Rabu, 08 Oktober 2014

JALUR KERETA SOLO - BOYOLALI & TRAM KOTA SOLO

MENCARI  JEJAK  JALUR KERETA SOLO – BOYOLALI HINGGA TRAM DALAM KOTA SOLO

Seringkali melintas di sekitar Stasiun Purwosari, tampak satu jalur kereta yang aneh menurut saya. Jalur tersebut tepat berada disebelah barat stasiun menuju ke jalur lambat. Sempat mengira bahwa jalur itu dulunya hanyalah bekas jalur langsir kereta yang singgah di Stasiun Purwosari. Akan tetapi kecurigaan saya bertambah ketika dulu saat masih tinggal di Semarang sering melewati daerah Kartasura, saya sering melihat bekas rel kereta api melintas di area tersebut. Waktu itu saya tidak berfikir jauh mengenai bekas rel tersebut. Barulah belakangan ini ketika membaca sebuah artikel mengenai Stasiun Purwosari, ternyata di stasiun tersebut dahulu pernah memiliki jalur menuju Stasiun Boyolali.
            Berdasarkan informasi tersebut, saya mencoba mencari artikel-artikel yang berkaitan dengan sejarah kereta api di Boyolali. Ternyata benar, bahwa dahulu Kabupaten Boyolali pernah memiliki stasiun kereta api. Berbekal info yang saya miliki tersebut, saya mencoba untuk menelusuri sisa-sisa jalur kereta api di Boyolali.

Sejarah Singkat
            Jalur Solo – Boyolali adalah jalur kereta yang merupakan perpanjangan jalur dari Stasiun Purwosari Solo hingga Stasiun Kartosuro di Sukoharjo yang memiliki panjang 4 kilometer, kemudian jalur tersebut diperpanjang hingga Boyolali sejauh 23 kilometer dan dibuka pada tahun 1911. Perusahaan yang mengelola jalur ini adalah perusahaan  tram swasta Solosche Tramweg Maatschappij (SoTM) yang memiliki lebar rel (gauge) 1067 milimeter. Pembukaan jalur ini selain untuk angkutan penumpang juga diperuntukkan untuk angkutan distribusi barang dan kebutuhan industri seperti angkutan PG Bangak yang ada di Boyolali.

Pada mulanya SoTM menggunakan kuda untuk menarik gerbong, akan tetapi pada tahun 1905 jalur ini diambil alih oleh NISM dan mengganti tenaga kuda dengan mesin uap. Selain itu jalur yang pada mulanya berakhir hingga Pasar Sunggingan kemudian diperpendek hanya sampai Pasar Kota Boyolali. Tercatat ada beberapa halte dan stasiun yang berada di antara Stasiun Purwosari hingga Stasiun Boyolali, diantaranya adalah: Halte Gembongan, Stasiun Kartosuro, Halte Bangak, Halte Banyudono, Halte Mojosongo, dan Stasiun Boyolali.

Peta Jalur Kereta Solo – Boyolali
Sumber: kitlv.nl

Pusat Tram Tahun 1900
Sumber: kitlv.nl

Sebuah Tram Melintas di Area Ladang Tebu
Sumber: kitlv.nl

Sebuah Tram Melintas Diatas Jembatan Tahun 1900
Sumber: kitlv.nl


Memulai Blusukan
           
            Blusukan kali ini saya lakukan pada hari Minggu tanggal 14 September 2014. Tepat pukul enam pagi saya berangkat menuju Stasiun Purwosari. Kali ini saya mengambil titik start dari Stasiun Purwosari karena di area tersebut masih mudah untuk mencari jejak bekas rel menuju Kartosuro. Bekas jalur kereta menuju Kartosuro dari Stasiun Purwosari berada di jalur lambat. Tidak semua bekas rel bisa saya temukan karena sebagian besar rel telah tertutup oleh taman kota yang berada di pinggir jalan.
Selama perjalanan menyusuri rel di jalur lambat, beberapa kali saya menemukan  patok dari potongan rel yang terletak di jalur hijau. Patok tersebut sengaja di tancapkan sebagai penanda bekas jalur kereta yang kini menjadi aset milik PT. KAI. Perjalanan saya terhenti di Pasar Sidodadi Solo. Di titik inilah jejak terakhir jalur menuju Kartosuro bisa saya temui. Disamping pasar, saya juga menjumpai plang milik PT. KAI yang menandakan bahwa wilayah tersebut masih menjadi aset milik PT. KAI. Dengan berbekal peta yang saya miliki, perjalanan pun saya lanjutkan ke arah barat menuju Kartosuro untuk mencari bekas dari Stasiun Kartosuro yang menurut info kini telah berubah menjadi warung sate.

Stasiun Purwosari
Sumber: Tropen Museum

Bekas Jalur Kereta dari Stasiun Purwosari

Bekas Jalur dari Stasiun Purwosari Menuju Kartosuro

Bekas Rel di Kleco Solo

Rel Kereta Menuju Kartosuro di Kleco Solo
Sumber: kitlv.nl

Bekas Rel Disamping Pasar Sidodadi Solo

Setibanya di daerah Kartosuro, saya mulai berjalan pelan untuk mencari letak bekas Stasiun Kartosuro. Tepat di depan Pasar Kartosuro saya menemukan warung sate yang bangunannya tidak asing bagi saya. Benar saja, setelah saya amati bangunan tersebut ternyata adalah bekas Stasiun Kartosuro yang saya cari. Harus jeli memang mengingat di kawasan tersebut sudah menjadi kawasan pertokoan yang ramai. Yang menjadi penanda jelas bahwa dulunya bangunan itu adalah sebuah stasiun adalah adanya plang milik PT. KAI yang tertancap di samping stasiun dengan logo lama. Namun apabila diamati lebih teliti, sebenarnya di bangunan stasiun tersebut masih terdapat plang kayu nama stasiun yang bertuliskan “Kartasura” yang terletak di atas bangunan. Akan tetapi tulisan tersebut sudah tidak begitu jelas dan tertutup papan reklame.
Tepat dibelakang bangunan stasiun saya masih bisa menemukan sebuah rumah yang merupakan bekas rumah dinas kepala stasiun. Bangunan itu sekarang tidak berpenghuni. Berikutnya saya mencoba mencari sisa-sisa rel yang mungkin masih terlihat di sekitar stasiun. Tak mudah memang, karena kawasan tersebut telah berubah menjadi kawasan pertokoan yang padat dan jalan trotoar pun sudah tertutup paving dan semen. Berjalan ke barat mendekati jembatan penyeberangan yang tak jauh dari bekas stasiun, saya menemukan trotoar yang kebetulan lapisan semennya sedikit terkelupas dan disana saya menemukan besi memanjang yang menurut saya adalah bekas jalur kereta menuju ke Boyolali.

Bekas Stasiun Kartosuro

Plang Nama Stasiun Kartosuro
Sumber: semboyan35.com

Bekas Rel Menuju Boyolali

Perjalananpun saya lanjutkan menuju ke Boyolali. Sampai di daerah Kranggan sesuai peta, jalur kereta menyeberang ke arah selatan jalan raya. Disana saya berusaha mencari bekas-bekas rel yang masih tersisa, akan tetapi saya tidak berhasil menemukannya. Bekas jalur kereta sekarang telah tertutup aspal apalagi dengan tebalnya aspal jalan menuju Boyolali dan adanya pelebaran jalan tentu sangat susah menemukan bekas rel di area tersebut. Akhirnya perjalanan saya lanjutkan menuju ke Kota Boyolali mencari bekas Stasiun Boyolali.
            Masuk dalam Kota Boyolali, perjalanan saya lanjutkan menyusuri jalan Perintis Kemerdekaan atau pertigaan Ngangkruk. Sesuai peta, jalur kereta berbelok ke kiri menuju daerah Bakulan. Tak berselang jauh dari pertigaan Ngangkruk, akhirnya saya tiba di Kampung Bakulan. Sesuai dengan jalur yang ada di peta bahwa jalur kereta melintas di area ini. Disamping lapangan voli yang terletak di kampung tersebut, saya sempat berhenti sejenak untuk mengamati jalan kampung. Hipotesa saya mengatakan bahwa jalan yang saya lalui ini dulunya adalah jalur kereta seperti yang tertera pada peta. Hal ini diperkuat dengan adanya tikungan yang ada di depan saya yang sudutnya membentuk tikungan seperti jalur kereta api.

Bekas Jalur Kereta Menuju Kampung Bakulan

Bekas Jalur Kereta di Kampung Bakulan

Selang beberapa saat ada dua nenek-nenek yang berusia kira-kira 80 tahunan melintas di dekat lapangan voli. Dengan rasa penasaran yang tinggi saya mencoba menggali informasi dari nenek tersebut. “Dulu jalur keretanya nggih mriki Mas, dalan kampung mriki mengke menggok dugi daerah Sepuran mriko”. Terang nenek tersebut dengan Bahasa Jawa. Berbekal informasi tersebut, perjalanan saya lanjutkan mencari daerah Sepuran.
Terus menyusuri jalan kampung akhirnya perjalanan saya tiba di Kampung Driyan yang letaknya bersebelahan dengan Kampung Bakulan. Dari Kampung Driyan rel berbelok tajam ke kanan melintasi Jalan Nanas. Di Jalan Nanas, tepatnya di sebelah kiri jalan, berdiri SD Siswodipuran I yang menurut informasi yang saya peroleh jalur kereta menembus bangunan SD tersebut. Saya pun bergegas menuju belakang bangunan SD melalui gang kecil yang ada disebelah bangunan sekolah tersebut. Benar saja, di gang kecil yang saya lewati tersebut saya menemukan patok milik PT. KAI yang tertancap di samping gang.

Bekas Jalur Kereta Berbelok ke Kanan Melintas di Jalan Nanas

Patok Milik PT. KAI Disamping SD Siswodipuran I

Sesampainya di halaman belakang SD, saya menjadi semakin bingung karena menurut peta yang ada jalur kereta bercabang menjadi dua meskipun sama-sama menuju ke Stasiun Boyolali. Penelusuran saya lanjutkan di sekitar area tersebut dengan harapan saya bisa menemukan petunjuk. Dari area yang ada di belakang halaman SD Siswodipuran I terdapat jalur yang masuk kedalam gang kecil tepatnya disamping Puskesmas Pembantu (Pustu) Siswodipuran dan jalur yang menuju kejalan raya atau Jalan Jambu. Akhirnya saya putuskan untuk mencoba jalur ke arah jalan raya atau Jalan Jambu terlebih dahulu. Dan benar saja saya menemukan empat patok milik PT. KAI sekaligus yang tertancap di perempatan jalan tepat di samping Balai Desa Siswodipuran.
Saya kemudian kembali ke lokasi persimpangan jalur kereta yang saya perkirakan berada di belakang SD Siswodipuran I. Kali ini saya mencoba masuk ke dalam gang yang berada tepat di samping Puskesmas Pembantu (Pustu) Siswodipuran. Dibelakang Pustu berdiri sebuah masjid yang bernama Masjid As-Sakinah yang menurut info yang saya dapatkan dulu bekas rel melintas di bangunan masjid tersebut. Setelah bangunan masjid, jalan gang menikung ke kanan dan disana saya kembali menemukan patok milik PT. KAI lagi.

Titik Percabangan Jalur di Belakang SD Siswodipuran I

Bekas Patok Milik PT. KAI di Jalan Jambu

Patok Milik PT. KAI di Samping Masjid As-Sakinah

Perjalananpun saya lanjutkan melintasi Jalan Jambu dan terus masuk ke dalam gang. Disana saya menemukan sebuah patok milik PT. KAI tertancap di depan rumah warga. Terus masuk kedalam gang, akhirnya saya tiba di ujung gang yang merupakan bagian belakang dari Panti Marhaen yang menurut info yang saya dapatkan disinilah dulunya Stasiun Boyolali berdiri. Tak banyak yang bisa saya temui disana, karena bangunan sekitar merupakan bangunan baru. Mungkin orang tidak akan menyangka bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan kawasan stasiun.
Sayapun berjalan menuju ke bagian depan panti dengan harapan masih bisa menemukan jejak bekas Stasiun Boyolali. Sesampainya di bagian depan bangunan panti, ternyata kondisinya pun tidaklah jauh berbeda. Semuanya telah di dominasi oleh bangunan baru. Bahkan halaman panti pun kini sudah ditutupi semen sehingga tidaklah memungkinkan menemukan petunjuk yang berkaitan dengan peninggalan Stasiun Boyolali. Di area tersebutlah jalur kereta api dari Solo menuju Boyolali berakhir. Sebenarnya dahulu jalur kereta memanjang hingga Pasar Boyolali yang diperuntukkan sebagai gudang. Namun semenjak jalur tersebut diambil alih oleh NIS, maka jalur kereta diperpendek hingga Stasiun Boyolali saja.

Patok Milik PT. KAI di Sepuran

Halaman Belakang Panti Marhaen (Eks Stasiun Boyolali)

Lokasi Bekas Stasiun Boyolali

Stasiun Boyolali Tempo Dulu
Sumber: kitlv.nl

Puas mencari informasi seputar Stasiun Boyolali, perjalanan saya lanjutkan menuju daerah Mojosongo yang searah dengan perjalanan pulang saya menuju Solo. Di Mojosongo, bekas jalur kereta berada di selatan jalan raya. Hal ini lah yang membuat saya memilih melakukan blusukan di area ini pada bagian akhir perjalanan karena searah dengan perjalanan saya pulang. Tidaklah sulit menemukan bekas jalur kereta dilokasi ini. Area ini terletak di sebelah gardu induk milik PLN atau tepatnya di depan Kantor Kecamatan Mojosongo. Disana terdapat plang milik PT. KAI yang menjadi penanda bahwa tanah disekitar area tersebut merupakan milik PT. KAI.
Bekas jalur kereta masih sangat terlihat di area ini. Tanda-tanda tersebut masih bisa diamati dari lebar jalan dan kontur tanah yang menyerupai jalur kereta api. Bekas jalur kereta kini telah dijadikan jalan kampung oleh masyarakat sekitar. Lokasi jalur kereta sebenarnya berada di samping jalan raya, akan tetapi kini telah dipisahkan oleh deretan ruko dan rumah milik warga sekitar.

Bekas Jalur Kereta di Mojosongo

Perjalanan saya lanjutkan kearah timur menyusuri jalan kampung yang sejajar dengan jalan raya. Sesampainya di perempatan jalan atau lebih tepatnya di Desa Masahan, saya kembali menjumpai plang milik PT. KAI tertancap dipinggir jalan. Disini saya sempat menanyakan informasi kepada warga sekitar mengenai jalur kereta yang pernah melintas diarea tersebut. Namun dari semua warga yang saya tanyai tidak ada yang mengetahui mengenai hal tersebut.

Bekas Jalur Kereta di Masahan

Terus berjalan kearah timur menyusuri jalan kampung, akhirnya saya tiba di Desa Ngadirejo. Disana saya sempat bertemu dengan seorang warga yang kebetulan sedang menyapu teras rumah dan menurut perkiraan saya usianya kurang lebih berkisar 80 an tahun. Saya menanyakan beberapa hal kepada kakek tersebut, diantaranya apakah benar jalan kampung yang saya lewati tadi adalah bekas rel kereta api. Kakek tersebut membenarkan pertanyaan saya. Beliau menjelaskan bahwa dahulu sewaktu ia masih kecil di depan rumahnya terdapat rel kereta api dari Solo hingga Boyolali. Tetapi beliau hanya melihat sebentar saja kereta melintas di jalur tersebut. Setelah itu beliau sudah tidak pernah lagi melihat kereta melintas di jalur tersebut hingga akhirnya rel dicabuti oleh warga sekitar.
Ketika saya menanyakan tahun berapa kira-kira kereta terakhir melintas di depan rumahnya, beliau tidak bisa mengingatnya. Hanya saja beliau memperkiraan tidak lama setelah Indonesia merdeka sudah tidak ada kereta yang melintas.  Saya pun turut menanyakan letak beberapa stasiun dan halte yang ada dijalur  tersebut termasuk Stasiun Mojosongo dan Halte Banyudono, akan tetapi beliau tidak tahu mengenai hal itu. “Saya tahu kalau dulu ada stasiun di Mojosongo, tapi saya tidak tahu persis letaknya, Mas”. Terang kakek tersebut sambil mengingat-ingat. Beliau hanya memberikan perkiraan letak Stasiun Mojosongo berada di sekitar Puskesmas Mojosongo. Merasa cukup dengan informasi yang saya peroleh, saya pun berpamitan dan kembali melanjutkan perjalanan.
Perjalanan saya lanjutkan menyusuri jalanan kampung dan berakhir di Polres Boyolali. Setelah itu perjalanan saya lanjutkan kearah timur. Disepanjang jalan saya sudah tidak bisa menemukan lagi sisa-sisa dari jalur kereta Solo – Boyolali karena sebagian besar telah berubah menjadi kawasan pemukiman dan pertokoan serta telah tertutup oleh pelebaran jalan raya. Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke Solo. Kurang lebih pukul sebelas siang saya tiba di Solo.
Setibanya di Solo saya teringat akan sejarah tram dalam kota yang pernah ada di Solo. Menurut beberapa artikel yang saya baca, dulu di Kota Solo pernah memiliki tram dalam kota yang menggunakan kuda sebagai tenaga penariknya. Jalur tersebut membentang dari Stasiun Solo Kota atau Sangkrah hingga Stasiun Jebres melintas di depan Pasar Gede. Hal ini sejalan dengan peta lawas yang saya miliki yang menunjukkan adanya jalur kereta terhubung antara Stasiun Solo Kota dengan Stasiun Jebres. Mungkin kala itu tram ditujukan untuk mendukung mobilitas harian masyarakat Solo yang ingin bepergian atau berdagang karena jalur tersebut melintas di pusat-pusat ekonomi Kota Solo.
Di era kepemimimpinan Joko Widodo saat masih menjabat sebagai Walikota Solo, sempat ada wacana untuk menghidupkan jalur tram tersebut. Rencananya jalur tram tersebut selain diperuntukkan untuk moda transportasi alternatif bagi masyarakat juga digunakan sebagai tram wisata di Kota Solo. Akan tetapi sayang rencana reaktivasi jalur tram tersebut kini urung dilakukan karena memiliki banyak faktor kendala seperti bekas jalur tram yang sudah berubah menjadi kawasan pemukiman penduduk dan kondisi jalan raya yang sudah terlalu padat.

Peta Tram Dalam Kota Solo
Sumber: kitlv.nl

Stasiun Solo Kota (Sangkrah)

Tram Kuda Melintas di Area Pasar Gede Solo
Sumber: kitlv.nl

Tram Melintas di Kota Solo Tahun 1900
Sumber: kitlv.nl

Perkiraan Jalur Tram di Stasiun Jebres Tahun 1930
Sumber: kitlv.nl

Stasiun Solo Jebres

            Kini tak banyak yang tersisa dari keberadaan jalur tram dalam kota yang pernah ada di Solo, terutama jejak jalur dari Stasiun Solo Kota hingga Stasiun Jebres. Yang masih bisa kita saksikan saat ini hanyalah jalur kereta yang berada di Jalan Slamet Riyadi yang dulu merupakan jalur penghubung tram antara Stasiun Purwosari dan Stasiun Solo Kota.  

________________________________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
________________________________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama   
































JALUR WONOGIRI – BATURETNO

TENGGELAMNYA JALUR WONOGIRI – BATURETNO

            Pembangunan Waduk Gajah Mungkur (WGM) pada awal tahun 1978  memaksa ribuan warga yang berada pada peta area terdampak untuk melakukan bedol desa. Tak tanggung-tanggung, beberapa desa harus ditenggelamkan untuk membuat waduk besar ini. Tak hanya desa yang ditenggelamkan, jalur kereta api dari Wonogiri hingga Baturetno pun ikut menjadi korban.
Kali ini blusukan saya lanjutkan menyusuri jalur mati dari Wonogiri hingga Baturetno meneruskan blusukan yang sebelumnya telah saya lakukan dari Stasiun Sangkrah hingga Halte Tekaran. Perjalanan kali ini saya mulai dari Solo kurang lebih pada pukul tujuh pagi menunggu kondisi lalu lintas lengang terlebih dahulu. Kali ini blusukan saya lakukan pada hari Senin tanggal 15 September 2014. Dari Solo saya langsung meluncur menuju Wonogiri via Sukoharjo. Kurang lebih pukul setengah sembilan pagi saya mulai memasuki wilayah Kabupaten Wonogiri.

Gapura Masuk Kabupaten Wonogiri

            Perjalanan kemudian saya lanjutkan untuk mencari letak Stasiun Wonogiri. Menurut informasi yang saya dapatkan, Stasiun Wonogiri terletak di belakang Pasar Wonogiri yang berdekatan dengan terminal angkot. Setibanya di pusat kota, saya membuntuti sebuah angkutan kota yang kebetulan melintas di samping saya. Untung bagi saya, angkot tersebut menuntun saya menuju ke Stasiun Wonogiri yang letaknya persis di belakang Pasar Wonogiri sesuai informasi yang saya peroleh sebelumnya.

Emplasemen Stasiun Wonogiri

            Stasiun Wonogiri terletak di Desa Giripurwo Kecamatan Wonogiri. Stasiun ini berdiri 144 meter diatas permukaan air laut. Dahulunya stasiun ini merupakan stasiun pemberhentian terakhir kereta api feeder dari Solo. Saat saya tiba disana kondisi stasiun sangat sepi, kontras dengan ramainya kondisi pasar yang ada di depannya. Yang nampak hanyalah aktivitas beberapa pekerja yang sibuk memperbaiki rel di halaman stasiun. Stasiun ini sebenarnya masih nampak bagus dan terawat. Saya sempat mengintip ruang pemimpin perjalanan kereta api dan saya masih bisa melihat alat-alat perjalanan kereta api yang masih nampak terawat.

Stasiun Wonogiri

Setelah cukup puas beristirahat di area stasiun, perjalanan saya lanjutkan menyusuri rel menuju kesebuah perkampungan yang tak jauh dari stasiun. Disana saya menjumpai beberapa rel yang sudah tertutup tanah dan menjadi jalan kampung. Rel ini adalah bekas jalur menuju Baturetno yang sudah 30-an tahun tidak aktif. Perjalanpun saya lanjutkan hingga menemukan sebuah bangunan gudang Stasiun Wonogiri yang berada di tengah perkampungan warga.
Bangunan gudang Stasiun Wonogiri masih tampak masih utuh dan terawat.  Seperti kebanyakan gudang yang ada dibeberapa stasiun, bangunan tersebut berfungsi sebagai sarana distribusi barang pada masanya. Tampak pintu gudang terkunci rapat yang menandakan bahwa gudang itu sudah lama tak terpakai. Kini area disekitar bangunan gudang Stasiun Wonogiri sudah dipadati oleh perumahan penduduk. Bekas jalur keretapun juga sudah banyak yang hilang tertutup bangunan rumah warga. Disamping gudang tampak rel kereta mengarah keselatan menuju Baturetno.  Akan tetapi sayang, rel menuju ke Baturetno telah dicabut yang ditandai dengan sebuah rel melengkung keatas yang menjadi penanda bahwa titik tersebut adalah akhir dari jalur Solo – Wonogiri.

Bangunan Gudang Stasiun Wonogiri

Bekas Jalur Kereta di Samping Gudang Stasiun Wonogiri

Titik Akhir Jalur Solo – Wonogiri

Selepas dari perkampungan disekitar stasiun, perjalanan saya lanjutkan kembali menuju PLTA yang ada di area Waduk Gajah Mungkur. Sebenarnya cukup sulit untuk mencari bekas jalur kereta api menuju Baturetno karena bekas rel nya sendiri sudah di cabut oleh PT. KAI sebelum pembangunan waduk dimulai, sehingga yang tersisa hanyalah gundukan tanah dan jembatan yang menjadi penanda bahwa dulunya pernah ada jalur kereta api yang melintas di area tersebut.
Memasuki area PLTA, saya menemukan plang milik PT. KAI tertancap di pinggir jalan. Saya pun berhenti sejenak sembari mengamati hutan yang ada disekitar papan nama itu. Benar saja, saya melihat sebuah plengkung atau bekas jembatan tua tertutup rimbunnya pohon. Saya segera berputar arah mendekat kearah jembatan tua tersebut. Tidak mudah menjangkau jembatan tersebut mengingat letaknya yang ada di tengah hutan dan gundukan tanahnya yang lumayan tinggi. Jembatan tersebut memiliki tinggi kurang lebih 10 meter dari dasar sungai. Kerangka besi penyangga rel pun sudah tidak ada, yang tersisa hanyalah plengkungan dari batu yang menandakan bahwa dulu bangunan itu adalah sebuah jembatan.


Bekas Jembatan Kereta di Area PLTA

            Dari lokasi jembatan perjalanan kemudian saya lanjutkan mengikuti arah jalur jembatan tersebut. Kurang lebih 100 meter dari jembatan saya menemukan sebuah gundukan tanah memanjang menuju arah waduk. Saya memperkirakan bahwa gundukan tersebut adalah bekas jalur kereta api menuju Baturetno, mengingat gundukan tersebut terletak satu garis lurus dengan jembatan dan memiliki lebar kurang lebih sama dengan lebar jalur kereta. Sebenarnya saya ingin lebih jauh mengikuti jalur tersebut, akan tetapi sayang saya tidak bisa melakukannya karena area PLTA adalah area terbatas yang hanya orang-orang tertentu saja yang boleh memasukinya.

Bekas Jalur Kereta Menuju Waduk

            Dari lokasi PLTA perjalanan saya lanjutkan menuju Baturetno. Kali ini rute yang saya lewati melintasi sebelah timur waduk via Ngadirojo. Cukup jauh memang jarak dari PLTA hingga Baturetno. Akhirnya sekitar pukul setengah sebelas siang, saya tiba di Baturetno. Tujuan pertama saya adalah Pasar Baturetno, karena sesuai informasi dibelakang pasar itulah dulunya Stasiun Baturetno berdiri.
            Sebelum memasuki wilayah pasar, saya sempat melewati sebuah jembatan yang ukurannya lumayan besar. Disana saya melihat bekas jembatan yang menurut saya adalah bekas jembatan kereta api. Jembatan tersebut hanya menyisakan pondasi dan kerangka besinya saja. Dengan rasa penasaran saya mendekati jembatan itu untuk mencari informasi lebih jauh.
            Tak mudah mencapai lokasi jembatan, saya harus melewati semak belukar yang kering serta gundukan tanah yang tinggi untuk menjangkaunya. Dari bentuk kontur tanah saya sudah bisa memastikan bahwa dulunya disana pernah terdapat jalur kereta api. Keyakinan saya bertambah tatkala saya tiba dilokasi jembatan. Di area gundukan tanah saya menemukan kumpulan batuan kecil seperti batuan penyangga bantalan kereta api atau balas yang telah menyatu dengan tanah. Saya juga menjumpai beberapa patok milik PT. KAI tertancap di sekitar gundukan tanah tersebut.

Bekas Jembatan Kereta Api di Baturetno


Bekas Jalur Kereta di Baturetno

Selepas dari area jembatan, saya bergegas melanjutkan perjalanan menuju Pasar Baturetno. Setibanya dipasar saya mencoba memasuki sebuah jalan yang ada dibelakang pasar. Jalan tersebut tidaklah terlalu besar akan tetapi banyak kendaraan roda empat seperti truk dan mobil yang lalu lalang melintasi jalan tersebut. Saya melihat sebuah papan reklame yang ukurannya cukup besar milik salah satu toko yang ada dijalan tersebut dan di papan tersebut tertulis alamat toko yakni Jalan Ex Stasiun Baturetno. Berarti memang benar bahwa dijalan itulah dulunya Stasiun Baturetno pernah berdiri.
            Saya mencoba mencari informasi dari warga sekitar yang ada disekitar pasar untuk mengetahui lokasi bekas Stasiun Baturetno. Kebetulan saya bertemu dengan seorang kakek yang melintas di jalan tersebut dan menanyakan keberadaan stasiun kepadanya. Kakek tersebut menceritakan bahwa dulunya memang benar kalau di sana pernah berdiri Stasiun Baturetno, tetapi bangunannya sudah tidak ada dan telah menjadi jalan pasar. Saya pun sempat berputar beberapa kali di jalan tersebut dengan harapan bisa menemukan sedikit jejak yang tertinggal tentang keberadaan Stasiun Baturetno akan tetapi hal tersebut tidak saya temukan. Yang menjadi penanda bahwa dulunya disana pernah berdiri sebuah stasiun hanyalah nama jalan itu sendiri yang menerangkan bahwa bekas Stasiun Baturetno berada di area tersebut. Stasiun Baturetno dulunya adalah stasiun terminus dijalur Wonogiri – Baturetno yang terletak di ujung paling selatan.
Berhubung tidak ada bukti lain yang bisa saya temukan disana, akhirnya saya putuskan untuk menyudahi blusukan saya kali ini. Saya pun bergegas meninggalkan Pasar Baturetno. Tak terduga saat keluar pasar saya menemukan sebuah patok yang terbuat dari potongan besi rel kereta api tertancap di sebuah pertigaan dekat pasar. Saya pun bergegas menghampirinya.
            Patok tersebut berwarna putih biru dengan ukuran yang tidak terlalu tinggi dengan tulisan besi yang di las dibagian atasnya. Saya kurang tahu dengan arti tulisan tersebut karena hanya membentuk sebuah singkatan. Mungkin patok tersebut sengaja di tinggalkan atau mungkin sengaja di tancapkan oleh PT. KAI sebagai penanda bahwa di tempat tersebut dahulunya pernah dilalui jalur kereta api.

Lokasi Bekas Stasiun Baturetno

Patok di Area Pasar Baturetno

Selepas dari lokasi patok tersebut saya melanjutkan perjalanan pulang menuju Solo. Sungguh terik cuaca waktu itu mengingat masih musim kemarau. Sekitar pukul satu siang akhirnya saya tiba di Solo dengan membawa kumpulan kisah yang luar biasa tentang keberadaan jalur Wonogiri – Baturetno.

________________________________
artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
________________________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama