala.
Pembangunan jalur kereta api di
Magelang dimulai saat pemerintah kolonial Hindia Belanda telah berhasil
menyelesaikan jalur kereta api dari Ambarawa hingga Secang yang pembangunannya
telah dimulai di akhir abad 19. Barulah sekitar tahun 1898 jalur tersebut
kembali dilanjutkan hingga ke Magelang yang berakhir di Yogyakarta. Bagi
pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Magelang merupakan kota yang cukup penting.
Disana banyak terdapat hasil pertanian dan perkebunan serta lokasinya yang
strategis. Iklim di Magelang yang sejuk membuat banyak masyarakat Eropa kepincut
untuk menetap di kota tersebut. Tak ayal memang jika di Magelang banyak
dijumpai bangunan-bangunan peninggalan kolonial Hindia Belanda.
Pembangunan jalur kereta api di
Magelang tentunya sangat berdampak bagi perkembangan kota. Mudahnya sarana
angkutan dan distribusi barang menjadikan Magelang menjadi kota yang cukup
ramai kala itu. Banyak industri yang berdiri dan tumbuh pesat. Seiring
berjalannya waktu dan majunya infrastruktur serta sarana transportasi, kereta
api di Magelang lambat laun mulai di tinggalkan oleh masyarakat. Jalur kereta
yang bersisihan dengan jalan raya membuat kereta berjalan lambat. Pada dekade
1970-an, kereta api di Magelang mulai berada di ujung hayatnya. Kereta api yang
pada masa itu berada di bawah naungan Djawatan Kereta Api (DKA) masih melayani
perjalanan namun sepi penumpang.
Akhirnya
pada tahun 1976 kereta api di Magelang menemui ajalnya. Hal ini merupakan
dampak dari ditutupnya beberapa jalur dari Kedung Jati – Ambarawa – Secang –
Temanggung – Parakan. Meskipun kereta api di Magelang telah mati puluhan tahun
lalu, namun beberapa sarana pendukung perkeretaapian masih bisa kita temui di
beberapa tempat yang seolah menjadi pengingat bahwa kota yang berhawa sejuk
tersebut pernah dilalui ular besi yang menyemburkan asap hitam legam.
Berdasarkan
sejarahnya yang panjang itulah Kota Tua Magelang selaku komunitas pecinta
sejarah secara rutin mengadakan agenda jelajah spoor yang bertujuan untuk mengingatkan kembali akan keberadaan
kereta api di Kota Magelang. Pada event
kali ini lokasi jelajah yang diambil adalah jalur dari Stasiun Mertoyudan
hingga Stasiun Blabak. Sebagai informasi bahwa antara Stasiun Mertoyudan hingga
Stasiun Blabak terdapat dua stasiun yakni Stasiun Japonan dan Stasiun Blondo.
Hal ini merujuk dari peta lawas buatan Hindia Belanda.
Sebagai
informasi tambahan yang saya baca dari beberapa sumber, didalam istilah
pemberhentian kereta api pada jaman dahulu terdapat beberapa penamaan.
Nama-nama tersebut diantara adalah Stopplas,
Halte, dan Stasiun. Stopplas adalah
pemberhentian kereta api yang pada umumnya tidak memiliki bangunan. Stopplas biasanya hanya berupa tanah
lapang kecil tempat naik turun penumpang dengan papan nama yang tertancap
sebagai penanda. Sebagai contoh, stopplas
banyak dijumpai di Kota Semarang pada jalur tram milik SJS antara Jomblang
hingga Pindrikan. Didalam peta kolonial Hindia Belanda, stopplas bisanya ditandai dengan huruf (s)
Istilah
halte digunakan untuk menyebut pemberhentian kereta api dengan bangunan yang
kecil atau sederhana atau bahkan tak memiliki fisik bangunan sama sekali. Halte
biasanya tediri dari 1 hingga 2 jalur kereta. Sebagai contoh: Halte Gayam
Sukoharjo (tanpa bangunan), Halte Wonosari Klaten (Percabangan PG Wonosari),
dan Halte Blabak Magelang. Didalam peta kolonial Hindia Belanda, halte bisanya
ditandai dengan huruf (h). Semenjak berada dibawah kekuasaan Djawatan Kereta
Api (DKA) istilah stopplas dan halte
dihapus dan diganti dengan nama stasiun, namun yang membedakan adalah kelasnya.
Memulai
Jelajah
Event
jelajah spoor yang kelima ini
diadakan pada hari Minggu 15 Januari 2017. Perasaan cemas kala itu sempat
terbesit dalam hati karena beberapa hari sebelum hari H cuaca sangat tidak
bersahabat karena curah hujan yang sangat tinggi. Rasa kawatir semakin
bertambah tatkala mendapat kabar dari rekan di Magelang bahwa minggu pagi di
Magelang masih diwarnai hujan gerimis. Sayapun hanya bisa berharap semoga cuaca
bisa bersahabat dengan agenda kami kali ini.
Tepat pukul tiga pagi saya berangkat
dari Sragen tempat domisili saya menuju Kota Magelang. Beruntung sekali saya
bisa mendapatkan bus yang langsung mengantar saya ke Kota Magelang, meskipun
harus membayar agak mahal karena kondektur yang salah menghitung tarif saya.
Berhubung jalanan sepi karena di
guyur hujan serta supir yang melaju dengan agak sedikit ngebut, hanya 2,5 jam
saja waktu yang saya butuhkan untuk sampai di Kota Magelang. Kurang lebih pukul
setengah enam pagi saya sudah sampai di titik kumpul yakni di PKL Mertoyudan.
Saat tiba di lokasi kumpul suasana masih begitu sepi. Hanya pedagang makanan
yang sibuk menyiapkan menu makanannya yang mendominasi aktivitas disana.
Peserta jelajah pun belum tampak ada yang hadir. Maklum saja panitia
menjadwalkan waktu kumpul mulai pukul setengah tujuh hingga setengah delapan
pagi. Sembari menunggu peserta lain, saya menyempatkan untuk mencicipi soto
Mertoyudan sembari bercakap-cakap dengan peserta lain yang sudah hadir. Cuaca
pagi itu masih sedikit mendung dan gelap. Namun apa mau dikata, jelajah harus
tetap jalan.
Waktu mulai beranjak siang, satu
persatu peserta jelajahpun mulai berdatangan. Saya pun segera melakukan
registrasi ulang dan membayar biaya akomodasi selama acara berlangsung. Biaya
jelajah kali ini cukup murah, hanya dengan Rp 20.000,- kita sudah mendapatkan snack dua kali, makan siang, dan
transport dari titik finish ke titik
awal. Inilah yang menjadi alasan kenapa event-event
di Kota Tua Magelang itu begitu menarik. Dengan biaya minimal kita bisa
mendapatkan fasilitas maksimal, ditambah dengan acara yang ditata sedemikian
apiknya membuat banyak orang selalu ketagihan.
Peta
Jalur Jelajah
Sumber: kitlv.nl
Pengarahan dari
Panitia
Waktu menunjukkan pukul delapan
tepat, jelajahpun kami mulai. Tujuan pertama kami adalah Stasiun Mertoyudan.
Jarak dari titik kumpul dengan Stasiun Mertoyudan tidaklah jauh, mungkin hanya
sekitar 50 meter saja. Stasiun Mertoyudan terletak di Jalan Mayor Jenderal
Bambang Sugeng dan terletak persis disamping jalan raya. Bentuk bangunannya
yang lawas serta berornamen khas stasiun DKA membuat stasiun ini mudah sekali
dikenali.
Stasiun Mertoyudan dibangun pada
tahun 1898 oleh perusahaan swasta kereta api Hindia Belanda Nederlands Indische
Spoorweg Maatschappij (NIS). Pada masa kejayaannya, stasiun ini ramai digunakan
masyarakat sekitar yang hendak bepergian ke Yogyakarta maupun Semarang.
Emplasemen stasiun ini menghadap ke jalan raya. Bekas relnya pun sudah tidak
bisa dijumpai lagi akibat tertutup trotoar dan aspal jalan raya. Didepan
bangunan stasiun masih tertancap wesel yang dulu digunakan untuk operasional
stasiun. Selain itu diseberang jalan kita juga masih bisa menjumpai bekas rumah
dinas kepala Stasiun Mertoyudan.
Didepan bangunan stasiun, peserta
jelajah khidmad mendengarkan cerita dan informasi yang disampaikan oleh panitia
mengenai sejarah Stasiun Mertoyudan pada masa lalu. Stasiun ini ditutup pada
tahun 1976 karena sepinya penumpang dan kalah bersaing dengan angkutan jalan
raya. Dari Stasiun Mertoyudan perjalananpun kami lanjutkan kembali.
Peserta Menuju
Stasiun Mertoyudan
Peserta Jelajah
di Depan Stasiun Mertoyudan
Penjelasan dari
Panitia Mengenai Sejarah Kereta Api di Magelang
Bekas
Wesel Stasiun Mertoyudan
Rumah Dinas
Kepala Stasiun Mertoyudan
Bangunan
Stasiun Mertoyudan
Stasiun
Mertoyudan Tempo Dulu
Sumber: De Tuin Van Java
Beranjak dari Stasiun Mertoyudan, perjalananpun kami
lanjutkan kearah Japunan. Kamipun menyusuri jejak bekas jalur kereta yang
sekarang telah berubah menjadi jalan raya. Tak ada bekas jejak kereta api yang
saya jumpai. Seluruh bekas rel telah tertutup trotoar dan aspal jalan raya.
Kurang lebih 200 meter kamipun masuk ke perkampungan warga di Danurejo Japunan.
Di tempat ini terdapat bekas rel yang sedikit menyembul dan berbelok masuk ke
jalan kampung. Beberapa bekas tiang telegrafpun juga mulai saya jumpai.
Bekas
Jalur kereta di Danurejo telah berubah menjadi jalan kampung. Bekas relpun
sudah tidak banyak terlihat. Hanya tiang-tiang telegraf yang masih kokoh
berdiri sebagai penanda bahwa disanalah dulu pernah ada jalur kereta api.
Beberapa patok milik PT. KAI pun juga tampak tertancap disela-sela perumahan
warga. Disalah satu pekarangan warga saya menjumpai sebuah bekas tiang sinyal
yang masih tersisa tertutup rerimbunan pohon. Saya menduga bahwa itu adalah
bekas sinyal Stasiun Mertoyudan.
Peserta Berjalan
menuju Danurejo Japunan
Bekas Rel
Berbelok Menuju Perkampungan
Bekas
Jalur Kereta Masuk ke Perkampungan di Danurejo
Bekas Jalur
Kereta yang Menjadi Jalan Kampung
Bekas Sinyal di Pekarangan
Warga
Tak terasa perjalanan kamipun telah
merangsek masuk kedalam Kampung Danurejo. Disana bekas jalur kereta api semakin
tampak terlihat. Bekas-bekas jalur keretapun mulai banyak saya jumpai. Disisi
lain, terdapat gundukan tanah yang merupakan railbaan jalur kereta yang masih terlihat jelas lengkap dengan besi
rel yang berada diatasnya. Dibeberapa titik juga tampak bekas rel yang
menggantung karena railbaan yang
amblas tergerus air. Maklum saja, jalur tersebut sudah ditinggalkan 40 tahun
silam.
Tak terasa setelah cukup lama
berjalan menyusuri bekas jalur kereta, kamipun tiba di jalan raya Magelang –
Yogyakarta. Di titik tersebut tampak rel menyembul keatas didepan sebuah warung
milik warga atau tepatnya di depan gudang Bulog. Dari titik tersebut arah jalur
rel berpindah ke kanan jalan menuju Blondo. Jika dilihat pada peta lawas milik
Hindia Belanda, lokasi Stopplas
Japunan berada di dekat persimpangan antara jalur kereta dengan jalan raya
tersebut. Akan tetapi jejak Stopplas
Japunan sudah tidak bisa ditemui lagi. Menurut Pak Muhti selaku penghuni Halte
Blondo, Stopplas Japunan telah
dihancurkan saat perang kemerdekaan oleh pejuang kemerdekaan.
Bekas Rel di
Kampung Danurejo
Bekas Railbaan
Rel Kereta
Dibelakang Rumah Warga
Railbaan yang Cukup Tinggi
Gambar dari Atas
Railbaan
Railbaan
yang Longsor
Rel yang
Menggantung
Railbaan
yang Dipotong untuk Jalan Kampung
Rel Mulai Berada
Disamping Jalan Raya dan Perkiraan Area Stopplas
Japunan
Perjalanan kami lanjutkan menuju
Blondo. Kali ini jejak bekas jalur kereta api berada di sebelah kanan jalan
dari arah Magelang. Perjalanan kami kali ini semakin menantang mengingat bekas
jalur kereta telah berubah menjadi area persawahan. Selain itu hujan yang turun
beberapa hari belakangan membuat jalan yang kami tapaki licin dan becek. Selama
diperjalanan saya sudah tidak menjumpai bekas rel diarea persawahan, namun
tampak beberapa patok milik PT. KAI yang tertancap di sela-sela rerimbunan
persawahan sebagai penanda bahwa disanalah dulu jalur kereta berada.
Setelah
cukup jauh menelusuri area persawahan yang menantang, kamipun tiba di sebuah
perkampungan warga. Disana bekas jejak jalur kereta api sedikit mulai terlihat.
Seperti halnya di Danurejo, bekas jalur kereta api disini telah berubah menjadi
jalan kampung. Beberapa railbaan pun
masih tampak jelas disana. Bahkan beberapa potong besi rel keretapun masih bisa
saya jumpai.
Peserta Mulai
Menyusuri Area Persawahan
Bekas Jalur
Kereta yang Menjadi Area Persawahan
Patok Milik PT.
KAI
Jalur Kereta
yang Telah Menjadi Jalan Kampung
Bekas Rel Kereta
Menuju Halte Blondo
Perjalanan kamipun akhirnya tiba di
Halte Blondo. Disana panitia sudah menyiapkan pengganjal perut berupa makanan
tradisional dan minuman bagi peserta jelajah. Sayapun tak menyia-nyiakan waktu
tersebut untuk melepas lelah. Di Halte Blondo kedatangan kami disambut oleh
penghuni dari Halte Blondo yaitu Bapak Muhni Atmaja. Beliau adalah salah satu
saksi sejarah perkeretaapian di Kota Magelang. Di depan rumah beliau yang
merupakan bekas Halte Blondo, beliau berkisah mengenai sejarah kereta api di
Magelang dan peristiwa kecelakaan kereta api yang pernah terjadi didekat
jembatan Kali Elo.
Stasiun Blondo merupakan stasiun non
aktif yang terletak di Mungkid Magelang. Bentuk asli dari stasiun ini memang
sudah sulit untuk dikenali, namun beberapa bagian bangunan stasiun masih
mempertahankan keasliannya. Disamping bangunan stasiun masih terdapat rumah
dinas yang dulu digunakan sebagai rumah dinas kepala stasiun. Bekas jalur
kereta api di Blondo pun masih banyak yang bisa dijumpai. Besi-besi relpun
masih banyak yang utuh, dan bekas jalur kereta kini digunakan sebagai jalan
kampung oleh warga.
Halte Blondo
Rumah
Dinas Halte Blondo
Peserta Jelajah
Beristirahat di Halaman Sekitar Halte
Peserta
Mendengarkan Penjelasan dari Bapak Muhni di Depan Halte Blondo
Peserta Jelajah
Berfoto Bersama di Depan Halte Blondo
Bekas Jalur
Kereta di Halte Blondo
Tampak Railbaan yang Mulai Terkikis
Bekas Jalur
Kereta Diantara Perumahan Warga
Perjalanan kami lanjutkan menuju
daerah Blondo Kalitan. Disana jejak jalur kereta api mulai sulit terlacak.
Hanya plang-plang milik PT. KAI yang tampak terlihat dan menjadi bukti bahwa
disekitar area itulah dulu jalur kereta api berada. Didaerah Blondo Kalitan
sendiri, kondisi tanah sedikit berbukit-bukit dan bekas jalur kereta telah
berubah menjadi saluran air dan hutan. Inilah alasannya kenapa jalur kereta di
wilayah ini dibuat melengkung menjauhi jalan raya dan lebih rendah dari
perumahan warga karena untuk menyesuaikan gradien tanah antara Blondo dengan
Blabak.
Di Blondo Kalitan rombongan jelajah
menyempatkan diri singgah di rumah salah satu saksi sejarah perkeretaapian di
Magelang yaitu Mbah Komsin. Beliau adalah salah satu saksi hidup yang
menyaksikan peristiwa kecelakaan kereta api di dekat Kali Elo. Rumahnya
tidaklah jauh dari bekas jalur kereta api yang kini telah berubah menjadi
saluran air. Sembari membuka memorinya Mbah Komsin bercerita kepada kami bahwa
peristiwa kecelakaan kereta api yang pernah terjadi di dekat Kali Elo tersebut
sangat mengerikan. Suara benturan antara dua kereta api yang terlibat
kecelakaanpun bahkan sampai terdengar hingga rumahnya. Korban yang berjatuhan
pada tragedi itupun juga banyak, tutur beliau. Dari cerita Mbah Komsin tersebut
saya menjadi teringat pada tragedi Bintaro yang juga melibatkan dua kereta api
yang saling bertabrakan dan menelan banyak korban jiwa.
Peserta Menuju
Blondo Kalitan
Peserta Jelajah
Menuju Rumah Mbah Komsin
Rumah Mbah
Komsin
Peserta Jelajah
Berfoto Bersama Mbah Komsin
Puas mendengarkan kisah dari Mbah
Komsin, kamipun berpamitan dan kembali melanjutkan perjalanan. Perjalanan kami
kali ini kembali memacu adrenalin. Kami berjalan menyusuri bekas jalur kereta
yang telah berubah menjadi saluran air dan hutan yang rimbun. Kewaspadaanpun
mutlak diperlukan. Kondisi tanah yang becek serta ancaman hewan liar pun perlu
menjadi perhatian serius.
Disepanjang perjalanan kami
menelisik lebatnya hutan, saya masih bisa menemukan beberapa bekas besi rel
kereta api yang sedikit tertimbun tanah dan tertutup semak belukar. Maklum
sudah 40-an tahun jalur ini mangkrak. Beberapa tiang telegrafpun tampak masih tertancap
pada tempatnya.
Lokasi
yang kami lalui ini memang letaknya lebih rendah dari pemukiman warga dan
cenderung lembab dan sedikit gelap. Sempat saya membayangkan kala itu betapa
indahnya jalur ini saat masih dilalui kereta api, pasti menyajikan pemandangan
yang memanjakan mata. Saya juga merasa beruntung bisa blusukan hingga kepelosok
seperti ini karena mungkin beberapa tahun lagi jalur ini akan berubah cerita
mengingat rencana pemerintah yang akan mereaktivasi jalur kereta api dari
Yogyakarta menuju Borobudur yang kemungkinan juga masih menggunakan jalur ini.
Peserta Jelajah
Menelusuri Bekas Jalur Kereta di Blondo Kalitan
Bekas Tiang
Telegraf
Bekas Rel Kereta
Bekas Jalur
Kereta yang Berubah Menjadi Saluran Air dan Hutan
Suara deru kendaraan bermotor mulai
terdengar ditelinga. Tak terasa perjalanan kamipun sudah tiba di tepi jalan
raya. Penjelajahan kamipun mulai berpindah di samping jalan raya Mungkid -
Yogyakarta. Kami sempat menyebrang jembatan Kali Elo dimana disana masih
terdapat jembatan kereta api yang masih utuh.
Setelah menyeberangi Kali Elo,
peserta jelajah kembali beristirahat sejenak disalah satu halaman rumah warga
untuk melepas lelah. Tepat disamping titik kami beristirahat, merupakan lokasi
kejadian tabrakan kereta api yang pernah terjadi di tahun 1943 silam. Agak
horror memang, karena kejadian tersebut memakan banyak korban jiwa. Sayapun
menyempatkan turun kebawah melihat langsung lokasi kejadian kecelakaan. Tiang
telegraf dan bekas besi rel kereta pun masih tampak disana meskipun banyak yang
tertutup semak belukar dan tanah. Saya juga sempat berfikir, untung kecelakaan
kereta api saat itu tidak terjadi di atas jembatan Kali Elo yang hanya berjarak
50 meter dari lokasi kejadian. Bisa dibayangkan jika kecelakaan kereta terjadi
diatas Jembatan Kali Elo, pasti akan lebih banyak menimbulkan korban jiwa lagi.
Peserta Jelajah
Menuju Jembatan Kali Elo
Bekas Jembatan
Kereta Diatas Kali Elo
Bekas Rel Kereta
di Halaman Rumah Warga
Peserta
Beristirahat di Sekitar Lokasi Kecelakaan Kereta Api Tahun 1943
Lokasi
Kecelakaan Kereta Api Tahun 1943
Tampak Tiang
Telegraf yang Masih Utuh
Kejadian
Kecelakaan Kereta Api Tahun 1943
Sumber: Bagus
Priyana
Bekas Rel Kereta
yang Masih Tersisa
Foto Bersama
Peserta Jelajah
Hari mulai
beranjak siang, perjalananpun kami lanjutkan kembali. Kali ini rute yang kami
lewati adalah hutan kayu jati dan area persawahan. Berhubung bekas jalur kereta
telah berubah menjadi saluran air dan semak belukar dan tidak memungkinkan
untuk dilalui, maka peserta jelajahpun hanya bisa berjalan disamping bekas
jalur kereta. Meskipun hari tidak terlalu terik kala itu, namun tenaga kami
terasa cukup terkuras. Maklum medan yang kami lalui cukup menantang ditambah
jalanan yang becek yang membuat kami harus tetap waspada selama diperjalanan.
Kamipun tiba diarea persawahan. Kali
ini rute yang kami lalui adalah bekas railbaan
jalur kereta menuju Blabak. Bekas railbaan
tersebut kini dimanfaatkan warga sebagai jalan menuju ke ladang. Bentuknya pun
masih utuh dan mudah untuk dikenali. Disepanjang perjalanan, tak satupun bekas
rel yang saya jumpai. Yang tampak hanyalah beberapa tiang telegraf yang masih
tertancap tegak serta patok milik PT. KAI sebagai penanda. Jika diperhatikan
secara seksama, dibekas railbaan yang
kami lalui ini sebenarnya masih banyak menyisakan batu ballast yang lazim ada di jalur kereta. Namun kebanyakan batu ballast yang ada sudah tertutup oleh
tanah dan rumput.
Bekas Jalur
Kereta yang Tertutup Semak Belukar
dengan Talang
Air Melintang Diatasnya
Talang Air yang
Melintang Diatas Jalur Kereta
Bekas Jalur
Kereta di Area Perkebunan Warga
Bekas Tiang
Telegraf
Bekas Pondasi
Kecil Jembatan Kereta Api
Bekas Railbaan
Peserta Jelajah
Menerjang Semak Belukar
Tak
terasa setelah cukup lama menelusuri persawahan dan semak belukar, perjalanan
kami akhirnya tiba di jalan raya. Kami telah memasuki wilayah Blabak yang
merupakan tujuan akhir dari penjelajahan kami. Sejenak kami beristirahat
melepas lelah sebelum menuju Halte Blabak. Didekat lokasi kami beristirahat
merupakan titik persilangan jalur kereta api, dimana jalur kereta yang semula
berada di kanan jalan berpindah disebelah kiri jalan dari arah Magelang.
Perjalanan kami lanjutkan menuju
Halte Blabak. Sebelum tiba di lokasi halte, terdapat sebuah pabrik kertas
dengan ukuran yang cukup besar bernama Pabrik Kertas Blabak. Sayang pabrik yang
usianya sudah cukup tua tersebut kini dalam status pailit dan dijual. Menurut
referensi yang saya peroleh, pada masanya saat kereta api masih melayani perjalanan
di Magelang, terdapat percabangan jalur dari Halte Blabak menuju kedalam
pabrik. Hal ini dikarenakan pabrik menggunakan jasa kereta api untuk pasokan
bahan baku dan sarana distribusi hasil industrinya. Hal ini lazim terjadi
dimasa lalu, dimana banyak industri-industri yang terhubung dengan jalur kereta
api sebagai sarana distribusi barang.
Kurang lebih 100 meter dari Pabrik
Blabak, kamipun tiba dilokasi bekas Halte Blabak. Kondisi halte memang sudah
banyak berubah. Namun di sekitar bangunan halte kita masih bisa menjumpai bekas
jalur kereta yang samar tertutup aspal. Diseberang jalanpun saya juga masih
bisa melihat bekas bangunan rumah dinasnya. Halte Blabak kini dimanfaatkan
sebagai warung makan.
Bekas Jalur
Kereta Menuju Blabak
Pabrik Kertas
Blabak yang Pailit
Bekas Percabangan Rel
Disamping Halte Blabak dari Pabrik Kertas Blabak
Bekas Halte
Blabak dengan Rel yang Sudah Tertimbun Aspal Jalan Raya
Halte Blabak
Sumber: gethuk-magelang.blogspot.com
Rumah Dinas
Halte Blabak
Beranjak dari Halte Blabak,
perjalananpun kami lanjutkan ke garis finish
yaitu Pemandian Mudal. Lokasinya kurang lebih 200 meter dari Halte Blabak. Dilokasi
pemandian tersebut peserta jelajah menikmati suguhan makan siang yang telah
disediakan oleh panitia dengan menu spesial tahu kupat Magelang. Sembari
melepas lelah dan bersantap siang, para peserta dimanjakan dengan semilir angin
dan segarnya air Pemandian Mudal. Menurut cerita, Pemandian Mudal sudah ada
sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Hal ini bisa dilihat dari bentuk bangunan
yang ada disana. Namun sayang, pemandian yang sarat dengan nilai sejarah
tersebut tampak kurang terawat dan terkesan kotor.
Bangunan Depan
Pemandian Mudal
Kolam Pemandian
Mudal
Dengan sampainya rombongan jelajah
di Pemandian Mudal, maka berakhir pula jelajah jalur spoor pada hari itu. Berhubung waktu sudah menunjukkan pukul
setengah dua siang, sayapun bergegas meninggalkan rombongan dan berpamitan dari
rombongan untuk kembali melanjutkan
perjalanan kembali ke Sragen. Puas sekali rasanya hari itu. Banyak pengalaman
dan ilmu yang saya dapatkan selama jelajah. Semoga tahun depan ada kesempatan
untuk bergabung kembali di acara jelajah jalur spoor dengan pengalaman yang lebih seru dan menantang tentunya. Sampai
jumpa di blusukan selanjutnya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DIBUANG
SAYANG
Peserta yang Penuh Totalitas
Om Telolet Om
By Setiya Heru
Masih
Bersemangat
By Halim Santoso
(Bukan) Pasien
BPJS Kesehatan
By Pak Widoyoko
Magelang
Mulai Lelah
By Pak Widoyoko
Magelang
Bersantai Ria
By Pak Widoyoko
Magelang
Terlalu Lelah
untuk Tersenyum
By Halim Santoso
3S (Solo –
Sukoharjo – Sragen)
by Setiya Heru
"TERIMA KASIH KEPADA KOMUNITAS KOTA TOEA MAGELANG"
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PRIMA UTAMA / 2017 / WA: 085725571790 / FB, EMAIL: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama
Hmm, andaikan Om Maybi Prabowo ikut rombongan
BalasHapusMantap
BalasHapus