TUNTANG
– KEDUNG JATI AKHIRNYA HIDUP
LAGI
Alhamdulilah selang satu minggu
setelah blusukan saya ke Magetan, akhirnya kali saya bisa melakukan blusukan
lagi di tempat lain yakni di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Grobogan. Blusukan
kali ini saya lakukan dari Stasiun Tuntang hingga Stasiun Kedungjati. Banyak
hal menarik yang saya ditemui di jalur yang memiliki panjang kurang lebih 37
kilometer tersebut. Salah satu hal menarik yang saya jumpai diantaranya adalah
proses reaktivasi jalur Tuntang – Kedungjati yang mulai dilaksanakan. Berikut
adalah hasil penelusuran saya.
Sejarah
Singkat
Jalur Kedungjati hingga Tuntang
adalah jalur kereta api yang pada zamannya menghubungkan Semarang dengan Secang
yang terletak di Kabupaten Magelang. Jalur ini dibangun oleh Nederlands-Indische
Spoorweg Maatschappij (NISM) yang
dibuka pada tahun 1871 dan rampung pada tahun 1905. Jalur ini melewati beberapa
stasiun dan halte sebagai tempat naik turunnya penumpang. Tercatat ada tiga
stasiun yang dilewati jalur ini, yaitu: Stasiun Tempuran, Stasiun Gogodalem,
dan Stasiun Bringin serta Halte Ngombak dan Halte Tlogo yang dulu digunakan
khusus untuk mengangkut kayu mengingat bahwa wilayah Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Semarang memiliki sumber daya alam kayu yang melimpah pada masanya.
Pada
masa awal 1970-an, Stasiun Tuntang juga digunakan untuk angkutan ternak yang
hendak dibawa ke Jakarta. Ternak-ternak pilihan yang diternakkan oleh warga
dikumpulkan di Stasiun Tuntang sebelum dibawa ke Jakarta untuk dijual
menggunakan gerbong khusus angkutan ternak.
Seiring dengan kemajuan zaman, jalur
Kedungjati – Tuntang akhirnya harus menyerah pada perkembangan moda
transportasi jalan raya. Pada tahun 1976 jalur ini resmi di tutup karena kalah
bersaing dengan angkutan jalan raya seperti bus dan mobil pribadi. Kini 40
tahun sudah jalur tersebut mati dan tak terawat. Banyak peninggalan
infrastruktur kereta api yang menjadi saksi bisu betapa ramainya jalur tersebut
dimasa lalu.
Peta Jalur
Kedung Jati – Tuntang Tahun 1868
Sumber: kitlv.nl
Memulai
Blusukan
Blusukan kali ini saya awali dari
Solo pada tanggal 6 September 2014. Saya memilih hari Sabtu karena kebetulan
waktu itu sedang tidak ada jadwal perkuliahan dan saya rasa kondisi jalan Solo
– Semarang relatif lebih sepi saat akhir pekan. Pukul setengah tujuh pagi saya
berangkat dan kurang lebih satu setengah jam perjalanan akhirnya saya tiba di
Stasiun Tuntang. Sesampainya di Stasiun Tuntang saya melihat pemandangan yang
tidak biasa disana. Beberapa pekerja proyek nampak sedang mengotak atik jalur
kereta dan beberapa pekerja tampak sedang membersihkan area stasiun. Beberapa
pemukiman warga disekitar area stasiun pun juga nampak baru dirubuhkan.
Ternyata proyek reaktivasi Tuntang – Kedungjati sudah dimulai pelaksanaannya.
Sembari beristirahat sebelum melanjutkan
perjalanan, saya pun berkeliling diarea stasiun sambil menikmati keindahan
arsitektur bangunan Stasiun Tuntang. Stasiun Tuntang adalah stasiun yang
terletak di Kecamatan Tuntang perbatasan antara Salatiga dan Kabupaten Semarang.
Stasiun ini sendiri terletak pada ketinggian 464 meter diatas permukaan laut.
Pada zamannya, stasiun ini melayani perjalanan menuju Secang dan Kedungjati.
Tidaklah sulit menemukan lokasi stasiun ini karena posisinya yang strategis
berada di samping Jalan Raya Solo – Semarang.
Emplasemen
Stasiun Tuntang
Halaman Depan
Stasiun Tuntang
Stasiun Tuntang Tampak Samping
Stasiun Tuntang
Tahun 1910
Sumber: kitlv.nl
Stasiun
Tuntang dibangun pada tahun 1871 bebarengan dengan dibangunnya jalur kereta api
dari Kedungjati menuju Stasiun Willem I di Ambarawa. Tepat pada tanggal 21 Mei
1873, stasiun ini diresmikan dan mulai beroperasi. Stasiun ini ditutup pada
tahun 1976 setelah beroperasi selama 103 tahun. Sekarang stasiun ini dialih
fungsikan sebagai stasiun kereta wisata dari Ambarawa.
Dengan
berbekal peta kecil dan beberapa artikel mengenai jalur kereta api Tuntang –
Kedungjati yang telah saya persiapkan sebelumnya, blusukan pun saya lanjutkan.
Saya menuju kearah Kecamatan Bringin yang masih masuk dalam wilayah Kabupaten
Semarang. Selama perjalanan menuju Bringin saya menemukan beberapa bekas
potongan rel kereta yang berada di daerah Tuntang. Tak jauh dari sana, saya juga menjumpai proses eskavasi reaktivasi
jalur Tuntang – Kedungjati. Saya juga sempat menemukan bekas jembatan kereta
yang berbentuk plengkung bersinggungan dengan jalan raya. Jembatan tersebut
masih nampak kokoh meskipun telah berusia puluhan tahun.
Bekas Rel
Berpotongan dengan Jalan Raya Menuju Bringin
Proses Reaktivasi
Jalur Kereta di Kecamatan Tuntang
Bekas Jembatan
Kereta Api
Bekas Jembatan
Menuju Bringin
Perjalanpun
berlanjut menuju Bringin. Berdasarkan info yang saya dapatkan, didaerah Bringin
zaman dahulu terdapat sebuah stasiun yang terletak di dekat Pasar Bringin.
Benar saja sesampainya di pasar saya
menemukan sebuah papan milik PT. KAI tertancap di depan barisan ruko di area
pasar. Dari jauh tampak sebuah atap bangunan tua yang saya perkirakan adalah
bekas Stasiun Bringin yang berdiri tepat dibelakang komplek ruko. Saya pun
semakin penasaran dan mencoba mencari jalan masuk menuju lokasi tersebut.
Tepat didepan pasar, terdapat sebuah
gang kecil menuju perkampungan warga. Sayapun mencoba masuk melewati gang
tersebut. Benar dugaan saya, disitulah berdiri Stasiun Bringin yang kini telah
berubah menjadi sarang burung walet.
Stasiun
Bringin mulai beroperasi pada tahun 1873 untuk angkutan distribusi barang dan
penumpang. Seiring dengan ditutupnya jalur Kedungjati – Tuntang, praktis
stasiun inipun ikut menjumpai kematiannya. Stasiun ini resmi ditutup oleh
pemerintah pada tahun 1976. Saat ini tak banyak yang tersisa dari bangunan stasiun.
Bangunan stasiun yang tidak terawat memunculkan kesan angker dan kumuh. Hanya
sebuah bekas alat sinyal di emplasemen stasiun sajayang menjadi bukti bahwa
bangunan tersebut dulunya adalah sebuah stasiun kereta api.
Emplasemen
Stasiun Bringin
Plakat Cagar
Budaya Stasiun Bringin
Bekas Alat
Sinyal di Stasiun Bringin
Bekas Jalur
Kereta Api di Stasiun Bringin
Setelah
puas menjelajahi Stasiun Bringin, perjalanan saya lanjutkan menuju ke Stasiun
Kedungjati. Sebenarnya masih ada dua stasiun lagi sebelum Stasiun Kedungjati,
yakni Stasiun Gogodalem dan Stasiun Tempuran. Akan tetapi saya berencana
mencari dua stasiun tersebut setelah blusukan ke Kedungjati.
Sampai di daerah Kedungjati yang
masuk kedalam wilayah admisnistrasi Kabupaten Grobogan, saya disuguhi dengan
pemandangan hutan jati yang sangat luas. Mungkin itulah kenapa daerah ini
disebut dengan Kedungjati. Perbukitan pun nampak berjajar rapi persis seperti
yang saya saksikan saat naik kereta api Kalijaga dari Solo menuju Semarang.
Cuaca disini sangat terik, tapi tetap menyuguhkan panorama yang luar biasa
indahnya. Akhirnya perjalanan saya tiba di Stasiun Kedungjati yang merupakan salah
satu stasiun tertua di Indonesia.
Seperti halnya di Stasiun Tuntang,
disini saya juga menjumpai aktivitas reaktivasi jalur Kedungjati – Tuntang. Jalur
rel di emplasemen selatan stasiun sudah dibongkar. Beberapa petugas nampak
sibuk dengan alat kerjanya. Saya pun singgah sejenak untuk beristirahat di
dalam bangunan stasiun yang memiliki desain yang hampir mirip dengan bangunan
Stasiun Ambarawa tersebut.
Stasiun
Kedungjati
Ruang Tunggu
Penumpang Stasiun Kedungjati
Jalur
Kereta dari Arah Tuntang
Emplasemen
Selatan Stasiun Kedungjati
Stasiun
Kedungjati Tahun 1868
Sumber: kitlv.nl
Stasiun
Kedungjati adalah salah satu stasiun yang terletak di Kabupaten Grobogan Jawa
Tengah. Dahulu stasiun ini merupakan titik pertemuan jalur kereta api dari
Semarang menuju Secang Magelang. Stasiun ini terletak di ketinggian 36 meter
diatas permuakaan laut. Diresmikan pada tanggal 21 Mei 1873, stasiun ini
sekarang nampak sepi seiring matinya jalur selatan menuju Ambarawa. Meskipun
sepi, stasiun ini masih nampak terawat dan bersih. Hanya beberapa kereta api
kelas ekonomi saja yang mampir di stasiun ini. Bangunan stasiun sendiri berarsitek
menyerupai Stasiun Willem I di Ambarawa dan sempat mengalami renovasi pada
tahun 1907.
Setelah puas melihat isi stasiun,
saya kembali melanjutkan perjalanan untuk mencari lokasi Stasiun Tempuran.
Sebelumnya saya sempat bertanya kepada kepala stasiun untuk menanyakan
keberadaan Stasiun Tempuran. “Ada Mas, dulu dari Kedungjati ada stasiun
didaerah Tempuran tapi bangunannya masih ada atau tidak saya kurang tahu”.
Terang kepala stasiun kepada saya. Mendengar informasi tersebut saya segera
bergegas menuju Desa Tempuran.
Sesampainya di Desa Tempuran setelah
sempat tersesat berkali-kali dijalanan desa, akhirnya saya memberanikan diri
untuk bertanya kepada beberapa penduduk untuk memperoleh informasi tentang
keberadaan Stasiun Tempuran. Beberapa penduduk yang saya tanyai semuanya tidak
tahu mengenai keberadaan Stasiun Tempuran. Hampir putus asa, akhirnya saya
bertemu dengan seorang kakek berusia kurang lebih 70 tahun yang menenteng
cangkul dari ladang menuju ke rumahnya melintasi jalan desa. Saya segera
mencegat kakek tersebut dan menanyakan tentang lokasi stasiun kepada beliau.
“Oh, kalau Stasiun Tempuran dulu ada”. Kata kakek tersebut dengan bersemangat.
“Lokasinya 200 meter dari sungai sebelah kiri jalan”. Sambil menunjukkan arah
dengan tangannya. Menurut saya kakek tersebut merupakan salah satu saksi hidup
tentang keberadaan dan kejayaan Stasiun Tempuran mengingat masih hafalnya
lokasi stasiun di ingatan sang kakek.
Berbekal informasi yang saya
peroleh, saya segera tancap gas menuju TKP. Ternyata tak mudah mencari lokasi
stasiun, banyak jalan desa seperti yang dimaksud oleh kakek tadi saya jumpai di
Tempuran. Kebetulan ada seorang pemuda, perkiraan berusia 27 tahun yang sedang
duduk di tepi jalan. Saya pun bertanya mengenai keberadaan Stasiun Tempuran.
“Lokasi stasiunnya disitu mas, itu tinggal pondasinya”. Sambil menunjukkan arah
dengan tangan kanannya. Dia pun menjelaskan bahwa semenjak dia duduk di bangku
sekolah dasar, bangunan stasiun memang sudah tidak ada alias sudah dibongkar.
“Dari dulu bangunannya memang sudah tidak ada mas, sudah lama sekali itu”. Akhirnya saya menuju ke lokasi bekas stasiun
yang hanya berjarak 50 meter dari tempat kami berbincang.
Benar saja, sesampainya dilokasi bangunan
stasiun sama sekali sudah tak berbekas. Hanya bersisa batu pondasi bekas
Bangunan Stasiun Tempuran berdiri. Saat ini yang nampak di lokasi stasiun
hanyalah proyek reaktivasi jalur kereta api Tuntang – Kedungjati saja. Bekas
potongan rel pun sudah tidak bisa saya temui. Sangat sayang memang, salah satu
bangunan bersejarah dalam dunia perkeretaapian di Indonesia harus hilang tak
berbekas. Mungkin Kejayaan stasiun Tempuran saat ini hanyalah tersisa di
kenangan warga sekitar yang telah berusia lanjut yang menjadi saksi hidup
kejayaan Stasiun Tempuran.
Bekas Lokasi
Stasiun Tempuran
Stasiun Tempuran
Sumber:
Wikipedia
Sebelum
melanjutkan perjalanan mencari Stasiun Gogodalem, saya juga sempat bertanya
pada warga yang tidak saya ketahui namanya tadi mengenai keberadaan Stasiun
Gogodalem. Dengan jelas dia menujukkan dimana letak stasiun berada. Melalui
informasi tersebut perjalanan saya lanjutkan menuju Desa Gogodalem. Selama
perjalanan menuju Gogodalem saya menjumpai pemandangan yang unik. Terlihat dari
kejauhan beberapa pekerja sedang mempersiapkan pembuatan jembatan kereta api
melintasi Kali Konang dan pengerukan jalur kereta api.
Proses Persiapan
Pembangunan Jembatan Kereta Api Kali Konang
Pembuatan Jalur Kereta Api di Dekat Gogodalem
Pembangunan
Jalur Kereta Api di Gogodalem Tahun 1868
Sumber: kitlv.nl
Pembangunan
Jembatan Kereta Api Tuntang - Kedungjati Tahun 1868
Sumber: kitlv.nl
Sesampainya
di Desa Gogodalem tepatnya di Pasar Gogodalem saya mulai mencari keberadaan
lokasi stasiun berada. Sempat beberapa kali saya tersesat, akhirnya saya
putuskan untuk menengok proyek aktivasi jalur kereta api di area tersebut
dengan harapan bisa menemukan petunjuk mengenai keberadaan Stasiun Gogodalem.
Tepat didepan pasar terdapat hutan karet yang tidak terlalu besar. Disana
terdapat jalan tanah menurun menuju perkampungan di balik hutan. Tampak alat-alat
berat sedang meratakan tanah untuk dijadikan jalur kereta api.
Tak
jauh dari posisi saya, terdapat lima anak kecil yang sedang bermain disekitar
proyek. Saya sempat menanyakan lokasi keberadaan stasiun pada salah satu anak
dan merekapun menunjukkan lokasi stasiun yang ternyata tepat berada di depan
saya. Tak tampak bangunan serupa stasiun yang ada disana. Yang ada hanyalah
bangunan bedeng milik pekerja sebagai tempat beristirahat. Karena masih ragu
dengan jawaban anak tersebut, akhirnya saya bertanya pada seorang warga yang
kebetulan melintas ditempat tersebut bersama anaknya. “Stasiunnya dulu letaknya
disitu mas, dulu bangunannya mirip bangunan Belanda”. Jawab warga tersebut
sambil menunjukkan lokasi stasiun yang ternyata sama seperti yang ditunjukkan
oleh anak-anak tadi. Lebih lanjut saya menanyakan kapan dan kenapa stasiun itu
dibongkar kepada Bapak tersebut. “Satu bulan yang lalu kurang lebih stasiunnya
masih ada, tapi karena ada proyek reaktivasi bangunan stasiun dirubuhkan”.
Kembali saya harus menelan kekecewaan karena salah satu bangunan bersejarah itu
kini telah hancur tak bersisa.
Disekitar
area bekas Stasiun Gogodalem saya mencoba mencari jejak-jejak keberadaan
bangunan stasiun yang mungkin masih bisa saya temukan. Tak banyak yang bisa
saya temui di bekas area stasiun. Satu-satunya petunjuk bahwa disana pernah
terdapat bangunan adalah sebuah tembok penahan yang masih berdiri yang menurut
saya adalah bagian belakang dari bangunan Stasiun Gogodalem. Stasiun Gogodalem dibangun pada tahun 1873
bebarengan dengan pembangunan jalur Tuntang – Kedungjati. Stasiun ini ditutup
pada tahun 1976 seiring dengan matinya jalur yang melintasi stasiun tersebut.
Kini Stasiun Gogodalem hanyalah tinggal sejarah.
Lokasi Bekas
Stasiun Gogodalem
Stasiun
Gogodalem
Sumber: Wikipedia
Setelah
blusukan di Gogodalem, perjalanan saya lanjutkan ke titik awal saya yaitu di
Stasiun Tuntang. Diperjalanan saya berpikir bahwa reaktivasi jalur Tuntang –
Kedungjati yang rencananya juga ditujukan untuk wisata rasanya akan sedikit
tidak lengkap mengingat lenyapnya dua stasiun bersejarah di lintasan tersebut.
Semoga hal ini tidak terjadi dengan stasiun-stasiun di wilayah lain.
Sampai
di Stasiun Tuntang, saya berencana melanjutkan perjalanan menyusuri jalur
kereta api menuju Ambarawa hingga Bedono. Blusukan saya ke Stasiun Ambarawa dan
Bedono akan saya tulis dalam tulisan berikutnya dengan judul yang berbeda.
_____________________________
Tulisan ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
--------------------------------------------
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussip mas ulasannya. Kemarin aku lewat Bringin Gogodalem, proyeknya mangkrak,..,
BalasHapusInfonya proyek akan dilanjutkan stlh tol selesai
BalasHapushingga 2020 ini, di beberapa bagian sudah nampak sebagai rel yang aktif tapi di sisi yang lain juga nampak seperti proyek mangkrak...
BalasHapus