Sabtu, 21 Januari 2017

DJELAJAH DJALOER SPOOR 5 BERSAMA KOTA TOEA MAGELANG

Belakangan ini banyak teman-teman pecinta kereta api terutama pecinta jalur mati yang menghubungi saya baik melalui pesan singkat maupun surat elektronik yang menanyakan kapan blusukan lagi? Boleh ikut gabung blusukan tidak? kok blognya sudah tidak di update lagi? Dan beberapa pertanyaan lainnya yang masuk ke saya yang berkaitan dengan blusukan jalur mati kereta api. Maklum saja, sudah tujuh bulan ini saya vakum dari blusukan jalur mati kereta api karena beralih blusukan ke pabrik gula (suiker fabriek).
            Diawal tahun 2017 ini, kebetulan Komunitas Kota Tua Magelang (KTM) kembali mengadakan event yang bertajuk Jelajah Jalur Spoor yang kelima kalinya. Sebenarnya agenda rutin KTM ini sedikit terlambat dari jadwal awal yang biasanya diadakan di bulan September yang bebarengan dengan ulang tahun kereta api Indonesia. Ini adalah ketiga kalinya saya mengikuti event ini sejak tahun 2014.
            Sedikit mengingat kembali sejarah perkeretaapian di Kota Magelang, kota yang berjulukan Kota Sejuta Bunga ini merupakan salah satu kota penting dan tua yang ada di Indonesia. Penting karena Magelang merupakan salah satu jalur perlintasan strategis antara Semarang dan Yogyakarta. Tua karena kota yang terkenal dengan Candi Borobudurnya ini telah berusia lebih dari 1000 tahun. Peninggalan-peninggalan arkeologi dan purbakalapun cukup menjadi bukti bahwa Kota Magelang merupakan wilayah yang sangat penting sejak dulu kala.
            Pembangunan jalur kereta api di Magelang dimulai saat pemerintah kolonial Hindia Belanda telah berhasil menyelesaikan jalur kereta api dari Ambarawa hingga Secang yang pembangunannya telah dimulai di akhir abad 19. Barulah sekitar tahun 1898 jalur tersebut kembali dilanjutkan hingga ke Magelang yang berakhir di Yogyakarta. Bagi pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Magelang merupakan kota yang cukup penting. Disana banyak terdapat hasil pertanian dan perkebunan serta lokasinya yang strategis. Iklim di Magelang yang sejuk membuat banyak masyarakat Eropa kepincut untuk menetap di kota tersebut. Tak ayal memang jika di Magelang banyak dijumpai bangunan-bangunan peninggalan kolonial Hindia Belanda.
            Pembangunan jalur kereta api di Magelang tentunya sangat berdampak bagi perkembangan kota. Mudahnya sarana angkutan dan distribusi barang menjadikan Magelang menjadi kota yang cukup ramai kala itu. Banyak industri yang berdiri dan tumbuh pesat. Seiring berjalannya waktu dan majunya infrastruktur serta sarana transportasi, kereta api di Magelang lambat laun mulai di tinggalkan oleh masyarakat. Jalur kereta yang bersisihan dengan jalan raya membuat kereta berjalan lambat. Pada dekade 1970-an, kereta api di Magelang mulai berada di ujung hayatnya. Kereta api yang pada masa itu berada di bawah naungan Djawatan Kereta Api (DKA) masih melayani perjalanan namun sepi penumpang.
Akhirnya pada tahun 1976 kereta api di Magelang menemui ajalnya. Hal ini merupakan dampak dari ditutupnya beberapa jalur dari Kedung Jati – Ambarawa – Secang – Temanggung – Parakan. Meskipun kereta api di Magelang telah mati puluhan tahun lalu, namun beberapa sarana pendukung perkeretaapian masih bisa kita temui di beberapa tempat yang seolah menjadi pengingat bahwa kota yang berhawa sejuk tersebut pernah dilalui ular besi yang menyemburkan asap hitam legam.
Berdasarkan sejarahnya yang panjang itulah Kota Tua Magelang selaku komunitas pecinta sejarah secara rutin mengadakan agenda jelajah spoor yang bertujuan untuk mengingatkan kembali akan keberadaan kereta api di Kota Magelang. Pada event kali ini lokasi jelajah yang diambil adalah jalur dari Stasiun Mertoyudan hingga Stasiun Blabak. Sebagai informasi bahwa antara Stasiun Mertoyudan hingga Stasiun Blabak terdapat dua stasiun yakni Stasiun Japonan dan Stasiun Blondo. Hal ini merujuk dari peta lawas buatan Hindia Belanda. 
Sebagai informasi tambahan yang saya baca dari beberapa sumber, didalam istilah pemberhentian kereta api pada jaman dahulu terdapat beberapa penamaan. Nama-nama tersebut diantara adalah Stopplas, Halte, dan Stasiun. Stopplas adalah pemberhentian kereta api yang pada umumnya tidak memiliki bangunan. Stopplas biasanya hanya berupa tanah lapang kecil tempat naik turun penumpang dengan papan nama yang tertancap sebagai penanda. Sebagai contoh, stopplas banyak dijumpai di Kota Semarang pada jalur tram milik SJS antara Jomblang hingga Pindrikan. Didalam peta kolonial Hindia Belanda, stopplas bisanya ditandai dengan huruf (s)
Istilah halte digunakan untuk menyebut pemberhentian kereta api dengan bangunan yang kecil atau sederhana atau bahkan tak memiliki fisik bangunan sama sekali. Halte biasanya tediri dari 1 hingga 2 jalur kereta. Sebagai contoh: Halte Gayam Sukoharjo (tanpa bangunan), Halte Wonosari Klaten (Percabangan PG Wonosari), dan Halte Blabak Magelang. Didalam peta kolonial Hindia Belanda, halte bisanya ditandai dengan huruf (h). Semenjak berada dibawah kekuasaan Djawatan Kereta Api (DKA) istilah stopplas dan halte dihapus dan diganti dengan nama stasiun, namun yang membedakan adalah kelasnya.

Memulai Jelajah
            Event jelajah spoor yang kelima ini diadakan pada hari Minggu 15 Januari 2017. Perasaan cemas kala itu sempat terbesit dalam hati karena beberapa hari sebelum hari H cuaca sangat tidak bersahabat karena curah hujan yang sangat tinggi. Rasa kawatir semakin bertambah tatkala mendapat kabar dari rekan di Magelang bahwa minggu pagi di Magelang masih diwarnai hujan gerimis. Sayapun hanya bisa berharap semoga cuaca bisa bersahabat dengan agenda kami kali ini.
            Tepat pukul tiga pagi saya berangkat dari Sragen tempat domisili saya menuju Kota Magelang. Beruntung sekali saya bisa mendapatkan bus yang langsung mengantar saya ke Kota Magelang, meskipun harus membayar agak mahal karena kondektur yang salah menghitung tarif saya.
            Berhubung jalanan sepi karena di guyur hujan serta supir yang melaju dengan agak sedikit ngebut, hanya 2,5 jam saja waktu yang saya butuhkan untuk sampai di Kota Magelang. Kurang lebih pukul setengah enam pagi saya sudah sampai di titik kumpul yakni di PKL Mertoyudan. Saat tiba di lokasi kumpul suasana masih begitu sepi. Hanya pedagang makanan yang sibuk menyiapkan menu makanannya yang mendominasi aktivitas disana. Peserta jelajah pun belum tampak ada yang hadir. Maklum saja panitia menjadwalkan waktu kumpul mulai pukul setengah tujuh hingga setengah delapan pagi. Sembari menunggu peserta lain, saya menyempatkan untuk mencicipi soto Mertoyudan sembari bercakap-cakap dengan peserta lain yang sudah hadir. Cuaca pagi itu masih sedikit mendung dan gelap. Namun apa mau dikata, jelajah harus tetap jalan.

            Waktu mulai beranjak siang, satu persatu peserta jelajahpun mulai berdatangan. Saya pun segera melakukan registrasi ulang dan membayar biaya akomodasi selama acara berlangsung. Biaya jelajah kali ini cukup murah, hanya dengan Rp 20.000,- kita sudah mendapatkan snack dua kali, makan siang, dan transport dari titik finish ke titik awal. Inilah yang menjadi alasan kenapa event-event di Kota Tua Magelang itu begitu menarik. Dengan biaya minimal kita bisa mendapatkan fasilitas maksimal, ditambah dengan acara yang ditata sedemikian apiknya membuat banyak orang selalu ketagihan.

Peta Jalur Jelajah
Sumber: kitlv.nl

Pengarahan dari Panitia

            Waktu menunjukkan pukul delapan tepat, jelajahpun kami mulai. Tujuan pertama kami adalah Stasiun Mertoyudan. Jarak dari titik kumpul dengan Stasiun Mertoyudan tidaklah jauh, mungkin hanya sekitar 50 meter saja. Stasiun Mertoyudan terletak di Jalan Mayor Jenderal Bambang Sugeng dan terletak persis disamping jalan raya. Bentuk bangunannya yang lawas serta berornamen khas stasiun DKA membuat stasiun ini mudah sekali dikenali.
            Stasiun Mertoyudan dibangun pada tahun 1898 oleh perusahaan swasta kereta api Hindia Belanda Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Pada masa kejayaannya, stasiun ini ramai digunakan masyarakat sekitar yang hendak bepergian ke Yogyakarta maupun Semarang. Emplasemen stasiun ini menghadap ke jalan raya. Bekas relnya pun sudah tidak bisa dijumpai lagi akibat tertutup trotoar dan aspal jalan raya. Didepan bangunan stasiun masih tertancap wesel yang dulu digunakan untuk operasional stasiun. Selain itu diseberang jalan kita juga masih bisa menjumpai bekas rumah dinas kepala Stasiun Mertoyudan.
            Didepan bangunan stasiun, peserta jelajah khidmad mendengarkan cerita dan informasi yang disampaikan oleh panitia mengenai sejarah Stasiun Mertoyudan pada masa lalu. Stasiun ini ditutup pada tahun 1976 karena sepinya penumpang dan kalah bersaing dengan angkutan jalan raya. Dari Stasiun Mertoyudan perjalananpun kami lanjutkan kembali.

Peserta Menuju Stasiun Mertoyudan

Peserta Jelajah di Depan Stasiun Mertoyudan

Penjelasan dari Panitia Mengenai Sejarah Kereta Api di Magelang

Bekas Wesel Stasiun Mertoyudan

Rumah Dinas Kepala Stasiun Mertoyudan

Bangunan Stasiun Mertoyudan

Stasiun Mertoyudan Tempo Dulu
Sumber: De Tuin Van Java

            Beranjak dari Stasiun Mertoyudan, perjalananpun kami lanjutkan kearah Japunan. Kamipun menyusuri jejak bekas jalur kereta yang sekarang telah berubah menjadi jalan raya. Tak ada bekas jejak kereta api yang saya jumpai. Seluruh bekas rel telah tertutup trotoar dan aspal jalan raya. Kurang lebih 200 meter kamipun masuk ke perkampungan warga di Danurejo Japunan. Di tempat ini terdapat bekas rel yang sedikit menyembul dan berbelok masuk ke jalan kampung. Beberapa bekas tiang telegrafpun juga mulai saya jumpai.
            Bekas Jalur kereta di Danurejo telah berubah menjadi jalan kampung. Bekas relpun sudah tidak banyak terlihat. Hanya tiang-tiang telegraf yang masih kokoh berdiri sebagai penanda bahwa disanalah dulu pernah ada jalur kereta api. Beberapa patok milik PT. KAI pun juga tampak tertancap disela-sela perumahan warga. Disalah satu pekarangan warga saya menjumpai sebuah bekas tiang sinyal yang masih tersisa tertutup rerimbunan pohon. Saya menduga bahwa itu adalah bekas sinyal Stasiun Mertoyudan.

Peserta Berjalan menuju Danurejo Japunan

Bekas Rel Berbelok Menuju Perkampungan

Bekas Jalur Kereta Masuk ke Perkampungan di Danurejo


Bekas Jalur Kereta yang Menjadi Jalan Kampung

Bekas Sinyal di Pekarangan Warga

            Tak terasa perjalanan kamipun telah merangsek masuk kedalam Kampung Danurejo. Disana bekas jalur kereta api semakin tampak terlihat. Bekas-bekas jalur keretapun mulai banyak saya jumpai. Disisi lain, terdapat gundukan tanah yang merupakan railbaan jalur kereta yang masih terlihat jelas lengkap dengan besi rel yang berada diatasnya. Dibeberapa titik juga tampak bekas rel yang menggantung karena railbaan yang amblas tergerus air. Maklum saja, jalur tersebut sudah ditinggalkan 40 tahun silam.
            Tak terasa setelah cukup lama berjalan menyusuri bekas jalur kereta, kamipun tiba di jalan raya Magelang – Yogyakarta. Di titik tersebut tampak rel menyembul keatas didepan sebuah warung milik warga atau tepatnya di depan gudang Bulog. Dari titik tersebut arah jalur rel berpindah ke kanan jalan menuju Blondo. Jika dilihat pada peta lawas milik Hindia Belanda, lokasi Stopplas Japunan berada di dekat persimpangan antara jalur kereta dengan jalan raya tersebut. Akan tetapi jejak Stopplas Japunan sudah tidak bisa ditemui lagi. Menurut Pak Muhti selaku penghuni Halte Blondo, Stopplas Japunan telah dihancurkan saat perang kemerdekaan oleh pejuang kemerdekaan.


Bekas Rel di Kampung Danurejo



Bekas Railbaan




Rel Kereta Dibelakang Rumah Warga


Railbaan yang Cukup Tinggi

Gambar dari Atas Railbaan



Railbaan yang Longsor

Rel yang Menggantung

Railbaan yang Dipotong untuk Jalan Kampung



Rel Mulai Berada Disamping Jalan Raya dan Perkiraan Area Stopplas Japunan


            Perjalanan kami lanjutkan menuju Blondo. Kali ini jejak bekas jalur kereta api berada di sebelah kanan jalan dari arah Magelang. Perjalanan kami kali ini semakin menantang mengingat bekas jalur kereta telah berubah menjadi area persawahan. Selain itu hujan yang turun beberapa hari belakangan membuat jalan yang kami tapaki licin dan becek. Selama diperjalanan saya sudah tidak menjumpai bekas rel diarea persawahan, namun tampak beberapa patok milik PT. KAI yang tertancap di sela-sela rerimbunan persawahan sebagai penanda bahwa disanalah dulu jalur kereta berada.
Setelah cukup jauh menelusuri area persawahan yang menantang, kamipun tiba di sebuah perkampungan warga. Disana bekas jejak jalur kereta api sedikit mulai terlihat. Seperti halnya di Danurejo, bekas jalur kereta api disini telah berubah menjadi jalan kampung. Beberapa railbaan pun masih tampak jelas disana. Bahkan beberapa potong besi rel keretapun masih bisa saya jumpai.

Peserta Mulai Menyusuri Area Persawahan

Bekas Jalur Kereta yang Menjadi Area Persawahan

Patok Milik PT. KAI

Jalur Kereta yang Telah Menjadi Jalan Kampung

Bekas Rel Kereta Menuju Halte Blondo

            Perjalanan kamipun akhirnya tiba di Halte Blondo. Disana panitia sudah menyiapkan pengganjal perut berupa makanan tradisional dan minuman bagi peserta jelajah. Sayapun tak menyia-nyiakan waktu tersebut untuk melepas lelah. Di Halte Blondo kedatangan kami disambut oleh penghuni dari Halte Blondo yaitu Bapak Muhni Atmaja. Beliau adalah salah satu saksi sejarah perkeretaapian di Kota Magelang. Di depan rumah beliau yang merupakan bekas Halte Blondo, beliau berkisah mengenai sejarah kereta api di Magelang dan peristiwa kecelakaan kereta api yang pernah terjadi didekat jembatan Kali Elo.
            Stasiun Blondo merupakan stasiun non aktif yang terletak di Mungkid Magelang. Bentuk asli dari stasiun ini memang sudah sulit untuk dikenali, namun beberapa bagian bangunan stasiun masih mempertahankan keasliannya. Disamping bangunan stasiun masih terdapat rumah dinas yang dulu digunakan sebagai rumah dinas kepala stasiun. Bekas jalur kereta api di Blondo pun masih banyak yang bisa dijumpai. Besi-besi relpun masih banyak yang utuh, dan bekas jalur kereta kini digunakan sebagai jalan kampung oleh warga.

Halte Blondo

Rumah Dinas Halte Blondo

Peserta Jelajah Beristirahat di Halaman Sekitar Halte


Peserta Mendengarkan Penjelasan dari Bapak Muhni di Depan Halte Blondo

Peserta Jelajah Berfoto Bersama di Depan Halte Blondo

Bekas Jalur Kereta di Halte Blondo

Tampak Railbaan yang Mulai Terkikis



Bekas Jalur Kereta Diantara Perumahan Warga

            Perjalanan kami lanjutkan menuju daerah Blondo Kalitan. Disana jejak jalur kereta api mulai sulit terlacak. Hanya plang-plang milik PT. KAI yang tampak terlihat dan menjadi bukti bahwa disekitar area itulah dulu jalur kereta api berada. Didaerah Blondo Kalitan sendiri, kondisi tanah sedikit berbukit-bukit dan bekas jalur kereta telah berubah menjadi saluran air dan hutan. Inilah alasannya kenapa jalur kereta di wilayah ini dibuat melengkung menjauhi jalan raya dan lebih rendah dari perumahan warga karena untuk menyesuaikan gradien tanah antara Blondo dengan Blabak.
            Di Blondo Kalitan rombongan jelajah menyempatkan diri singgah di rumah salah satu saksi sejarah perkeretaapian di Magelang yaitu Mbah Komsin. Beliau adalah salah satu saksi hidup yang menyaksikan peristiwa kecelakaan kereta api di dekat Kali Elo. Rumahnya tidaklah jauh dari bekas jalur kereta api yang kini telah berubah menjadi saluran air. Sembari membuka memorinya Mbah Komsin bercerita kepada kami bahwa peristiwa kecelakaan kereta api yang pernah terjadi di dekat Kali Elo tersebut sangat mengerikan. Suara benturan antara dua kereta api yang terlibat kecelakaanpun bahkan sampai terdengar hingga rumahnya. Korban yang berjatuhan pada tragedi itupun juga banyak, tutur beliau. Dari cerita Mbah Komsin tersebut saya menjadi teringat pada tragedi Bintaro yang juga melibatkan dua kereta api yang saling bertabrakan dan menelan banyak korban jiwa.

Peserta Menuju Blondo Kalitan


Peserta Jelajah Menuju Rumah Mbah Komsin

Rumah Mbah Komsin


Peserta Jelajah Berfoto Bersama Mbah Komsin


            Puas mendengarkan kisah dari Mbah Komsin, kamipun berpamitan dan kembali melanjutkan perjalanan. Perjalanan kami kali ini kembali memacu adrenalin. Kami berjalan menyusuri bekas jalur kereta yang telah berubah menjadi saluran air dan hutan yang rimbun. Kewaspadaanpun mutlak diperlukan. Kondisi tanah yang becek serta ancaman hewan liar pun perlu menjadi perhatian serius.
            Disepanjang perjalanan kami menelisik lebatnya hutan, saya masih bisa menemukan beberapa bekas besi rel kereta api yang sedikit tertimbun tanah dan tertutup semak belukar. Maklum sudah 40-an tahun jalur ini mangkrak. Beberapa tiang telegrafpun tampak masih tertancap pada tempatnya.
Lokasi yang kami lalui ini memang letaknya lebih rendah dari pemukiman warga dan cenderung lembab dan sedikit gelap. Sempat saya membayangkan kala itu betapa indahnya jalur ini saat masih dilalui kereta api, pasti menyajikan pemandangan yang memanjakan mata. Saya juga merasa beruntung bisa blusukan hingga kepelosok seperti ini karena mungkin beberapa tahun lagi jalur ini akan berubah cerita mengingat rencana pemerintah yang akan mereaktivasi jalur kereta api dari Yogyakarta menuju Borobudur yang kemungkinan juga masih menggunakan jalur ini.


Peserta Jelajah Menelusuri Bekas Jalur Kereta di Blondo Kalitan

Bekas Tiang Telegraf

Bekas Rel Kereta


Bekas Jalur Kereta yang Berubah Menjadi Saluran Air dan Hutan


            Suara deru kendaraan bermotor mulai terdengar ditelinga. Tak terasa perjalanan kamipun sudah tiba di tepi jalan raya. Penjelajahan kamipun mulai berpindah di samping jalan raya Mungkid - Yogyakarta. Kami sempat menyebrang jembatan Kali Elo dimana disana masih terdapat jembatan kereta api yang masih utuh.
            Setelah menyeberangi Kali Elo, peserta jelajah kembali beristirahat sejenak disalah satu halaman rumah warga untuk melepas lelah. Tepat disamping titik kami beristirahat, merupakan lokasi kejadian tabrakan kereta api yang pernah terjadi di tahun 1943 silam. Agak horror memang, karena kejadian tersebut memakan banyak korban jiwa. Sayapun menyempatkan turun kebawah melihat langsung lokasi kejadian kecelakaan. Tiang telegraf dan bekas besi rel kereta pun masih tampak disana meskipun banyak yang tertutup semak belukar dan tanah. Saya juga sempat berfikir, untung kecelakaan kereta api saat itu tidak terjadi di atas jembatan Kali Elo yang hanya berjarak 50 meter dari lokasi kejadian. Bisa dibayangkan jika kecelakaan kereta terjadi diatas Jembatan Kali Elo, pasti akan lebih banyak menimbulkan korban jiwa lagi.

Peserta Jelajah Menuju Jembatan Kali Elo


Bekas Jembatan Kereta Diatas Kali Elo

Bekas Rel Kereta di Halaman Rumah Warga

Peserta Beristirahat di Sekitar Lokasi Kecelakaan Kereta Api Tahun 1943

Lokasi Kecelakaan Kereta Api Tahun 1943
Tampak Tiang Telegraf yang Masih Utuh

Kejadian Kecelakaan Kereta Api Tahun 1943
Sumber: Bagus Priyana

Bekas Rel Kereta yang Masih Tersisa

Foto Bersama Peserta Jelajah

            Hari mulai beranjak siang, perjalananpun kami lanjutkan kembali. Kali ini rute yang kami lewati adalah hutan kayu jati dan area persawahan. Berhubung bekas jalur kereta telah berubah menjadi saluran air dan semak belukar dan tidak memungkinkan untuk dilalui, maka peserta jelajahpun hanya bisa berjalan disamping bekas jalur kereta. Meskipun hari tidak terlalu terik kala itu, namun tenaga kami terasa cukup terkuras. Maklum medan yang kami lalui cukup menantang ditambah jalanan yang becek yang membuat kami harus tetap waspada selama diperjalanan.
            Kamipun tiba diarea persawahan. Kali ini rute yang kami lalui adalah bekas railbaan jalur kereta menuju Blabak. Bekas railbaan tersebut kini dimanfaatkan warga sebagai jalan menuju ke ladang. Bentuknya pun masih utuh dan mudah untuk dikenali. Disepanjang perjalanan, tak satupun bekas rel yang saya jumpai. Yang tampak hanyalah beberapa tiang telegraf yang masih tertancap tegak serta patok milik PT. KAI sebagai penanda. Jika diperhatikan secara seksama, dibekas railbaan yang kami lalui ini sebenarnya masih banyak menyisakan batu ballast yang lazim ada di jalur kereta. Namun kebanyakan batu ballast yang ada sudah tertutup oleh tanah dan rumput. 

Bekas Jalur Kereta yang Tertutup Semak Belukar
dengan Talang Air Melintang Diatasnya

Talang Air yang Melintang Diatas Jalur Kereta

Bekas Jalur Kereta di Area Perkebunan Warga

Bekas Tiang Telegraf

Bekas Pondasi Kecil Jembatan Kereta Api

Bekas Railbaan

Peserta Jelajah Menerjang Semak Belukar

Tak terasa setelah cukup lama menelusuri persawahan dan semak belukar, perjalanan kami akhirnya tiba di jalan raya. Kami telah memasuki wilayah Blabak yang merupakan tujuan akhir dari penjelajahan kami. Sejenak kami beristirahat melepas lelah sebelum menuju Halte Blabak. Didekat lokasi kami beristirahat merupakan titik persilangan jalur kereta api, dimana jalur kereta yang semula berada di kanan jalan berpindah disebelah kiri jalan dari arah Magelang.
            Perjalanan kami lanjutkan menuju Halte Blabak. Sebelum tiba di lokasi halte, terdapat sebuah pabrik kertas dengan ukuran yang cukup besar bernama Pabrik Kertas Blabak. Sayang pabrik yang usianya sudah cukup tua tersebut kini dalam status pailit dan dijual. Menurut referensi yang saya peroleh, pada masanya saat kereta api masih melayani perjalanan di Magelang, terdapat percabangan jalur dari Halte Blabak menuju kedalam pabrik. Hal ini dikarenakan pabrik menggunakan jasa kereta api untuk pasokan bahan baku dan sarana distribusi hasil industrinya. Hal ini lazim terjadi dimasa lalu, dimana banyak industri-industri yang terhubung dengan jalur kereta api sebagai sarana distribusi barang.
            Kurang lebih 100 meter dari Pabrik Blabak, kamipun tiba dilokasi bekas Halte Blabak. Kondisi halte memang sudah banyak berubah. Namun di sekitar bangunan halte kita masih bisa menjumpai bekas jalur kereta yang samar tertutup aspal. Diseberang jalanpun saya juga masih bisa melihat bekas bangunan rumah dinasnya. Halte Blabak kini dimanfaatkan sebagai warung makan.

Bekas Jalur Kereta Menuju Blabak

Pabrik Kertas Blabak yang Pailit

Bekas Percabangan Rel Disamping Halte Blabak dari Pabrik Kertas Blabak 

Bekas Halte Blabak dengan Rel yang Sudah Tertimbun Aspal Jalan Raya

Halte Blabak
Sumber: gethuk-magelang.blogspot.com

Rumah Dinas Halte Blabak


Beranjak dari Halte Blabak, perjalananpun kami lanjutkan ke garis finish yaitu Pemandian Mudal. Lokasinya kurang lebih 200 meter dari Halte Blabak. Dilokasi pemandian tersebut peserta jelajah menikmati suguhan makan siang yang telah disediakan oleh panitia dengan menu spesial tahu kupat Magelang. Sembari melepas lelah dan bersantap siang, para peserta dimanjakan dengan semilir angin dan segarnya air Pemandian Mudal. Menurut cerita, Pemandian Mudal sudah ada sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Hal ini bisa dilihat dari bentuk bangunan yang ada disana. Namun sayang, pemandian yang sarat dengan nilai sejarah tersebut tampak kurang terawat dan terkesan kotor. 


Bangunan Depan Pemandian Mudal

Kolam Pemandian Mudal


            Dengan sampainya rombongan jelajah di Pemandian Mudal, maka berakhir pula jelajah jalur spoor pada hari itu. Berhubung waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua siang, sayapun bergegas meninggalkan rombongan dan berpamitan dari rombongan untuk  kembali melanjutkan perjalanan kembali ke Sragen. Puas sekali rasanya hari itu. Banyak pengalaman dan ilmu yang saya dapatkan selama jelajah. Semoga tahun depan ada kesempatan untuk bergabung kembali di acara jelajah jalur spoor dengan pengalaman yang lebih seru dan menantang tentunya. Sampai jumpa di blusukan selanjutnya.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DIBUANG SAYANG

Peserta yang Penuh Totalitas

Om Telolet Om
By Setiya Heru

Masih Bersemangat
By Halim Santoso

(Bukan) Pasien BPJS Kesehatan
By Pak Widoyoko Magelang

Mulai Lelah
By Pak Widoyoko Magelang

Bersantai Ria
By Pak Widoyoko Magelang

Terlalu Lelah untuk Tersenyum
By Halim Santoso

3S (Solo – Sukoharjo – Sragen)
by Setiya Heru

"TERIMA KASIH KEPADA KOMUNITAS KOTA TOEA MAGELANG"


------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PRIMA UTAMA / 2017 / WA: 085725571790 / FB, EMAIL: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama 










































2 komentar: