JEJAK KERETA
API DI KOTA TEMBAKAU
Siapa yang mengira bahwa Kota
Temanggung, kota yang terkenal akan hasil tembakaunya ini dahulu pernah
dilintasi kereta api. Bahkan beberapa stasiun tercatat pernah berdiri di
Kabupaten yang terkenal dengan bakso ulegnya ini. Saya sendiri baru mengetahui
keberadaan kereta api di Temanggung saat tinggal di Semarang melalui cerita
yang disampaikan oleh teman kos saya yang merupakan penduduk asli Temanggung.
Pengetahuan saya akan bukti
keberadaan kereta api di Temanggung semakin bertambah tatkala saya tinggal di
Temanggung selama hampir 45 hari dalam rangka menyelesaikan tugas Kuliah Kerja
Nyata (KKN) dari kampus pada tahun 2012. Waktu itu saya sempat menjumpai
beberapa bukti keberadaan kereta api di Temanggung seperti bangunan bekas
stasiun dan bekas jembatan kereta api dibeberapa titik. Namun waktu itu saya
belum berfikiran untuk menggali lebih jauh informasi mengenai keberadaan kereta
api di Temanggung mengingat masih sedikitnya informasi yang saya miliki kala
itu. Blusukan saya kali ini akan membahas mengenai bukti keberadaan kereta api
di Temanggung dimasa lampau yang telah lama mati akibat kalah bersaing dengan
moda transportasi berbasis jalan raya seperti bis dan kendaraan pribadi.
Sejarah
Singkat
Jalur kereta api
dari Secang menuju Parakan adalah jalur kereta yang dibangun setelah
pembangunan jalur Secang-Magelang yang selesai dibangun pada 15 Mei 1903.
Pembangunan jalur ini di bagi dalam dua tahap, yakni rute Secang hingga
Temanggung yang mulai beroperasi pada 3 Januari 1907 dan rute Temanggung hingga
Parakan yang mulai beroperasi pada 1 Juli 1907. Sepanjang rute ini tercatat ada
beberapa stasiun dan halte sebagai tempat naik turun penumpang, diantaranya
adalah: Stasiun Secang, Halte Nguwet, Stasiun Kranggan, Halte Guntur, Stasiun
Temanggung, Halte Maron, Stasiun Kedu, dan Stasiun Parakan.
Menurut catatan sejarah, pembangunan
jalur kereta api diwilayah Ambarawa, Secang, Temanggung, Parakan, dan Magelang
tidaklah luput dari peran pemborong sekaligus insinyur asal Tiongkok kala itu
yang bernama Ho Tjong An. Tercatat biaya pembangunan jalur kereta api dari
Magelang hingga Secang serta Secang hingga Parakan sebesar f 350.000,-
(Guilders Belanda). Tentu angka tersebut merupakan nominal yang sangat besar
diwaktu itu.
Peta Jalur
Kereta Api di Temanggung Tahun 1903
Sumber: kitlv.nl
Memulai
Blusukan
Blusukan kali
ini saya lakukan pada tanggal 21 September 2014 tepatnya pada hari Minggu. Saya
mengambil titik start dari Solo menuju Secang Magelang pada pukul enam pagi.
Rute yang saya ambil kali ini melewati Boyolali dan Salatiga via Banyubiru
selama kurang lebih dua jam perjalanan. Tujuan pertama saya yaitu mencari letak
Stasiun Secang sebagai stastiun awal rute kereta menuju Parakan. Tepat pukul
delapan pagi saya tiba di Kecamatan Secang.
Sesampainya di Secang saya langsung
mencari lokasi gudang pupuk milik Pusri karena menurut info yang saya dapatkan,
didekat gudang itulah Stasiun Secang berada. Sesampainya di pertigaan Secang,
saya mulai melihat bangunan kuno rumah dinas kepala stasiun yang tampak kosong
tak terawat tepat berdiri disekitar traffic
light Secang. Dugaan saya kemungkinan Stasiun Secang berada di sekitar
kawasan tersebut. Terus berjalan ke arah barat akhirnya saya menemukan gudang
Pusri. Tepat di sebelah gudang terdapat jalan kecil menuju perkampungan. Saya
pun bergegas memasuki gang tersebut dengan harapan menemukan bekas bangunan
Stasiun Secang.
Terus masuk kedalam kampung,
akhirnya saya menemukan sebuah bangunan yang mirip dengan bangunan gudang
berdiri tepat di samping rumah warga. Dengan rasa penasaran yang semakin
bertambah, saya mencoba menilik area di belakang gudang tersebut. Benar saja,
akhirnya saya berhasil menemukan bekas bangunan Stasiun Secang yang nampak
kotor tak terawat berada tak jauh dari bangunan gudang stasiun.
Diemplasemen stasiun, saya mencoba
mengamati kondisi sekitar Stasiun Secang sembari melepas lelah. Kondisi
bangunan stasiun sendiri sebenarnya masih utuh dengan daun pintu dan daun
jendela yang saya perkirakan masih asli. Bahkan saya masih bisa menemukan
lantai khas emplasemen stasiun dengan bentuk kotak-kotak berwarna kuning yang
masih asli. Lokasi area Stasiun Secang sebenarnya belum terlalu banyak berubah.
Disana juga masih bisa dijumpai sisa-sisa rel menuju ke arah Magelang dan
Temanggung.
Stasiun
Secang adalah stasiun yang terletak di Kecamatan Secang Kabupaten Magelang yang
berdiri diatas ketinggian 466 meter diatas permukaan air laut. Stasiun ini
didirikan oleh perusahaan kereta api Hindia Belanda NIS dengan memiliki tiga
jalur, yaitu jalur menuju ke Semarang, Yogyakarta, dan Parakan. Sebelum tahun
1970 jalur ini ramai oleh penumpang yang hendak bepergian. Namun seiring dengan
berjalannya waktu, penumpang mulai beralih menggunakan angkutan berbasis jalan
raya yang mengakibatkan jumlah penumpang
kereta turun drastis.
Tepat
pada tahun 1973 jalur dari Secang menuju Parakan ditutup oleh Jawatan Kereta
Api karena menurunnya jumlah okupansi penumpang. Tak lama kemudian setelah
jalur tersebut ditutup menyusul jalur Kedungjati hingga Magelang yang ikut
ditutup karena alasan yang sama pada tahun 1976.
Bekas Bangunan Gudang Stasiun Secang
Bekas Emplasemen Stasiun Secang
Bekas Rel Menuju Magelang
Halaman
Depan Stasiun Secang
Puas
menengok keberadaan Stasiun Secang, perjalanan saya lanjutkan menuju Halte
Nguwet. Masih mengikuti jalan kampung yang ada disekitar stasiun, saya masih
bisa menjumpai sisa-sisa rel menuju Temanggung yang menyatu dengan jalanan
aspal kampung. Perjalanan saya lanjutkan ke utara ke arah Temanggung. Masih di
wilayah Secang, saya menjumpai persilangan jalur kereta api memotong jalan raya
menuju ke timur. Lokasinya tepat berada di seberang pom bensin yang ada di
Secang. Di persilangan tersebut juga masih nampak bekas rel dan gundukan tanah
bekas jalur kereta api.
Diarea
ini saya sempat berhenti sejenak sembari mengamati pergerakan jalur
kereta. Ada kejadian unik yang saya
alami saat berada di area ini. Rasa penasaran saya yang tinggi akan kondisi
bekas jalur kereta membuat saya nekat masuk kedalam perkebunan mengikuti
gundukan tanah bekas jalur kereta. Terus merangsek masuk kedalam perkebunan tanpa
saya sadari jalan tersebut ternyata menuntun saya ke sebuah area pemakaman
warga yang berada di tengah perkebunan. Guna menghindari hal-hal yang tidak
saya inginkan saya pun langsung berputar arah.
Bekas Jalur
Kereta dari Stasiun Secang
Rel Berotongan
dengan Jalan Raya
Dari
titik persilangan tersebut perjalanan saya lanjutkan mencari keberdaan Halte
Nguwet. Menurut info yang saya dapatkan Halte Nguwet terletak di Desa Nguwet
Kecamatan Kranggan Temanggung. Bangunannya sendiri menurut informasi sudah
tidak berbekas. Dengan rasa penasaran sayapun bergegas menuju kesana.
Cukup mudah mencari lokasi Desa
Nguwet. Memasuki Kecamatan Kranggan saya menjumpai pertigaan yang memiliki traffic light. Di pertigaan tersebut nampak
plang milik PT. KAI tertancap di sebelah kanan jalan. Untuk menuju Desa Nguwet
saya mengambil arah kekanan dari arah Secang kurang lebih sejauh 3 kilometer.
Sampai di Desa Nguwet sebelum pom bensin saya melihat beberapa tiang sinyal
kereta yang terbuat dari besi rel kereta tertancap di area persawahan. Tepat
disamping pom bensin saya kembali menemukan persilangan rel dengan jalan raya.
Rel tersebut membentang lurus melintas diatas sebuah sungai yang posisinya agak
jauh dari jalan raya.
Bekas Rel
Bersilangan dengan Jalan Raya
Sesampainya
di depan Kantor Desa Nguwet saya mencoba masuk ke sebuah jalan kampung dengan
harapan akan memperoleh petunjuk mengenai keberadaan Halte Nguwet. Terus masuk
hingga tiba di ujung jalan, saya sama sekali tidak menemukan petunjuk mengenai
keberadaan halte disana. Kebetulan saya bertemu dengan seorang kakek yang
sedang membersihkan halaman rumahnya. Saya menanyakan kepada beliau mengenai
keberadaan Halte Nguwet dengan harapan kakek tersebut mengetahuinya. Benar
saja, kakek tersebut dengan hafalnya menunjukkan kepada saya dimana letak Halte
Nguwet berdiri.
Informasi yang saya dapatkan dari
kakek tersebut adalah bahwa Halte Nguwet terletak dibelakang sebuah pabrik yang
kebetulan tadi saya lewati. Beliau menandaskan bahwa bangunan halte sendiri
sudah tidak ada bekasnya. Dengan berbekal informasi tersebut, saya segera
tancap gas menuju pabrik yang dimaksud sang kakek. Sesampainya di depan pabrik
saya cukup sulit menemukan jalan masuk menuju area dibelakang pabrik karena
lokasi pabrik yang dikelilingi oleh sawah. Akhirnya setelah mondar-mandir saya
menemukan sebuah jalan kecil menuju ke persawahan yang tak jauh dari pabrik.
Jalan yang saya lewati ini sungguh
berbahaya. Lebar jalan yang tidak terlalu besar serta kondisi jalan yang
terbuat dari batu sungai yang di susun membuat saya harus ekstra hati-hati.
Setelah masuk kurang lebih 100 meter, akhirnya saya tiba di ujung jalan yang
berada tepat di belakang pabrik. Disekitar area tersebut saya menemukan patok
yang terbuat dari rel kereta api tertancap di tengah sawah. Menurut perkiraan
saya disitulah dulunya lokasi Halte Nguwet berdiri. Tak jauh dari patok
tersebut, saya juga menjumpai sebuah jembatan yang lumayan besar melintas di
atas sungai dengan konstruksi bangunan yang masih tergolong baik.
Perkiraan Lokasi
Halte Nguwet
Bekas Jembatan
di Nguwet
Puas
mengamati area jembatan di Desa Nguwet, perjalanan saya lanjutkan kembali
menuju Kranggan untuk mencari keberadaan Stasiun Kranggan. Setibanya di
Kranggan saya berusaha mencari lokasi stasiun yang menurut informasi yang saya
peroleh berada tidak jauh dari lokasi Pasar Kranggan. Sambil berjalan pelan
saya mengamati perkampungan di seberang pasar dan tak sengaja menemukan plang
milik PT. KAI tertancap di ujung gang kampung. Saya segera bergegas menghampiri
plang tersebut.
Di
sekitar area plang milik KAI saya melihat sebuah tiang sinyal yang terbuat dari
potongan besi rel kereta tertancap di sebuah kandang ayam milik warga. Saya pun
berlanjut menelusuri kampung tersebut melalui jalanan kampung yang sempit.
Menurut analisa saya jalan kampung yang saya lewati ini adalah bekas jalur
kereta api, mengingat lebar dan bentuk gundukan jalan yang menyerupai jalur
kereta api ditambah dengan tiang sinyal yang saya temukan tadi memperkuat
hipotesis saya.
Bekas Sinyal
Stasiun Kranggan
Tiba
diujung jalan secara tak sengaja akhirnya saya menemukan bangunan bekas Stasiun
Kranggan. Bentuknya mirip dengan yang saya lihat di gambar. Selain itu bentuk
bangunan khas stasiun dengan lubang ventilasi bundar di bagian atasnya membuat
saya yakin bahwa itulah bangunan yang saya cari. Dilihat dari bentuk fisiknya,
bangunan stasiun masih nampak terawat meskipun ada penambahan bangunan baru di
sisi utara.
Stasiun
Kranggan adalah salah satu stasiun yang ada di Temanggung yang terletak di Desa
Pendowo. Stasiun ini dibuka pada tahun 1907 dan ditutup pada tahun 1973 setelah
66 tahun beroperasi. Stasiun ini berdiri di diketinggian 467 meter diatas
permukaan air laut dan dibangun oleh Nederlands-Indische
Spoorweg Maatschappij (NISM) sebuah perusahaan swasta kereta api Hindia
Belanda. Kini bangunan stasiun di gunakan oleh mantan pegawai PJKA sebagai
tempat tinggal.
Stasiun Kranggan
Dari
Stasiun Kranggan perjalanan saya lanjutkan menuju Temanggung untuk mencari
lokasi Halte Guntur. Tak jauh perjalanan saya dari Kranggan saya melintasi Kali
Progo yang diatasnya masih terdapat bekas jembatan kereta api yang melintang.
Menurut informasi yang saya dapatkan pada tahun 1947 pernah terjadi kecelakaan kereta
api di jembatan tersebut yang mengakibatkan kereta api tercebur ke dalam
sungai. Saya menyempatkan diri untuk mendekati area jembatan untuk melihat
kondisi jembatan.
Bekas Jembatan
Kereta Melintas Diatas Kali Progo
Kereta Melintas
Diatas Kali Progo Tahun 1900
Sumber: kitlv.nl
Dari
area jembatan Kali Progo perjalanan saya lanjutkan menuju Halte Guntur yang
berada di Desa Guntur. Letak Desa Guntur sendiri berada di sebelah kanan jalan
gapura masuk Kecamatan Temanggung atau tepatnya kanan jalan sebelum Kantor
Dinhub Temanggung. Perjalanan saya lanjutkan menyusuri jalanan kampung yang
sepi. Kebetulan saat tiba di sana, perjalanan saya agak terhambat karena ada
perbaikan jalan yang sedang dilakukan oleh masyarakat desa. Perjalanan saya pun
dialihkan oleh warga menyusuri jalan setapak yang ada di kampung tersebut.
Pengalihan jalur yang dilakukan
warga tersebut ternyata menjadi sebuah keberuntungan tersendiri bagi saya.
Ternyata jalan setapak yang saya lalui adalah bekas jalur kereta api di Desa
Guntur. Beberapa potongan rel keretapun masih bisa saya temukan. Bahkan batuan
kerikil yang mirip bantalan jalur kereta pun masih bisa saya jumpai. Tak lama
kemudian bekas rel tersebut mengarahkan saya ke sebuah lokasi yang menurut
artikel yang saya dapatkan adalah bekas lokasi Halte Guntur berdiri dahulu.
Bangunan Halte Guntur sendiri memang sudah tidak ada dan tak berbekas. Dari
titik tersebut rel bersilangan dengan jalan desa dan menembus ke rumah warga.
Bekas Jalur
Kereta di Desa Guntur
Perkiraan Lokasi
Halte Guntur
Beranjak
dari Desa Guntur pencarian saya lanjutkan menuju Kota Temanggung untuk mencari
letak Stasiun Temanggung. Tidaklah sulit bagi saya untuk menemukan lokasi stasiun.
Selain posisinya yang sangat strategis yakni di belakang Kantor Bupati Temanggung,
saya sudah pernah melihat bangunan Stasiun Temanggung sebelumnya saat mengikuti
program KKN di Temanggung tahun 2012, sehingga saya hafal betul letak dan
kondisi dari Stasiun Temanggung.
Setibanya di Stasiun Temanggung,
saya masih bisa melihat bangunan stasiun yang masih tampak gagah berdiri dengan
kondisi yang masih terawat. Posisinya yang berdiri di tengah padatnya pemukiman
penduduk membuat tidak banyak orang mengetahui bahwa bangunan tua bercat merah
tua itu dulunya adalah sebuah stasiun. Bahkan teman kuliah saya dulu yang
berasal dari Temanggung hanya mengetahui bahwa stasiun yang ada di Temanggung
hanyalah Stasiun Parakan saja.
Masyarakat sekitar sekarang lebih
mengenal tempat ini sebagai Gedung Juang 45. Stasiun Temanggung dibangun pada
tahun 1907 oleh Nederlands Indische
Spoorweg Maatschappij (NISM). Dahulunya stasiun ini selain untuk angkutan
penumpang juga digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti tembakau. Stasiun
di tutup pada tahun 1973 setelah 66 tahun beroperasi. Alasan penutupan stasiun
ini sama dengan stasiun-stasiun lainnya yaitu kalah bersaing dengan angkutan
jalan raya. Selain itu laju kereta yang lambat pada masa itu juga membuat
masyarakat malas menggunakan kereta. Kini bangunan stasiun dimanfaatkan sebagai
kantor sekretariat Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri).
Bangunan Bekas
Stasiun Temanggung
Stasiun
Temanggung Tahun 1907
Sumber: Oliver
Johannes Collection
Puas
mengambil gambar di Stasiun Temanggung, perjalanan saya lanjutkan menuju ke
arah Kecamatan Kedu. Sepanjang perjalanan saya menuju Kedu, saya disuguhi
dengan sebuah pemandangan yang luar biasa saat melintasi Kali Kuwas. Tepat di
atas Kali Kuwas membentang sebuah bekas jembatan kereta api yang masih nampak
kokoh berdiri dengan kerangka bajanya yang masih utuh. Sebenarnya jembatan ini
juga sudah tidak asing bagi saya, karena dulu jika hendak pergi ke Kota
Temanggung saat KKN, saya sering menyaksikan jembatan ini dari kejauhan.
Meskipun jembatan Kali Kuwas sudah
tidak asing bagi saya, tetapi jembatan ini tetap menyimpan keindahan tersendiri
bagi saya dan tidak pernah bosan untuk memandangnya. Tak bisa dibayangkan
keindahannya seumpama jembatan tersebut masih aktif dilalui kereta api, pasti
akan memberikan pemandangan yang luar biasa indahnya. Saat itu saya mencoba
untuk menjangkau lebih dekat kearah jembatan untuk melihat kondisinya secara
lebih detail. Saya mencoba masuk kesebuah perkampungan yang letaknya tepat di
bawah jembatan melalui sebuah gang kecil dari jalan raya. Warna sawah yang
hijau serta jernihnya air sungai menambah keindahan pemandangan di lokasi
tersebut.
Jembatan Kali
Kuwas
Jembatan Kali
Kuwas Tahun 1900
Sumber: kitlv.nl
Kerangka
Jembatan Kali Kuwas
Puas
menikmati keindahan jembatan Kali Kuwas perjalanan saya lanjutkan ke Kecamatan
Kedu. Sebelum tiba di Kedu saya teringat bahwa di daerah Maron dulunya terdapat
sebuah halte pemberhentian kereta api. Tak lama berselang perjalanan saya tiba
di pertigaan Maron. Menurut referensi yang saya dapatkan bahwa letak Halte
Maron dulunya berada di sekitar pertigaan tersebut. Saya mencoba berbelok ke kanan dari arah
Temanggung menuju sebuah terminal kecil yang tak jauh dari lokasi pertigaan.
Disana saya menemukan sebuah plang milik PT. KAI tertancap di samping ruko
dengan kondisi sedikit tertutup pohon rambutan. Saya memperkirakan bahwa
dilokasi itulah dulunya Halte Maron berdiri. Sayang bangunan haltepun sekarang
sudah dibongkar dan berubah menjadi kawasan pertokoan. Perjalananpun saya lanjutkan
menuju Kecamatan Kedu untuk mencari letak Stasiun Kedu.
Perkiraan Lokasi
Halte Maron
Selama
perjalanan menuju Kecamatan Kedu saya mulai menjumpai bekas-bekas jalur kereta
yang masih nampak terlihat di sisi kanan jalan. Beberapa sisa rel masih nampak
jelas, akan tetapi juga ada yang sudah tertutup oleh bangunan warga dan
perkebunan. Bahkan di sebuah titik saya masih bisa menjumpai tiang sinyal yang
tertancap di pinggir jalan. Akhirnya
saya masuk diwilayah Kecamatan Kedu. Kali ini tujuan saya adalah Kantor
Kecamatan Kedu yang menurut referensi letak Stasiun Kedu berada persis didepan
kantor kecamatan. Sebelumnya saya sudah tahu dimana lokasi kantor kecamatan,
karena saat KKN dulu kebetulan teman saya menginap di kompleks kantor kecamatan
tersebut.
Tibanya di depan Kantor Kecamatan
Kedu, saya mulai mengamati area didepan kantor. Benar saja, ada sebuah gang
kecil dimana terdapat bangunan tua bercat kuning yang berdiri di ujung gang.
Saya pun kemudian masuk ke gang tersebut. Suasana sepi langsung terasa ketika
saya menuju bangunan tua tersebut. Tak ada aktivitas yang bisa saya jumpai di
sana. Bahkan suasana angkerpun sempat muncul dibenak saya. Dibagian belakang
bangunan terdapat alat persinyalan seperti yang lazim terdapat di stasiun dan
ada beberapa bekas potongan besi rel kereta api.
Bagian Depan
Stasiun Kedu
Jika
dilihat dari arsitek bangunan stasiun, bentuk bangunan Stasiun Kedu tidak menyerupai
bentuk stasiun yang saya jumpai sebelumnya. Saya sempat berpendapat bahwa
mungkin bangunan stasiun adalah bangunan yang telah di pugar sehingga bentuk
aslinya telah dirubah. Menurut sejarahnya Stasiun Kedu dibangun pada tahun 1907
oleh NIS. Pada masanya stasiun ini melayani angkutan penumpang dan barang.
Stasiun ini masih beroperasi hingga dekade 1970-an dan kemudian ditutup pada
tahun 1973 karena menurunnya jumlah penumpang. Bekas bangunan stasiun kini
digunakan oleh Pepabri sebagai kantor sekretariat.
Emplasemen
Stasiun Kedu
Sebuah Kereta
Berhenti di Wilayah Kedu Tahun 1910
Sumber: kitlv.nl
Hari
beranjak siang, perjalananpun saya lanjutkan menuju stasiun terakhir yakni
Stasiun Parakan. Jarak antara Stasiun Kedu dengan Stasiun Parakan lumayan cukup
jauh. Sepanjang perjalanan saya disuguhi pemandangan ladang tembakau dengan
latar belakang Gunung Sindoro Sumbing yang sangat indah. Masih didaerah Kedu,
saya teringat pada sebuah referensi bahwa di Desa Campursari Kecamatan Bulu
terdapat bekas jembatan kereta api yang bersilangan dengan jalan raya yang kini
digunakan warga sebagai jembatan penyeberangan yang terkenal dengan nama
Plengkung Campursari. Sayapun mencoba mencari jembatan tersebut. Ternyata
tidaklah sulit menemukan lokasi tersebut. Sebelum Parakan ada sebuah pertigaan
besar belok kiri ke arah Bulu, kurang lebih 2 kilometer maka kita akan menjumpai
jembatan tersebut.
Bekas Jembatan
Kereta di Bulu
Beranjak
dari Plengkung Campursari, saya segera tancap gas menuju Parakan. Setibanya di
Parakan saya sempat tersesat mencari lokasi Stasiun Parakan. Suasana yang ramai
serta banyaknya jalan searah membuat saya kebingungan. Setelah memasuki
beberapa jalan dan bertanya kepada seorang tukang parkir akhirnya saya berhasil
menemukan lokasi Stasiun Parakan. Lokasinya terletak di sebuah jalan kecil kiri
jalan sebelum Indomaret Parakan. Dari pertigaan masuk kurang lebih 50 meter.
Sebelum SMK Parakan ada jalan kekanan kemudian masuk maka kita akan menjumpai area
bekas Stasiun Parakan.
Bangunan pertama yang saya temui
adalah bekas gudang stasiun. Bangunannya cukup besar dengan kondisi yang masih
terawat. Kurang lebih 30 meter dari bangunan gudang saya kemudian menjumpai
lokasi Stasiun Parakan. Bentuk bangunannya menyerupai Stasiun Temanggung akan
tetapi kondisinya jauh sangat memprihatikan. Bangunan stasiun tampak kotor dan
tidak terawat serta banyak sampah yang berserakan meskipun bangunan tersebut
dihuni oleh pensiunan PJKA. Mungkin karena lokasinya yang dekat dengan pasar
membuat bangunan stasiun nampak kumuh.
Stasiun
Parakan adalah stasiun pemberhentian terakhir kereta api dari Secang. Stasiun
ini didirikan oleh NIS pada tahun 1907. Pada masanya stasiun ini memiliki
fasilitas yang lengkap seperti gudang, dipo kereta api dan dipo lokomotif.
Stasiun ini masih ramai oleh penumpang pada tahun 1970-an kemudian selang tak
berapa lama pada tahun 1973 stasiun ini resmi ditutup seiring ditutupnya jalur
dari Secang karena jumlah penumpang yang turun drastis. Kini area sekitar
bangunan Stasiun Parakan dimanfaatkan sebagai tempat parkir truk-truk angkutan
barang yang melakukan distribusi barang di Pasar Parakan.
Bekas Bangunan
Gudang Stasiun Parakan
Halaman Depan
Stasiun Parakan
Stasiun Parakan
Tahun 1910
Sumber: N.I.S.M.
Lijn Djoeja
Bagian Belakang
Stasiun Parakan
Emplasemen
Stasiun Parakan
Beranjak
dari Stasiun Parakan perjalanan saya lanjutkan pulang. Saat perjalanan pulang,
di dekat Pasar Parakan saya melintas disebuah jembatan yang berukuran lumayan
besar. Disisi kiri saya melihat bekas jembatan kereta api yang masih nampak
utuh dan kokoh. Saya pun tertarik untuk mendekat ke area jembatan tersebut.
Cukup sulit ternyata untuk menjangkau jembatan tersebut karena area disekitar
jembatan telah berubah menjadi kawasan pertokoan yang padat.
Dengan
sangat teliti saya mencoba mencari jalan menuju jembatan tersebut. Akhirnya
saya melihat sebuah gang kecil terletak disamping sebuah showroom. Sayapun masuk melalui jalan tersebut. Sampainya disana
saya agak sedikit kecewa, ternyata ujung jembatan telah digunakan warga sebagai
tempat menyimpan kayu bakar sehingga saya tidak bisa melihat lebih jauh kondisi
jembatan.
Bekas Jembatan
Kereta di Parakan
Beranjak
dari Parakan perjalanan saya lanjutkan pulang menuju Solo. Sebelum kembali ke
Solo saya menyempatkan untuk mampir ke Kota Magelang untuk beristirahat sambil
menikmati keindahan kota yang terkenal dengan getuk trionya itu. Kurang lebih
pukul setengah lima sore akhirnya saya tiba di Solo dengan pengalaman yang luar
biasa mengenai sejarah kereta api di tanah Kedu. Semoga dilain waktu saya bisa
kembali melakukan blusukan di tempat lain yang tak kalah serunya.
_________________________________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
_______________________________________________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama
mantaf blusukkannya mas...lanjutkan blusukkan ditmpat laen!!
BalasHapusterima kasih
BalasHapuskeren sekali tulisan dan penelusurannya.....indah sekali ya seandainya jalur ini dihidupkan kembali dan dikembangkan sebagai kereta wisata......ijin boleh share gan dengan sumbernya?
BalasHapusterima kasih,
BalasHapussilakan dishare dengan sumber nya
..keren mas...
BalasHapusSelalu menyimak blusukan sepoor.. asyiknya tiada habis-habisnya.. sayang sekali bangunan mahal penuh sejarah banyak yg tidak terawat dan kurang manfaat. bagaimana dengan pemerintah (PT KA) ayoooo hidupkan kembali...
BalasHapusSelalu menyimak blusukan sepoor.. asyiknya tiada habis-habisnya.. sayang sekali bangunan mahal penuh sejarah banyak yg tidak terawat dan kurang manfaat. bagaimana dengan pemerintah (PT KA) ayoooo hidupkan kembali...
BalasHapustulisan yang bagus ....
BalasHapusTulisan yang bagus, saya orang paarakan pun menginginkan jalur ini di aktifkan kembali dengan nuansa jaman dulu dengan kereta uap, mungkin akan menjadi destinasi wisata sejarah yang berbeda dengan yang lain di tambah dengan keindahan alam sekitar jalur kereta ini.
BalasHapusSemoga saja ya pak. Bumi kedu memang memiliki keindahan yang menawan
HapusMantaff mas. Saya juga pernah blusukan menyusuri rel tp dr St Ambarawa ke st Umbul (sebelum secang) melewati st jambu dan st Bedono, jalannya nanjak gigi, jam 7-jam11 siang, berhubung di samping st umbul ada pemandian air hangat dan candinya, sekalian mampir mandi hehe. kapan2 jalan2 bersama mas, ajak temen2 dijamin gak nyesel.
BalasHapusBagus bgt ulasanya mas.andai aja rel2 lama kususnya di Temanggung tercinta ini terawat saja psti asyik buat jln2 menyusuri bkasnya
BalasHapuskalau mau ke secang lebih dekat ke stasiun apa yaa kalo saya dari Jakarta ?
BalasHapusSemarang tawang bisa. Nanti oper naik bis semarang jogja. Pasti lewat secang
Hapusmantap informasinya,salam dari jogja.
BalasHapusMantaap...easy reading and easy understanding,mengundang kita untuk membayangkan masa2 dulu jaman kolonial, jadi tambah pengetahuan juga serta good referensi..Lanjutkan..Salam kenal dari Death Rail Fans Jakarta
BalasHapusKeren mas artikelnya... Ada perbandingan foto before after. Lain kali kalo blusukan aq ikut mad.
BalasHapusInspiratif, ngomong2 jalan sendirian ya? Jadi pengen
BalasHapusInspiratif, ngomong2 jalan sendirian ya? Jadi pengen
BalasHapusIya mas. Kebetulan single traveler. Hehe
HapusBesok saya ikut om...
BalasHapusKebetulan saya orang temanggung asli....
nice post prima..
BalasHapusfirst time read your post..
aku iseng2 cari ada gag stasiun di temanggung nemu blog kamu :D
Eh ada nenok
HapusCoba ulangi lagi blusukanya,tapi direkam di upload youtube
BalasHapusMantap.. Keren..
BalasHapusSangat informatif
BalasHapus