MENCARI
JEJAK JALUR KERETA SOLO – BOYOLALI HINGGA TRAM DALAM
KOTA SOLO
Seringkali
melintas di sekitar Stasiun Purwosari, tampak satu jalur kereta yang aneh
menurut saya. Jalur tersebut tepat berada disebelah barat stasiun menuju ke
jalur lambat. Sempat mengira bahwa jalur itu dulunya hanyalah bekas jalur
langsir kereta yang singgah di Stasiun Purwosari. Akan tetapi kecurigaan saya
bertambah ketika dulu saat masih tinggal di Semarang sering melewati daerah
Kartasura, saya sering melihat bekas rel kereta api melintas di area tersebut.
Waktu itu saya tidak berfikir jauh mengenai bekas rel tersebut. Barulah
belakangan ini ketika membaca sebuah artikel mengenai Stasiun Purwosari,
ternyata di stasiun tersebut dahulu pernah memiliki jalur menuju Stasiun Boyolali.
Berdasarkan informasi tersebut, saya
mencoba mencari artikel-artikel yang berkaitan dengan sejarah kereta api di
Boyolali. Ternyata benar, bahwa dahulu Kabupaten Boyolali pernah memiliki
stasiun kereta api. Berbekal info yang saya miliki tersebut, saya mencoba untuk
menelusuri sisa-sisa jalur kereta api di Boyolali.
Sejarah
Singkat
Jalur Solo –
Boyolali adalah jalur kereta yang merupakan perpanjangan jalur dari Stasiun
Purwosari Solo hingga Stasiun Kartosuro di Sukoharjo yang memiliki panjang 4
kilometer, kemudian jalur tersebut diperpanjang hingga Boyolali sejauh 23
kilometer dan dibuka pada tahun 1911. Perusahaan yang mengelola jalur ini
adalah perusahaan tram swasta Solosche Tramweg Maatschappij (SoTM)
yang memiliki lebar rel (gauge) 1067 milimeter. Pembukaan jalur ini selain
untuk angkutan penumpang juga diperuntukkan untuk angkutan distribusi barang
dan kebutuhan industri seperti angkutan PG Bangak yang ada di Boyolali.
Pada
mulanya SoTM menggunakan kuda untuk menarik gerbong, akan tetapi pada tahun
1905 jalur ini diambil alih oleh NISM dan mengganti tenaga kuda dengan mesin
uap. Selain itu jalur yang pada mulanya berakhir hingga Pasar Sunggingan
kemudian diperpendek hanya sampai Pasar Kota Boyolali. Tercatat ada beberapa
halte dan stasiun yang berada di antara Stasiun Purwosari hingga Stasiun Boyolali,
diantaranya adalah: Halte Gembongan, Stasiun Kartosuro, Halte Bangak, Halte
Banyudono, Halte Mojosongo, dan Stasiun Boyolali.
Peta Jalur
Kereta Solo – Boyolali
Sumber: kitlv.nl
Pusat Tram Tahun
1900
Sumber: kitlv.nl
Sebuah Tram
Melintas di Area Ladang Tebu
Sumber: kitlv.nl
Sebuah Tram
Melintas Diatas Jembatan Tahun 1900
Sumber: kitlv.nl
Memulai
Blusukan
Blusukan kali
ini saya lakukan pada hari Minggu tanggal 14 September 2014. Tepat pukul enam
pagi saya berangkat menuju Stasiun Purwosari. Kali ini saya mengambil titik start dari Stasiun Purwosari karena di
area tersebut masih mudah untuk mencari jejak bekas rel menuju Kartosuro. Bekas
jalur kereta menuju Kartosuro dari Stasiun Purwosari berada di jalur lambat.
Tidak semua bekas rel bisa saya temukan karena sebagian besar rel telah
tertutup oleh taman kota yang berada di pinggir jalan.
Selama
perjalanan menyusuri rel di jalur lambat, beberapa kali saya menemukan patok dari potongan rel yang terletak di
jalur hijau. Patok tersebut sengaja di tancapkan sebagai penanda bekas jalur
kereta yang kini menjadi aset milik PT. KAI. Perjalanan saya terhenti di Pasar
Sidodadi Solo. Di titik inilah jejak terakhir jalur menuju Kartosuro bisa saya
temui. Disamping pasar, saya juga menjumpai plang milik PT. KAI yang menandakan
bahwa wilayah tersebut masih menjadi aset milik PT. KAI. Dengan berbekal peta
yang saya miliki, perjalanan pun saya lanjutkan ke arah barat menuju Kartosuro
untuk mencari bekas dari Stasiun Kartosuro yang menurut info kini telah berubah
menjadi warung sate.
Stasiun
Purwosari
Sumber: Tropen
Museum
Bekas Jalur
Kereta dari Stasiun Purwosari
Bekas Jalur dari
Stasiun Purwosari Menuju Kartosuro
Bekas Rel di
Kleco Solo
Rel Kereta
Menuju Kartosuro di Kleco Solo
Sumber: kitlv.nl
Bekas Rel
Disamping Pasar Sidodadi Solo
Setibanya
di daerah Kartosuro, saya mulai berjalan pelan untuk mencari letak bekas Stasiun
Kartosuro. Tepat di depan Pasar Kartosuro saya menemukan warung sate yang
bangunannya tidak asing bagi saya. Benar saja, setelah saya amati bangunan
tersebut ternyata adalah bekas Stasiun Kartosuro yang saya cari. Harus jeli
memang mengingat di kawasan tersebut sudah menjadi kawasan pertokoan yang
ramai. Yang menjadi penanda jelas bahwa dulunya bangunan itu adalah sebuah
stasiun adalah adanya plang milik PT. KAI yang tertancap di samping stasiun
dengan logo lama. Namun apabila diamati lebih teliti, sebenarnya di bangunan
stasiun tersebut masih terdapat plang kayu nama stasiun yang bertuliskan
“Kartasura” yang terletak di atas bangunan. Akan tetapi tulisan tersebut sudah
tidak begitu jelas dan tertutup papan reklame.
Tepat
dibelakang bangunan stasiun saya masih bisa menemukan sebuah rumah yang merupakan
bekas rumah dinas kepala stasiun. Bangunan itu sekarang tidak berpenghuni.
Berikutnya saya mencoba mencari sisa-sisa rel yang mungkin masih terlihat di
sekitar stasiun. Tak mudah memang, karena kawasan tersebut telah berubah
menjadi kawasan pertokoan yang padat dan jalan trotoar pun sudah tertutup
paving dan semen. Berjalan ke barat mendekati jembatan penyeberangan yang tak
jauh dari bekas stasiun, saya menemukan trotoar yang kebetulan lapisan semennya
sedikit terkelupas dan disana saya menemukan besi memanjang yang menurut saya
adalah bekas jalur kereta menuju ke Boyolali.
Bekas Stasiun
Kartosuro
Plang Nama
Stasiun Kartosuro
Sumber:
semboyan35.com
Bekas Rel Menuju
Boyolali
Perjalananpun
saya lanjutkan menuju ke Boyolali. Sampai di daerah Kranggan sesuai peta, jalur
kereta menyeberang ke arah selatan jalan raya. Disana saya berusaha mencari
bekas-bekas rel yang masih tersisa, akan tetapi saya tidak berhasil
menemukannya. Bekas jalur kereta sekarang telah tertutup aspal apalagi dengan
tebalnya aspal jalan menuju Boyolali dan adanya pelebaran jalan tentu sangat
susah menemukan bekas rel di area tersebut. Akhirnya perjalanan saya lanjutkan menuju
ke Kota Boyolali mencari bekas Stasiun Boyolali.
Masuk dalam Kota Boyolali,
perjalanan saya lanjutkan menyusuri jalan Perintis Kemerdekaan atau pertigaan
Ngangkruk. Sesuai peta, jalur kereta berbelok ke kiri menuju daerah Bakulan.
Tak berselang jauh dari pertigaan Ngangkruk, akhirnya saya tiba di Kampung
Bakulan. Sesuai dengan jalur yang ada di peta bahwa jalur kereta melintas di
area ini. Disamping lapangan voli yang terletak di kampung tersebut, saya
sempat berhenti sejenak untuk mengamati jalan kampung. Hipotesa saya mengatakan
bahwa jalan yang saya lalui ini dulunya adalah jalur kereta seperti yang tertera
pada peta. Hal ini diperkuat dengan adanya tikungan yang ada di depan saya yang
sudutnya membentuk tikungan seperti jalur kereta api.
Bekas
Jalur Kereta Menuju Kampung Bakulan
Bekas
Jalur Kereta di Kampung Bakulan
Selang
beberapa saat ada dua nenek-nenek yang berusia kira-kira 80 tahunan melintas di
dekat lapangan voli. Dengan rasa penasaran yang tinggi saya mencoba menggali
informasi dari nenek tersebut. “Dulu
jalur keretanya nggih mriki Mas, dalan kampung mriki mengke menggok dugi daerah
Sepuran mriko”. Terang nenek tersebut dengan Bahasa Jawa. Berbekal
informasi tersebut, perjalanan saya lanjutkan mencari daerah Sepuran.
Terus
menyusuri jalan kampung akhirnya perjalanan saya tiba di Kampung Driyan yang
letaknya bersebelahan dengan Kampung Bakulan. Dari Kampung Driyan rel berbelok
tajam ke kanan melintasi Jalan Nanas. Di Jalan Nanas, tepatnya di sebelah kiri
jalan, berdiri SD Siswodipuran I yang menurut informasi yang saya peroleh jalur
kereta menembus bangunan SD tersebut. Saya pun bergegas menuju belakang
bangunan SD melalui gang kecil yang ada disebelah bangunan sekolah tersebut.
Benar saja, di gang kecil yang saya lewati tersebut saya menemukan patok milik
PT. KAI yang tertancap di samping gang.
Bekas
Jalur Kereta Berbelok ke Kanan Melintas di Jalan Nanas
Patok
Milik PT. KAI Disamping SD Siswodipuran I
Sesampainya
di halaman belakang SD, saya menjadi semakin bingung karena menurut peta yang
ada jalur kereta bercabang menjadi dua meskipun sama-sama menuju ke Stasiun
Boyolali. Penelusuran saya lanjutkan di sekitar area tersebut dengan harapan
saya bisa menemukan petunjuk. Dari area yang ada di belakang halaman SD
Siswodipuran I terdapat jalur yang masuk kedalam gang kecil tepatnya disamping
Puskesmas Pembantu (Pustu) Siswodipuran dan jalur yang menuju kejalan raya atau
Jalan Jambu. Akhirnya saya putuskan untuk mencoba jalur ke arah jalan raya atau
Jalan Jambu terlebih dahulu. Dan benar saja saya menemukan empat patok milik
PT. KAI sekaligus yang tertancap di perempatan jalan tepat di samping Balai
Desa Siswodipuran.
Saya
kemudian kembali ke lokasi persimpangan jalur kereta yang saya perkirakan
berada di belakang SD Siswodipuran I. Kali ini saya mencoba masuk ke dalam gang
yang berada tepat di samping Puskesmas Pembantu (Pustu) Siswodipuran.
Dibelakang Pustu berdiri sebuah masjid yang bernama Masjid As-Sakinah yang
menurut info yang saya dapatkan dulu bekas rel melintas di bangunan masjid
tersebut. Setelah bangunan masjid, jalan gang menikung ke kanan dan disana saya
kembali menemukan patok milik PT. KAI lagi.
Titik
Percabangan Jalur di Belakang SD Siswodipuran I
Bekas
Patok Milik PT. KAI di Jalan Jambu
Patok
Milik PT. KAI di Samping Masjid As-Sakinah
Perjalananpun
saya lanjutkan melintasi Jalan Jambu dan terus masuk ke dalam gang. Disana saya
menemukan sebuah patok milik PT. KAI tertancap di depan rumah warga. Terus
masuk kedalam gang, akhirnya saya tiba di ujung gang yang merupakan bagian
belakang dari Panti Marhaen yang menurut info yang saya dapatkan disinilah dulunya
Stasiun Boyolali berdiri. Tak banyak yang bisa saya temui disana, karena
bangunan sekitar merupakan bangunan baru. Mungkin orang tidak akan menyangka
bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan kawasan stasiun.
Sayapun
berjalan menuju ke bagian depan panti dengan harapan masih bisa menemukan jejak
bekas Stasiun Boyolali. Sesampainya di bagian depan bangunan panti, ternyata
kondisinya pun tidaklah jauh berbeda. Semuanya telah di dominasi oleh bangunan
baru. Bahkan halaman panti pun kini sudah ditutupi semen sehingga tidaklah
memungkinkan menemukan petunjuk yang berkaitan dengan peninggalan Stasiun
Boyolali. Di area tersebutlah jalur kereta api dari Solo menuju Boyolali
berakhir. Sebenarnya dahulu jalur kereta memanjang hingga Pasar Boyolali yang
diperuntukkan sebagai gudang. Namun semenjak jalur tersebut diambil alih oleh
NIS, maka jalur kereta diperpendek hingga Stasiun Boyolali saja.
Patok
Milik PT. KAI di Sepuran
Halaman
Belakang Panti Marhaen (Eks Stasiun Boyolali)
Lokasi
Bekas Stasiun Boyolali
Stasiun Boyolali
Tempo Dulu
Sumber: kitlv.nl
Puas
mencari informasi seputar Stasiun Boyolali, perjalanan saya lanjutkan menuju
daerah Mojosongo yang searah dengan perjalanan pulang saya menuju Solo. Di
Mojosongo, bekas jalur kereta berada di selatan jalan raya. Hal ini lah yang
membuat saya memilih melakukan blusukan di area ini pada bagian akhir
perjalanan karena searah dengan perjalanan saya pulang. Tidaklah sulit
menemukan bekas jalur kereta dilokasi ini. Area ini terletak di sebelah gardu
induk milik PLN atau tepatnya di depan Kantor Kecamatan Mojosongo. Disana
terdapat plang milik PT. KAI yang menjadi penanda bahwa tanah disekitar area
tersebut merupakan milik PT. KAI.
Bekas
jalur kereta masih sangat terlihat di area ini. Tanda-tanda tersebut masih bisa
diamati dari lebar jalan dan kontur tanah yang menyerupai jalur kereta api.
Bekas jalur kereta kini telah dijadikan jalan kampung oleh masyarakat sekitar.
Lokasi jalur kereta sebenarnya berada di samping jalan raya, akan tetapi kini
telah dipisahkan oleh deretan ruko dan rumah milik warga sekitar.
Bekas Jalur
Kereta di Mojosongo
Perjalanan
saya lanjutkan kearah timur menyusuri jalan kampung yang sejajar dengan jalan
raya. Sesampainya di perempatan jalan atau lebih tepatnya di Desa Masahan, saya
kembali menjumpai plang milik PT. KAI tertancap dipinggir jalan. Disini saya
sempat menanyakan informasi kepada warga sekitar mengenai jalur kereta yang
pernah melintas diarea tersebut. Namun dari semua warga yang saya tanyai tidak ada
yang mengetahui mengenai hal tersebut.
Bekas Jalur
Kereta di Masahan
Terus
berjalan kearah timur menyusuri jalan kampung, akhirnya saya tiba di Desa
Ngadirejo. Disana saya sempat bertemu dengan seorang warga yang kebetulan
sedang menyapu teras rumah dan menurut perkiraan saya usianya kurang lebih
berkisar 80 an tahun. Saya menanyakan beberapa hal kepada kakek tersebut,
diantaranya apakah benar jalan kampung yang saya lewati tadi adalah bekas rel
kereta api. Kakek tersebut membenarkan pertanyaan saya. Beliau menjelaskan
bahwa dahulu sewaktu ia masih kecil di depan rumahnya terdapat rel kereta api
dari Solo hingga Boyolali. Tetapi beliau hanya melihat sebentar saja kereta
melintas di jalur tersebut. Setelah itu beliau sudah tidak pernah lagi melihat
kereta melintas di jalur tersebut hingga akhirnya rel dicabuti oleh warga
sekitar.
Ketika
saya menanyakan tahun berapa kira-kira kereta terakhir melintas di depan
rumahnya, beliau tidak bisa mengingatnya. Hanya saja beliau memperkiraan tidak
lama setelah Indonesia merdeka sudah tidak ada kereta yang melintas. Saya pun turut menanyakan letak beberapa
stasiun dan halte yang ada dijalur
tersebut termasuk Stasiun Mojosongo dan Halte Banyudono, akan tetapi
beliau tidak tahu mengenai hal itu. “Saya
tahu kalau dulu ada stasiun di Mojosongo, tapi saya tidak tahu persis letaknya,
Mas”. Terang kakek tersebut sambil mengingat-ingat. Beliau hanya memberikan
perkiraan letak Stasiun Mojosongo berada di sekitar Puskesmas Mojosongo. Merasa
cukup dengan informasi yang saya peroleh, saya pun berpamitan dan kembali
melanjutkan perjalanan.
Perjalanan
saya lanjutkan menyusuri jalanan kampung dan berakhir di Polres Boyolali.
Setelah itu perjalanan saya lanjutkan kearah timur. Disepanjang jalan saya
sudah tidak bisa menemukan lagi sisa-sisa dari jalur kereta Solo – Boyolali
karena sebagian besar telah berubah menjadi kawasan pemukiman dan pertokoan
serta telah tertutup oleh pelebaran jalan raya. Akhirnya saya memutuskan untuk
kembali ke Solo. Kurang lebih pukul sebelas siang saya tiba di Solo.
Setibanya
di Solo saya teringat akan sejarah tram dalam kota yang pernah ada di Solo.
Menurut beberapa artikel yang saya baca, dulu di Kota Solo pernah memiliki tram
dalam kota yang menggunakan kuda sebagai tenaga penariknya. Jalur tersebut
membentang dari Stasiun Solo Kota atau Sangkrah hingga Stasiun Jebres melintas
di depan Pasar Gede. Hal ini sejalan dengan peta lawas yang saya miliki yang
menunjukkan adanya jalur kereta terhubung antara Stasiun Solo Kota dengan
Stasiun Jebres. Mungkin kala itu tram ditujukan untuk mendukung mobilitas
harian masyarakat Solo yang ingin bepergian atau berdagang karena jalur
tersebut melintas di pusat-pusat ekonomi Kota Solo.
Di
era kepemimimpinan Joko Widodo saat masih menjabat sebagai Walikota Solo,
sempat ada wacana untuk menghidupkan jalur tram tersebut. Rencananya jalur tram
tersebut selain diperuntukkan untuk moda transportasi alternatif bagi
masyarakat juga digunakan sebagai tram wisata di Kota Solo. Akan tetapi sayang
rencana reaktivasi jalur tram tersebut kini urung dilakukan karena memiliki
banyak faktor kendala seperti bekas jalur tram yang sudah berubah menjadi
kawasan pemukiman penduduk dan kondisi jalan raya yang sudah terlalu padat.
Peta Tram Dalam
Kota Solo
Sumber: kitlv.nl
Stasiun Solo
Kota (Sangkrah)
Tram Kuda
Melintas di Area Pasar Gede Solo
Sumber: kitlv.nl
Tram Melintas di
Kota Solo Tahun 1900
Sumber: kitlv.nl
Perkiraan Jalur
Tram di Stasiun Jebres Tahun 1930
Sumber: kitlv.nl
Stasiun
Solo Jebres
Kini tak banyak yang tersisa dari
keberadaan jalur tram dalam kota yang pernah ada di Solo, terutama jejak jalur
dari Stasiun Solo Kota hingga Stasiun Jebres. Yang masih bisa kita saksikan
saat ini hanyalah jalur kereta yang berada di Jalan Slamet Riyadi yang dulu
merupakan jalur penghubung tram antara Stasiun Purwosari dan Stasiun Solo Kota.
________________________________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
________________________________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama