BLUSUKAN
JALUR SEPUR BEDONO – CANDI UMBUL BERSAMA KOTA TOEA MAGELANG
28 September 2014 mungkin bukanlah
angka yang spesial bagi sebagian orang. Bukan juga sebuah angka yang cantik
yang perlu diabadikan dalam momen tertentu. Tapi bagi segelincir orang terutama
pecinta sejarah kereta api, tanggal tersebut adalah sebuah momen dimana kereta
api yang dulunya dikuasai oleh Belanda dan Jepang dapat diambil alih oleh
pemerintah Indonesia tepat 69 tahun yang lalu.
69 tahun sudah kereta api menjadi
perusahaan milik pemerintah. Dan 150 tahun sudah ular besi berada di Indonesia.
Usianya yang sudah tua tak menjamin eksistensi kereta api di Indonesia. Bahkan
keberadaan kereta api di Indonesia bisa dikatakan “kempas kempis” menghadapi perputaran
zaman. Hal ini diakibatkan persaingan yang ketat dengan moda transportasi darat
lain berbasis jalan raya. Kereta api dianggap kuno dan lambat. Itulah kenapa
kita bisa menjumpai “bangkai-bangkai” rel kereta api berceceran di beberapa
wilayah di Indonesia seolah-olah tak memiliki cerita yang bisa diceritakan
mengenai sejarah perjalanan bangsa. Sungguh ironi bagi negeri yang besar ini.
Sebagai upaya untuk melestasikan
sejarah perkeretaapian di Indonesia dan untuk memperingati hari ulang tahun
kereta api Indonesia yang ke 69 tahun, komunitas Kota Toea Magelang mengadakan
acara “Jelajah Jalur Spoor 3” yang mengambil rute dari Stasiun Bedono hingga
Stasiun Candi Umbul kurang lebih sejauh 15 kilometer. Kebetulan informasi ini
sampai ditelinga saya dan dengan senang hati saya ikut berpartisipasi dalam
acara ini. Berikut adalah hasil blusukan saya bersama dengan teman-teman dari
komunitas Kota Toea Magelang.
Memulai
Blusukan
Blusukan saya
kali ini berbeda dengan blusukan saya sebelumnya. Biasanya blusukan saya
lakukan sendiri dengan menggunakan motor akan tetapi kali ini blusukan saya
lakukan dengan jalan kaki bersama dengan teman-teman dari komunitas Kota Toea
Magelang. Tentu menjadi lebih seru dan menyenangkan.
Perjalanan saya awali dari Kota
Solo. Waktu itu perjalanan ke Magelang saya lakukan dengan menaiki bus dari
Terminal Tirtonadi Solo. Sebenarnya ada rencana berangkat ke Magelang dengan
menggunakan motor tetapi dengan berbagai pertimbangan akhirnya perjalanan saya
putuskan menggunakan bus. Tepat pukul setengah empat pagi saya tiba di
terminal. Suasana sepi terminal segera menyambut kedatangan saya. Tak banyak
aktivitas yang tampak di terminal. Hanya beberapa bus yang terpakir di
emplasemen. Penumpang yang menunggu bus pun bisa dihitung dengan jari.
Setelah hampir setengah jam
menunggu, akhirnya bus yang saya tunggu-tunggu datang juga. Suasana dingin AC
langsung menghinggapi tak lama saat menginjakkan kaki di dalam bus. Perjalanan
saya berlanjut meninggalkan Solo beranjak menuju Jogja tempat pemberhentian
saya yang pertama. Kurang lebih 1 jam perjalanan akhirnya tiba juga saya di
Terminal Giwangan Jogja. Disana saya beristirahat sebentar sembari melaksanakan
sholat subuh. Kurang lebih pukul setengah 6 pagi perjalanan saya lanjutkan
menuju Magelang.
Perjalanan saya menuju Magelang kali
ini tampaknya tak semulus perjalanan saya saat berangkat ke Jogja. Niat hati
ingin naik bus patas apa daya yang tersedia hanyalah bus “omprengan”. Mau tak
mau, suka tak suka akhirnya saya terpaksa menaiki bus tersebut demi mengejar
waktu ke Magelang. Tak berapa lama firasat buruk saya benar-benar terbukti. Bus
berjalan sangat lambat, bahkan saat tiba di Terminal Jombor bus berhenti lama
seolah tak menghiraukan penumpamg yang ada didalamnya.
Waktu terus berlalu hingga pukul
setengah 7 pagi dimana posisi saya masih berada di wilayah Sleman. Kala itu
saya sempat menghubungi Mas Bagus selaku ketua penyelenggara untuk berkenan
menunggu saya agar tidak ditinggal. Dengan terus berdoa agar bus segera cepat
sampai di terminal Magelang akhirnya pada pukul 7 persis bus memasuki Terminal
Tidar Magelang. Saya teringat akan jadwal panitia bahwa keberangkatan menuju
Bedono akan dimulai pada pukul setengah 8 pagi. Dengan penuh rasa cemas
akhirnya saya putuskan untuk mencari ojek guna mempersingkat waktu dan
menghindari ditinggalnya saya dari rombongan. Tidak lucu memang jika jauh-jauh
dari Solo tapi akhirnya harus ditinggal rombongan. Setelah tawar menawar tarif
ojek akhirnya dengan ongkos Rp 15.000,- saya berangkat menuju Boton tempat berkumpulnya
peserta.
Pukul tujuh seperempat akhirnya saya
tiba di Boton dengan mengucap syukur alhamdulillah. Ternyata saya belum
terlambat. Nampak beberapa peserta masih melakukan registrasi. Saya pun tak mau
ketinggalan. Segera saya hampiri meja panitia dan melakukan registrasi.
Alhamdulillah dari panitia menyediakan air minum dan makanan ringan yang
lumayan untuk mengganti sarapan pagi saya karena belum sempat sarapan selama
perjalanan karena tragedi “ bus omprengan”.
Saya sempat kaget ketika berada disana.
Peserta yang saya perkirakan hanya 30-an orang ternyata membludak sebanyak
70-an orang. Peserta berasal dari berbagai kalangan mulai dari pelajar, pecinta
sejarah, railfans (pecinta kereta
api), traveler, backpacker dan
sebagainya. Beberapa peserta pun juga nampak mengunakan kostum unik bertemakan
perjuangan bangsa. Yang sedikit membuat saya kaget kala itu adalah beragamnya
usia peserta, mulai dari anak-anak hingga orang tua yang bisa dikatakan sudah
berumur semuanya ada. Dalam hati saya muncul sebuah kebanggaan tatkala melihat
banyaknya anak-anak dan kalangan pemuda yang mengikuti acara ini. Sungguh ini
adalah sinyal positif sebagai generasi bangsa yang peduli terhadap sejarah
bangsa. Satu hal yang membuat saya sedih kala itu adalah saya tidak punya teman
“ngobrol” karena wajah yang saya temui adalah wajah-wajah baru. Kalaupun ada
itupun melalui foto yang saya lihat dari facebook.
Tapi acara ini saya jadikan sebagai ajang bersilaturahmi bagi para pecinta
sejarah sekaligus ajang menambah relasi.
Tepat pukul setengah delapan pagi
kami bersiap berangkat menuju Bedono. Tak lupa kami melakukan briving dan
berdoa sebelum berangkat. Akhirnya pukul setengah delapan lebih sedikit kami
berangkat menuju Bedono. Perjalanan menuju Bedono kami tempuh dengan menggunakan
angkot yang telah disediakan oleh panitia. Perjalanan semakin seru dengan
diiringi oleh lagu-lagu jadul dari Koesplus yang diputar melalui perangkat
audio dari dalam angkot. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan.
Briving dari
Panitia Sebelum Menuju Bedono
Peserta Menaiki
Angkot Menuju Bedono
Kurang
lebih pukul setengah sembilan pagi kami tiba di kompleks Stasiun Bedono.
Riuhnya suasana jalan raya berbanding terbalik dengan kondisi stasiun kala itu.
Yang tampak hanyalah aktivitas para pekerja yang sedang melakukan renovasi pada
bagian gedung stasiun yang sudah nampak tua itu. Setibanya disana kedatangan
kami langsung disambut oleh kepala Stasiun Bedono yang bernama Bapak Jumadi.
Beliau adalah anak dari pensiunan PJKA yang dulunya juga bertugas sebagai
kepala Stasiun Bedono. Beliau sempat menjelaskan kepada kami mengenai sejarah
singkat Stasiun Bedono.
Stasiun
Bedono adalah stasiun yang terletak di Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang.
Stasiun ini dibangun oleh Nederlands
Indische spoorweg (NIS) pada tahun 1905 dan terletak pada ketinggian 693
meter diatas permukaan air laut. Stasiun ini dulunya melayani rute dari Mgelang
hingga Kedung Jati. Disisi lain stasiun kita masih bisa menjumpai turntable yang digunakan untuk memutar
lokomotif. Seiring berjalannya waktu akhirnya stasiun ini ditutup pada tahun
1976 karena jumlah penumpang yang turun drastis. Saat ini stasiun hanya
digunakan untuk melayani kereta wisata dari Ambarawa.
Di
sekitar area Stasiun Bedono kami diberi waktu untuk menjelajahi kawasan
stasiun. Disana kami sempat bermain dengan alat pemutar lokomotif atau turntable yang ternyata masih bisa
digunakan hingga saat ini. Kondisinya pun masi Nampak baik dan terawatt. Tak
lupa kami juga menyempatkan untuk berfoto bersama dengan latar belakang
bangunan Stasiun Bedono.
Dibagian
belakang dari Stasiun Bedono terdapat sebuah bukit dimana dibagian atasnya
terdapat sebuah kolam penampungan air. Pada zaman dahulu kolam penampungan
tersebut digunakan untuk menyediakan air bagi lokomotif-lokomotif yang singgah
di stasiun tersebut yang dihubungkan dengan menggunakan saluran pipa-pipa
panjang menuju stasiun. Hal ini sangat unik karena biasanya stasiun menggunakan
menara air untuk menyimpan air sebagai suplai untuk lokomotif. Tetapi di
Stasiun Bedono memanfaatkan bukit yang ada dibelakang stasiun sebagai pengganti
menara air. Hingga sekarang kolam penampungan air tersebut masih terawat dengan
baik.
Peserta Memasuki Komplek Stasiun Bedono
Kepala Stasiun
Bedono (Kanan)
Emplasemen
Stasiun Bedono
Foto Bersama
Peserta Jejalah Jalur Sepur 3 di Stasiun Bedono
Sumber: Kota
Toea Magelang
Beranjak
dari Stasiun Bedono perjalanan pun kami lanjutkan mengikuti arah rel kereta api
menuju ke Stasiun Gemawang pada pukul sembilan pagi. Perlu diketahui bahwa
jelajah sepur kali ini kami akan melewati beberapa stasiun, yaitu: Stasiun
Gemawang, Stasiun Grabag Merbabu, dan Stasiun Candi Umbul. Berada di Dusun
Krajan yang terletak tak jauh dari Stasiun Bedono kami mulai menjumpai bekas
rel kereta dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Rel telah berubah menjadi
jalanan kampung. Bahkan ada rel yang tampak menggantung karena tanah dan
balasnya telah longsor. Sungguh suatu pemandangan yang amat miris mengingat
bahwa rel yang ada disana adalah jenis rel bergerigi yang tidak sembarang
tempat bisa kita temui.
Di
Indonesia hanya ada dua lokasi dimana kita bisa menemukan jalur kereta api
menggunakan gerigi, yaitu di Ambarawa dan Lembah Anai. Selain itu jalur rel
bergerigi yang masih aktif saat ini hanya ada dua didunia, yakni di Indonesia
dan di India. Hal ini tentu sangat membanggakan mengingat kita masih memiliki
aset sejarah yang tidak dimiliki banyak Negara. Bahkan saat ini banyak
wisatawan dari mancanegara datang jauh-jauh ke Ambarawa hanya untuk merasakan
sensasi naik kereta api dengan menggunakan rel bergerigi. Hal ini sebenarnya
sangat berpotensi untuk mendatangkan devisa dari sektor wisata kereta api.
Bekas Rel
Menggantung di Bedono
Perjalanan
kami berlanjut meninggalkan perkampungan warga. Kamipun tiba disebuah
perkebunan kopi milik masyarakat setempat yang sangat rimbun dan lebat. Suasana
teduh dan sunyipun segera datang menghampiri kami. Kondisi rel perlahan-lahan
mulai menghilang di telan bumi. Tak heran memang, jalur ini sudah 40 tahun tak
terpakai sehingga kondisinya bisa dikatakan sangat memprihatinkan.
Kami berjalan menyusuri sebuah jalan
yang ada didalam perkebunan kopi. Sesekali kami menjumpai rel yang muncul
kepermukaan tanah dengan kondisi berkarat. Terkadang masih nampak tulisan
pabrik pembuat rel dan tahun pembuatan rel yang tertulis tahun 1902-1903. Kami
juga sempat menemui beberapa pondasi kecil jembatan kereta api yang melintas
diatas saluran air.
Setelah jauh melangkah merangsek
kedalam hutan, kami menjumpai sebuah jembatan berwarna merah tua terbuat dari
besi melintas diatas kami. Jembatan tersebut adalah jembatan penghubung antar
kampung yang masih digunakan oleh warga sekitar hingga saat ini. Saya belum bisa menyimpulkan apakah jembatan
itu dibangun bebarengan dengan pembangunan jalur kereta api atau dibangun
setelah jalur kereta api yang melintas di wilayah tersebut di non aktifkan. Hal
tersebut saya dasarkan pada pengamatan saya. Jika jembatan itu dibangun
bersamaan dengan pembangunan jalur kereta api itu bisa dimungkinkan melihat
kondisi fisik jembatan yang sudah tua dan bentuk arsitek jembatan yang masih
tampak konvensional. Akan tetapi bisa dimungkinkan juga bangunan jembatan baru
didirikan setelah jalur kereta yang melintas diarea tersebut dinonaktifkan. Hal
ini saya dasarkan pada tinggi bangunan jembatan yang tidak terlalu tinggi dari
permukaan tanah. Tentu saja dengan ketinggian yang hanya seperti itu, kereta
pasti akan dengan mudahnya “nyundul” bangunan jembatan.
Bekas Jembatan
Ditengah Kebun Kopi
Peserta Jelajah
dari Atas Jembatan
Kondisi Rel
dengan Balas yang Longsong
Perjalanan
kami lanjutkan merangsuk masuk kedalam hutan. Kali ini kondisi jalan setapak
mulai agak sedikit berbahaya karena bekas jalur kereta api yang menjadi pijakan
kami terlalu mepet dengan jurang akibat longsor, sehingga memaksa kami untuk
berhati-hati dan waspada. Kondisi jalur rel sendiri sebenarnya masih bisa
dikatakan utuh. Bahkan untuk rel bergerigipun masih terpasang pada posisinya. Hanya
saja dibanyak titik banyak gundukan tanah dan balas yang sudah longsor,
sehingga kondisi rel agak melenceng.
Perjalanan
terus kami lanjutkan. Tampak dari kejauhan kami melihat sebuah bangunan yang
megah berdiri ditengah kebun kopi. Semakin mendekat bangunan tersebut nampak
semakin jelas. Dan ternyata bangunan megah itu adalah kandang ayam. Bau kotoran
ayam yang menusuk hidung segera menyambut kedatangan kami. Sungguh sebuah
perjuangan yang sangat berat sekaligus menyenangkan. Kondisi bangunan kandang
ayam yang besar dan panjang membuat kami harus lama menahan nafas untuk sesaat.
Beberapa dari peserta jelajah ada yang tidak tahan menahan bau dari kotoran
ayam tersebut sehingga tak sedikit yang harus muntah karenanya.
Bagi saya area disekitar kandang
ayam tersebut agak aneh dan tak lazim. Dibawah kandang ayam saya menemukan
bekas rel yang bercabang dua dan beberapa tiang seperti tiang sinyal. Hal ini
tidak saya jumpai selama di perjalanan kecuali di Stasiun Bedono. Menurut Mas
Bagus selaku koordinator acara, posisi kandang ayam tersebut masuk dalam
wilayah Gemawang. Hipotesa saya bahwa di area kandang ayam itulah dulunya
Stasiun Gemawang berdiri, mengingat adanya jalur ganda seperti yang lazim
ditemui di stasiun sebagai jalur persilangan. Diarea yang menurut saya adalah
bekas lokasi dari Stasiun Gemawang tersebut saya tidak bisa melakukan
pengamatan secara rinci, hal ini dikarenakan kepala saya yang pusing akibat
dari bau kotoran ayam yang ada disekitar area tersebut. Bahkan saya harus
berlari kencang saat melintasi area tersebut agar tidak muntah karena aroma
kotoran ayam yang sangat menusuk
Menurut sejarahnya Stasiun Gemawang
dibangun pada tahun 1905 bebarengan dengan dibangunnya Stasiun Bedono. Stasiun
ini dulunya digunakan untuk angkutan penumpang dan barang. Stasiun Gemawang
sendiri terletak di Kecamatan Jambu Desa Gemawang yang masih berada di wilayah Kabupaten
Semarang. Seiring dengan berjalannya waktu stasiun tersebut kemudian ditutup
pada tahun 1976 bebarengan dengan ditutupnya jalur dari Bedono menuju Secang.
Kini bangunan stasiun sudah tidak berbekas. Sungguh sayang memang.
Perkiraan Lokasi
Stasiun Gemawang
Setelah
perjuangan hebat melewati kandang ayam yang cukup menguras tenaga dan menguji
mental, akhirnya kami memutuskan untuk istirahat sejenak ditengah rimbunya
pepohonan perkebunan. Disini kami menikmati bekal yang telah kami bawa
sebelumnya untuk memulihkan energi yang telah terkuras selama diperjalanan.
Sembari
menunggu rombongan yang masih ada dibelakang, kami saling bertukar cerita mengenai
hal-hal menarik yang kami temui disepanjang perjalanan. Suasana perkebunan yang
sunyipun berubah menjadi riuh oleh gelagak tawa dari semua peserta. Tak sedikit
dari peserta yang bercerita mengenai hal-hal lucu dan unik yang mereka temui
diperjalanan terutama di kandang ayam yang barusan kami lewati. Kurang lebih 20
menit beristirahat, perjalanan kami lanjutkan kembali. Saat itu perserta sempat
terkejut tatkala panitia mengumumkan bahwa jarak yang masih ditempuh masih
sejauh 10 kilometer lagi. Itu berarti jarak yang sudah kami selesaikan baru
sejauh 5 kilometer. Padahal waktu itu kami sudah merasa berjalan sangat jauh. Tapi
dengan semangat 45 dan bertekat mencapai garis finish, perjalanan pun kami
lanjutkan dengan suka cita.
Peserta
Beristirahat Ditengah Perkebunan
Selang berjalan beberapa meter, akhirnya kami
tiba disebuah perkampungan di daerah Pringsurat dan mulai menjumpai jalan raya
Magelang – Semarang. Suara ramai kendaraan langsung memekakan telinga kami.
Perjalanan jelajah kali ini beralih tepat berada disamping jalan raya. Berbeda
dengan rute sebelumnya yang nampak tenang dan teduh. Kali ini rute berganti dengan
kondisi yang panas dan gaduh oleh kendaraan bermotor.
Disepanjang perjalanan saya
mengamati bekas jalur kereta api yang ada di sebelah kiri saya. Posisi rel
memiliki perbedaan ketinggian dengan jalan raya, dimana rel memiliki posisi
yang lebih rendah. Dibeberapa titik saya melihat kondisi rel yang sudah
tertimbun oleh rumah permanen milik warga. Bahkan saya juga sempat melihat
bekas jembatan kereta melintas diatas sungai dengan kondisi yang masih tampak
bagus yang kini dimanfaatkan oleh warga sebagai tempat menjemur pakaian. Sungguh
sangat disayangkan memang melihat kondisinya yang sudah tidak terawat.
Rute Jelajah
Berpindah Disamping Jalan Raya Semarang – Magelang
Bekas Jembatan
Kereta
Tidaklah
lama penjelajahan kami berada di samping jalan raya, mungkin hanya berkisar 200
meter. Setelah itu perjalanan kami lanjutkan memasuki wilayah perkebunan. Saat
masuk perkebunan kami disuguhi dengan pemandangan yang tak lazim. Ada sepasang
jalur kereta api yang longsor cukup curam. Perjalanan kamipun juga sedikit
tersendat mengingat kondisi curaman yang cukup dalam.
Diarea
ini peserta diharuskan menuruni curaman yang cukup dalam. Kali ini seluruh
peserta bekerja sama membuat formasi agar bisa menuruni jalan setapak yang ada
dibawah. Pesertapun harus turun satu per satu secara perlahan. Tak sedikit dari
peserta yang terpeleset dan terjatuh karena curamnya tanah yang harus dituruni.
Bekas Jalur
Kereta yang Longsor
Setelah
semua peserta jelajah berhasil menuruni longsoran tersebut perjalanan kami
lanjutkan kembali. Kali ini perjalanan kami lanjutkan menyusuri perkebunan
warga. Kamipun segera disuguhi pemandangan pematang sawah yang luas menghijau
yang sangat indah. Sungguh menyenangkan memang. Tak berapa lama kamipun
melintasi sebuah jembatan yang melintang diatas sungai yang cukup lebar. Kerangka
jembatan masih nampak kokoh. Bagian alas
jembatan tersebut menggunakan besi bekas rel kereta yang telah disusun dan
dilas.
Peserta Melintas
Diatas Bekas Jembatan Kereta
Hari
semakin siang, mataharipun semakin terik memancarkan sinarnya. Terus melangkah
mengikuti jejak jalur kereta, akhirnya kami putuskan untuk istirahat sejenak guna
mengisi tenaga yang telah terkuras. Sembari melepas lelah kamipun menikmati
segarnya udara ditengah perkebunan yang sangat segar. Waktu itu banyak peserta
yang masih tertinggal jauh dibelakang karena semakin beratnya medan yang kami
lalui.
Peserta Jelajah Beristirahat
di Tengah Perkebunan
Setelah
puas beristirahat, perjalanan kami lanjutkan menuju ke Stasiun Grabag Merbabu
yang telah menanti di depan kami. Jarak dari tempat kami beristirahat dengan
lokasi stasiun tidaklah terlalu jauh. Hanya berjalan selama 20 menit akhirnya
kami tiba dititik pemberhentian yang ketiga yaitu Stasiun Grabag Merbabu.
Sesampainya disana kami kembali melepas lelah sembari menikmati camilan
tradisonal yang telah disiapkan oleh panitia.
Sambil
beristirahat melepas lelah, saya terus mengamati bangunan stasiun yang sekarang
telah berubah menjadi sekolahan tersebut. Bangunan stasiun masih tampak kokoh
dan terawat. Bentuk aslinya pun masih tetap dipertahankan. Bahkan lantai
emplasemen stasiun yang khas dengan ubin kuning kotak-kotak pun masih bisa saya
lihat. Bekas rel pun masih bisa saya temui di depan bangunan stasiun yang seolah
menandakan bahwa disitulah dulunya kereta berhenti menjemput penumpang.
Ventilasi bundar khas stasiun juga tak kalah apik menghiasi bangunan tua itu.
Emplasemen Stasiun Grabag Merbabu
Peserta Jelajah
di Stasiun Grabag Merbabu
Sumber: Kota
Toea Magelang
Sekilas
pengamatan saya bangunan Stasiun Grabag Merbabu menurut saya hampir mirip
dengan bangunan Stasiun Sukoharjo dan Stasiun Kranggan di Temanggung. Stasiun
Grabag Merbabu didirikan oleh NIS pada tahun 1905 bebarengan dengan pembangunan
jalur kereta lintas Magelang – Semarang. Tahun 1970-an stasiun ini masih ramai
dengan penumpang. Pada tahun 1976 stasiun ini resmi ditutup setelah 71 tahun
beroperasi karena kalah bersaing dengan moda transportasi berbasis jalan raya.
Selepas
dari Stasiun Grabag Merbabu, perjalanan kami lanjutkan menuju Stasiun Candi
Umbul. Perjalanan kami kali ini semakin bertambah berat. Rute yang kami lewati
sudah berganti dengan jalanan kampung yang berdebu dan berkerikil serta jalan
di tengah pematang sawah yang sangat panas. Tentu sangatlah berbeda dengan
perjalanan kami sebelumnya yang melintasi perkebunan yang teduh dan rimbun. Diperjalanan
kami juga sempat melintasi jembatan yang melintang diatas Sungai Elo yang
cantik.
Peserta Melintas
Diatas Jembatan Kali Elo
Setelah
berjalan kurang lebih satu jam perjalanan akhirnya kami tiba di titik
pemberhentian terakhir yaitu Candi Umbul. Kami tiba di kompleks Candi Umbul
kurang lebih pukul satu siang. Sesampainya disana kami langsung melepas lelah.
Beberapa peserta ada yang merendam kakinya dan ada juga yang tidur-tiduran di
kompleks pemandian. Setelah istirahat sejenak, saya memutuskan untuk
melanjutkan blusukan lagi ke lokasi bekas Stasiun Candi Umbul yang letaknya
tidak terlalu jauh dari lokasi pemandian.
Lokasi
bekas Stasiun Candi Umbul terletak ditengah sawah yang agak jauh dari pemukiman
warga. Diarea bekas stasiun terdapat dua bangunan, yaitu bangunan stasiun dan
bangunan rumah dinas kepala stasiun. Kedua bangunan tersebut kini sudah rusak
parah. Yang tersisa hanyalah dinding bangunannya saja. Menurut beberapa
informasi yang saya dapatkan, rusaknya bangunan stasiun selain karena tidak
dirawat juga diakibatkan karena penjarahan yang dilakukan oleh orang yang tidak
bertanggung jawab terhadap bagian-bagian stasiun. Di halaman depan stasiun
masih nampak beberapa sisa potongan rel kereta api. Bahkan saya juga sempat
menemukan bekas sepasang roda kereta api di dekat rumah seorang warga.
Stasiun
Candi Umbul adalah sebuah stasiun yang terletak di Desa Kartoharjo, Grabag
Magelang. Stasiun ini didirikan oleh NIS pada tahun 1905. Stasiun yang terletak
paling utara dari Kabupaten Magelang ini dulunya digunakan untuk pemberhentian
penumpang yang hendak berwisata ke pemandian Candi Umbul. Seiring dengan
berjalannya waktu stasiun ini mulai ditinggalkan dan resmi ditutup pada tahun
1976 karena sepinya penumpang.
Bekas Stasiun
Candi Umbul
Bekas Rumah
Dinas Kepala Stasiun Candi Umbul
Bekas Sepasang
Roda Kereta di Candi Umbul
Selepas
dari bangunan stasiun, saya kembali ke kompleks pemandian Candi Umbul untuk
melepas lelah. Bersama dengan peserta lain kami saling bercerita bertukar pengalaman
masing-masing. Banyak ilmu dan wawasan yang saya dapatkan disana terutama
mengenai sejarah yang ada dikawasan Magelang dan wilayah Kedu. Peserta jelajah kali
ini memang didominasi oleh para pecinta sejarah, sehingga sangat asyik berdiskusi
dengan orang-orang tersebut. Bahkan lamanya waktu berdiskuspiun tak terasa
telah kami habiskan.
Kompleks
Pemandian Candi Umbul
Peserta Jelajah
Didepan Kompleks Candi Umbul
Sumber: Kota
Koea Magelang
Kurang
lebih pukul tiga sore kami bersiap-siap untuk kembali ke Magelang dengan
menggunakan angkot yang telah menunggu kami semenjak tadi. Perjalanan kami
menuju ke Magelang kurang lebih 40 menit. Sepanjang perjalanan pulang kami
masih disuguhi pemandangan hamparan sawah yang terbentang luas. Suasana mendung
menambah dinginnya suasana sore itu.
Akhirnya kami tiba di Magelang di
titik kita pertama berkumpul tadi pagi. Dan dari situlah kita berpisah dengan
meninggalkan kenangan yang tak akan terlupakan. Bagi saya, perjalanan belum
berakhir karena saya harus segera beranjak menuju ke Solo. Dengan menggunakan
angkotan merah akhirnya saya tiba di Terminal Tidar Magelang. Seperti halnya
kejadian tadi pagi yang saya alami di Jogja, niat hati ingin naik bus patas
apadaya supir tidak mau mengangkut saya. Pasrah mungkin itu yang hanya bisa
saya lakukan.
Akhirnya untuk kedua kalinya saya
harus naik “omprengan” menuju ke Jogja. Gambaran bagaimana lambannya bus pun
sudah terbayang sebelum saya naik ke atas bus. Tapi apa daya, hanya angkutan
tersebut yang bisa membawa saya kembali ke Jogja. Selang tak berapa lama mimpi
burukpun dimulai. Berangkat dari Terminal Tidar pukul empat sore saya baru tiba
di Jogja pukul setengah delapan malam. Sungguh perjalanan yang sangat lama
ditambah kondisi bus yang tidak ber AC dan bisa dikatakan tidak laik jalan.
Sampai di Terminal Giwangan Jogja
saya masih harus berkutat diarea terminal untuk mencari bus ke arah Solo.
Setelah berputar-putar akhirnya saya mendapatkan sebuah bus jurusan Surabaya
yang akan segera berangkat. Saya putuskan untuk ikut dengan bus tersebut. Kali
itu saya sudah kapok dengan bus “omprengan” dan berharap untuk tidak pernah
naik lagi.
Setelah melalui perjalanan yang
panjang ditambah ramainya jalan raya, kurang lebih pukul setengah sepuluh malam
saya tiba di Solo. Rasa capek dan lapar langsung datang menghinggap. Dalam hati
saya berkata bahwa pengalaman kali ini sungguh istimewa. Dari sini kita bisa
mendapatkan ilmu, pengetahuan, pengalaman, teman, saudara, relasi, dan lain
sebagainya. Saya hanya bisa berharap semoga kalaupun tahun depan ada acara
semacam ini lagi saya bisa berpartisipasi kembali.
_______________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
_______________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / FB, MAIL: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama