INDAHNYA
JALUR TUNTANG – BEDONO
Sejenak beristirahat di Stasiun
Tuntang setelah melakukan blusukan dari Stasiun Kedungjati, perjalananpun saya
lanjutkan menuju ke Stasiun Ambarawa. Perjalanan tersebut saya mulai tepat pada
tengah hari. Dengan melewati jalan alternatif yang terletak di samping telaga
Rawa Pening, perjalanan saya terasa menyenangkan. Sempat saya mampir di sebuah
masjid untuk sholat dhuhur sembari melepas lelah.
Jembatan Kereta
Api di Rawa Pening
Selanjutnya
saya bergegas menuju Stasiun Ambarawa atau Stasiun Willem I untuk mengejar
waktu yang semakin terik. Ini adalah kunjungan ke dua saya menjelajahi stasiun
tersebut. Sebelumnya pada tahun 2011, saya sempat berkunjung ke stasiun ini
untuk berwisata dan sempat menikmati perjalanan kereta wisata dari Ambarawa
menuju Tuntang. Kebetulan saat tiba disana kondisi stasiun masih dalam tahap
renovasi, sehingga saya tidak bisa masuk ke dalam area stasiun. Dihalaman
stasiun tampak puluhan lokomotif berjajar menghiasi halaman stasiun. Memang
stasiun yang berdiri sejak tahun 1873 itu kini telah dialih fungsikan sebagai
museum kereta api. Tidak jauh berbeda dengan stasiun-stasiun yang saya kunjungi
sebelumnya, stasiun itu pun telah ditutup sejak tahun 1976 seiring dengan
matinya jalur Secang menuju Kedungjati.
Stasiun Ambara
Tahun 2011 dan 1906
Sumber: Dokumentasi Pribadi dan kitlv.nl
Kereta Wisata di
Museum Ambarawa
Suasana Diatas
Kereta Wisata Museum Ambarawa
Bekas Roda
Bergerigi Koleksi Museum Ambarawa
Setelah
puas di Stasiun Ambarawa, perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Bedono.
Sambil mengendarai motor, tak jemu saya melirik jalur kereta yang berada di
sebelah kiri saya. Menurut saya jalur tersebut sangatlah indah dengan sawah dan
perbukitan yang menghiasinya. Adanya gerigi di tengah rel juga menambah
keunikan jalur tersebut. Saat ini, jenis kereta bergerigi yang masih aktif di
dunia hanya ada dua, yakni di Indonesia yaitu di Ambarawa dan di India. Sungguh
sayang jika peninggalan sebesar dan seunik itu harus lenyap termakan zaman.
Jalur
antara Ambarawa dan Bedono adalah jalur yang didominasi oleh perbukitan, tak
ayal jika jalur kereta api menggunakan gerigi agar kereta kuat menanjak. Hal
ini lah yang menjadi keindahan tersendiri dari jalur ini. Ramainya jalan raya
dari Semarang menuju Yogyakarta, sangat kontras dengan sepinya jalur kereta
ini. Sempat berkhayal betapa ramainya jalur ini jika diaktifkan kembali.
Saat
melintas di daerah Jambu, saya sempat melihat bangunan kecil tepat berdiri disamping
rel kereta. Bangunan tersebut tidak nampak seperti bangunan Belanda, akan
tetapi memiliki arsitektur lawas. Karena padatnya lalu lintas, saya putuskan
untuk mengunjungi bangunan itu setelah selesai blusukan dari Bedono.
Jalur Kereta
Menuju Stasiun Bedono
Jalur Kereta di
Ambarawa Tahun 1900
Sumber: kitlv.nl
Sebuah Kereta
Melintas di Ambarawa Menuju Jogja Tahun 1900
Sumber: kitlv.nl
Tiba
di Stasiun Bedono, suasana sepi dan tenang mulai terasa, sangat kontras dengan
hirukpikuknya jalan raya yang berada di depannya. Stasiun yang terletak tepat
di depan Ponpes milik Syeh Puji ini memang memiki ukuran yang tidak terlalu
besar. Stasiun ini dibuka pada tahun 1905 dan terletak pada ketinggian 693
meter diatas permukaan laut. Tahun 1976 stasiun ini resmi ditutup dan hanya
dijadikan stasiun wisata dari Ambarawa.
Di
area komplek Stasiun Bedono, terdapat beberapa sarana infrastruktur
perkeretaapian yang masih bisa kita saksikan, diantaranya adalah: turn table, alat persinyalan, dan pipa
pengisi air untuk lokomotif. Dibelakang stasiun terdapat sebuah bukit dimana
diatasnya terdapat sebuah kolam penampungan air yang dahulu digunakan untuk
menampung air yang kemudian disalurkan ke stasiun untuk mengisi
lokomotif-lokomotif yang berhenti disana. Kondisi stasiun sungguh sangat sepi
dan kondisi bangunannya tampak kurang terawat. Semenjak direnovasinya Stasiun
Ambarawa, membuat perjalanan kereta wisata ke Stasiun Bedono berkurang drastis.
Bahkan dibeberapa titik sebelum menuju Bedono, saya sempat menjumpai jalur kereta
yang telah rusak karena minimnya perawatan.
Stasiun
Bedono
Perjalanan
kembali saya lanjutkan menyusuri jejak rel kereta api yang berada
diperkampungan yang tak jauh dari Stasiun Bedono. Rasa penasaran saya akan
kondisi rel yang sudah tidak terpakai, menuntun saya untuk menyusuri jalan
kampung. Tak mudah memang, sempitnya jalan kampung serta jalanan yang cenderung
curam menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Akhirnya tiba juga saya disebuah
kampung kecil di ujung stasiun.
Diperkampungan
tersebut saya masih bisa menemukan bekas rel dari Bedono menuju Secang, akan
tetapi kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Beberapa rel sudah tertimbun
aspal dan tanah. Selain itu, ada beberapa ruas rel yang dijadikan warga sebagai
jalan atau gang. Sungguh sayang memang melihat kondisinya yang tak terawat.
Selain bekas rel kereta, disana saya
juga menemukan bekas alat perkeretaapian yang dulu digunakan oleh petugas
stasiun untuk mengatur perjalanan kereta api. Kondisinya pun juga tak kalah
memprihatinkannya dengan kondisi rel yang ada disana.
Stasiun Bedono
dari Kejauhan
Bekas Alat
Perkeretaapian di Tengah Kampung
Bekas Rel dari
Bedono Menuju Secang
Rel Bergerigi di
Tengah Perkampungan Warga
Rasa
ingin tahu yang tinggi membuat rasa penasaran saya bertambah. Perjalananpun kemudian
saya lanjutkan menelusuri jalan kecil menuju perkebunan warga. Di area tersebut
masih terlihat jelas bekas rel, akan tetapi gundukan tanah penyangga rel telah
amblas dan dijadikan warga sebagai jalan menuju ke kebun. Begitu asyiknya
blusukan hingga hampir masuk ke bibir hutan, tak sadar bahwa jalan yang saya
lewati tersebut selain jalan menuju ke kebun ternyata juga sebagai jalan menuju
ke pemakaman warga setempat. Suana angkerpun sekejap menyelimut ditengah
sunyinya perkebunan tersebut.
Dengan memberanikan diri, saya
menyempatkan untuk mengamati sekitar hutan disekeliling saya. Tampak jalur
kereta mulai menghilang tertutup tanah dan masuk ke dalam hutan. Sebenarnya
saya memiliki niat untuk sedikit masuk ke bibir hutan, akan tetapi dengan
rimbunnya pepohonan dan bekas rel yang sudah menghilang serta kondisi yang sepi,
niat itu akhirnya saya urungkan. Akhirnya sayapun berputar arah kembali ke
perkampungan.
Bekas Rel Masuk
Meuju Hutan
Puas
berkeliling, akhirnya saya memutuskan untuk kembali. Sebelum kembali ke Solo,
saya teringat akan bangunan kecil yang berdiri tepat bersebelahan dengan jalur
kereta api di daerah Jambu. Saat melintas di daerah Jambu, cukup sulit untuk
mencari jalan masuk menuju bangunan tersebut. Lalu lintas yang padat serta
lokasi bangunan yang terpencil membuatnya sulit untuk dijangkau. Tepat di
seberang Masjid Fatkhussa’diyah Jambu, terdapat gang kecil menurun menuju
sebuah perkampungan. Saya pun masuk melalui jalur tersebut. Tak mudah memang,
kondisi gang yang curam dan berkerikil memaksa saya harus berhati-hati.
Selang beberapa meter, saya
menemukan plang milik PT. KAI tertancap pada sebuah rumah. Hipotesa saya bahwa
bangunan tersebut adalah sebuah rumah dinas kepala stasiun. Perjalananpun saya
lanjutkan, dan benar saja tak jauh dari rumah tersebut berdiri sebuah bangunan
kecil persis yang saya lihat dari jalan raya tadi. Bangunan tersebut ternyata adalah
Halte Jambu. Sebelumnya saya tidak tahu jika antara Stasiun Ambarawa dan
Stasiun Bedono ada sebuah halte pemberhentian kereta.
Halte Jambu terletak di ketinggian
479 meter diatas permukaan laut. Seiring dengan matinya jalur Ambarawa menuju
Secang, halte ini juga menemui ajalnya. Halte ini resmi ditutup pada tahun
1976. Menurut artikel yang saya baca, dahulu sebelum Halte Jambu dari arah
Ambarawa juga terdapat tiga halte kecil lagi, yaitu: Halte Ampin Wetan, Halte
Karangkepoh, dan Halte Kloerahan/Tempuran. Namun sayang, menurut kabar ketiga
halte tersebut sudah hilang.
Seiring dengan dibukanya Stasiun Ambarawa
sebagai stasiun wisata, Halte Jambu dijadikan tempat pemberhentian lokomotif
yang hendak menuju Stasiun Bedono. Disini lokomotif akan pindah posisi ke
belakang rangkaian kereta sehingga posisi lokomotif mendorong rangkaian
gerbong. Hal tersebut dikarenakan kondisi rel menuju Stasiun Bedono yang
menanjak.
Melihat kondisi halte, tampak bangunan masih terawat
dengan baik. Taman disekitar haltepun menambah keindahan bangunan tua itu.
Warna cat kuning bangunan halte yang masih tampak jelas terlihat kontras dengan
warna hijau ladang persawahan di sekitar halte. Sungguh sangat indah
pemandangan di disana, saya pun seolah-olah tak mau pergi meninggalkan lokasi
tersebut.
Halte Jambu
Tahun 2014 dan 1890-1906
Sumber: Dokumentasi
Pribadi dan kitlv.nl
Emplasemen Halte
Jambu
Jalur Kereta
dari Jambu menuju Bedono
Kebetulan
saat blusukan di Halte Jambu, saya bertemu dengan seorang warga yang sedang
menikmati pemandangan di area halte. Saya sempat bertanya beberapa hal mengenai
aktivitas yang masih ada di halte tersebut. Menurut informasi dari beliau
dulunya halte ini ramai oleh aktivitas kereta wisata menuju Bedono, terutama
turis-turis dari mancanegara. Namun sekarang kereta tersebut sudah jarang
melintas. Menurut info dari beliau, lokomotif yang digunakan untuk menarik
kereta wisata sudah lama rusak. Lamanya proses renovasi Stasiun Ambarawa yang
tidak jelas kapan selesainya turut menjadikan halte ini sepi oleh wisatawan.
Semoga proses renovasi Stasiun Ambarawa segera cepat rampung sehingga akan
banyak lagi wisatawan yang mampir di halte kecil ini.
Puas
menikmati pemandangan dan sejuknya udara di Halte Jambu, perjalananpun saya
lanjutkan pulang menuju Solo. Puas rasanya blusukan kali ini. Banyak sejarah
dan ilmu yang bisa saya dapatkan dalam perjalanan kali ini. Rasa sedih pun
muncul mengingat jalur ini sudah lama tak terpakai dan cenderung terbengkalai.
Mungkin jalur tersebut tak semujur jalur Tuntang - Kedungjati yang telah di reaktivasi. Tapi
seiring dengan padatnya jalan raya dari Semarang menuju Magelang, semoga ada
harapan dari pemerintah untuk menghidupkan kembali jalur ini. Sekitar pukul
empat sore saya tiba di Solo. Saya berharap, semoga di lain kesempatan bisa
blusukan ke tempat lain yang tak kalah serunya.
______________________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
---------------------------------------------
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar