JALUR
SOLO – WONOGIRI: HIDUP TIDAK, MATIPUN TIDAK
Perkembangan
zaman turut andil dalam perubahan mobilisasi masyarakat. Penemuan-penemuan baru
yang berkembang pesat turut berpengaruh pada perubahan perilaku dan kebiasaan
masyarakat dalam beraktivitas. Salah satu perkembangan zaman yang mengalami
pertumbuhan pesat adalah alat transportasi darat. Di awal abad 18 seiring
ditemukannya mesin uap, perkembangan moda transportasi masal yaitu kereta api
mengalami masa kejayaannya. Tak ketinggalan di Indonesia, jalur kereta api
mulai dibangun sebagai sarana transortasi masal dan sarana angkutan barang oleh
Belanda kala itu.
Seiring dengan berkembangnya moda
transportasi darat, kereta api sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Masyarakat
mulai beralih keangkutan lain seperti bus, mobil, dan angkutan lain berbasis
jalan raya sebagai sarana mobilisasi. Kini banyak jalur kereta api yang
cenderung sepi dan bahkan ditinggalkan, sebagai contoh jalur kereta api
Semarang – Magelang yang ditutup pada tahun 1976 karena kalah bersaing dengan
jalan raya. Tak kalah mirisnya adalah jalur Solo – Wonogiri yang merana
ditengah hirukpikuknya jalan raya. Blusukan saya kali ini akan “menggarap” jalur kereta api Solo – Wonogiri yang mulai
ditinggalkan dan berpotensi menjadi jalur mati.
Sejarah
Singkat
Jalur Solo –
Wonogiri dimulai dari Stasiun Purwosari, Stasiun Solo Kota (Sangkrah), Stasiun
Sukoharjo, Stasiun Pasar Nguter, Stasiun Wonogiri dan Stasiun Baturetno. Jalur
ini mulai dibangun oleh NISM pada tahun 1922. Pada awal pembangunannya jalur
ini memiliki titik akhir di Baturetno Wonogiri. Akan tetapi seiring dengan
pembangunan Waduk Gajah Mungkur yang pembangunannya dimulai sekitar tahun 1978,
jalur Wonogiri – Baturetno pun terpaksa di matikan karena masuk dalam area
terdampak pembangunan waduk.
Pada masanya jalur ini ramai oleh
penumpang yang hilir mudik dari Solo hingga Baturetno. Tercatat beberapa halte
pernah berdiri dijalur ini, yaitu: Halte Pesanggrahan, Halte Ngadisuran, Halte
Bondo, Halte Ngapeman, Halte Pasar Pon, Halte Coyudan, Halte Kauman, dan Halte
Lojiwetan yang semuanya terletak di dalam Kota Solo. Sementara untuk daerah
Sukoharjo tercatat ada tujuh halte, yaitu: Halte Kronelan, Halte Kalisamin,
Halte Gayam, Halte Kepuh, Halte Songgorunggi, Halte Nguter, dan Halte
Kalikatir. Sedangkan di daerah Wonogiri terdapat satu halte yaitu Halte Tekaran
yang terletak sebelum Stasiun Wonogiri. Dari beberapa halte diatas, kondisinya
sangat memprihatinkan dan bahkan ada yang sudah tidak berbekas.
Rute sepanjang 37 kilometer tersebut
menggunakan jenis rel R33, berbeda dengan rel yang digunakan saat ini yaitu R54
sehingga jalur ini hanya memungkinkan dilewati oleh lokomotif tipe BB300 atau
D301. Jalur ini sekarang hanya digunakan untuk jalur kereta wisata Jaladara
dari Stasiun Purwosari hingga Stasiun Solo Kota. Kereta feeder yang dulu sering meramaikan jalur ini kini sudah lama absen.
Jalur ini sekarang nampak sepi meskipun kondisinya masih bagus dan terawat.
Stasiun
Purwosari
Sumber: Tropen Museum
Kereta Melintas
di Jalan Slamet Riyadi Solo Tahun 1951
Sumber: Koleksi
Museum Kraton Solo
Kereta Feeder Melintas di Jalan Slamet Riyadi
Solo
Sumber: kaskus
Kereta Wisata
Jaladara
Sumber: Surakarta.go.id
Blusukan I
Blusukan yang saya lakukan kali ini
berbeda dengan blusukan yang pernah saya lakukan sebelumnya. Kali ini saya
melakukan blusukan dengan waktu atau hari yang berbeda-beda. Blusukan pertama,
saya lakukan di Stasiun Solo Kota atau Stasiun Sangkrah. Pada hari Minggu pagi tanggal
24 Agustus 2014 saya menuju Stasiun Sangkrah. Pukul tujuh saya tiba dilokasi
stasiun. Suasana riuh pun menyambut kedatangan saya. Stasiun ini riuh ramai
bukan karena aktivitas di stasiun melainkan ramai dengan aktivitas Pasar
Sangkrah yang tepat berada disamping stasiun.
Stasiun Solo Kota adalah stasiun
yang terletak di Desa Sangkrah, Pasar Kliwon, Surakarta. Karena letaknya yang
berada di Sangkrah inilah orang-orang lebih akrab dengan nama Stasiun Sangkrah.
Stasiun Sangkrah dibangun oleh NISM atau Nederlandsch-Indische
Spooweg Maatschappij. Sebuah perusahaan swasta Belanda yang bergerak dalam
bidang perkeretaapian. Stasiun ini dibangun pada tahun 1922 dan terletak di
ketinggian 85 meter diatas permukaan laut. Saat ini Stasiun Sangkrah hanya
disinggahi oleh kereta wisata Jaladara sebagai pemberhentian akhir.
Sinyal Masuk
Stasiun Solo Kota
Stasiun Solo
Kota
Emplasemen
Stasiun Solo Kota
Setibanya
di stasiun saya mencoba untuk mencari informasi seputar aktivitas yang masih
dilakukan di stasiun. Disana saya bertemu dengan seorang kakek yang kebetulan
sedang duduk di pinggir rel. Kakek tersebut bernama Mulyono. Meskipun beliau
bukan asli warga Sangkrah, namun beliau tahu aktivitas yang berada di sana. “Sekarang
stasiunnya sepi Mas, hanya kereta wisata Jaladara saja yang mampir, itupun
kebanyakan bule-bule yang naik”. Jelas Mbah Mul kepada saya. Beliau juga
menjelaskan bahwa jalur ini mulai tidak dipakai lagi untuk kereta reguler
semenjak jembatan yang berada di Sukoharjo rusak. Beliau juga menambahi,
semenjak perbaikan jembatan tersebut jalur ini juga tak kunjung dilewati kereta
api. Mungkin karena sepinya penumpang sehingga PT. KAI memutuskan untuk
menghentikan pelayanan di jalur ini untuk sementara waktu.
Jalur Solo – Wonogiri dahulunya
dilalui oleh kereta feeder atau
kereta pengumpan kereta Senja Bengawan ke Stasiun Purwosari. Jalur ini sangatlah
unik karena melintas di tengah Kota Solo dan Jalur kereta aktif yang membelah
kota seperti ini hanya ada satu di Indonesia yakni di Kota Solo. Biasanya
kereta ini hanya menarik satu atau dua gerbong saja, itu pun sehari hanya
melakukan perjalanan sekali ke Wonogiri. Kecepatan kereta inipun juga dibatasi,
yaitu hanya berkisar 20-30 km/jam.
Puas dengan informasi yang saya
dapatkan seputar Stasiun Sangkrah, saya memutuskan untuk kembali. Sebenarnya
ada rencana untuk melanjutkan blusukan ke Sukoharjo, akan tetapi waktu itu saya
tidak memiliki cukup informasi yang bisa saya jadikan petunjuk. Kurang lebih
pukul sembilan, saya meninggalkan Stasiun Sangkrah dengan keramaian Pasar
Sangkrah yang belum terurai.
Blusukan
II
Blusukan saya
yang kedua di jalur Solo – Wonogiri saya lakukan tiga minggu berselang setelah
blusukan pertama yang saya lakukan di Stasiun Sangkrah. Tepatnya blusukan kali
ini saya lakukan pada tanggal 9 September 2014 pada sore hari. Saya berniat
untuk mencari tahu mengenai dua halte antara Stasiun Sangkrah dan Stasiun
Sukohardjo yang menurut informasi masih memiliki bangunan asli yang bisa dilihat.
Pukul setengah empat sore perjalanan
saya mulai dari Solo menuju Sukhoharjo melewati Grogol. Kemudian saya ambil
arah ke kiri melewati Jalan Ciu. Tujuan pertama saya adalah mencari keberadaan
Halte Kalisamin. Sebenarnya urutan halte setelah Stasiun Sangkrah adalah Halte
Kronelan, Halte Kalisamin, dan Stasiun Sukoharjo. Akan tetapi saya memilih
untuk mencari halte terjauh terlebih dahulu dengan anggapan akan lebih dekat
ketika pulangnya nanti. Perjalananpun saya lanjutkan menuju Desa Bugel
Kecamatan Polokarto Sukoharjo.
Sempat tersesat beberapa kali
akhirnya saya tiba di Desa Bugel. Disana terdapat perlintasan kereta api yang
letaknya berada di samping Pasar Bugel. Sempat berputar-putar beberapa kali,
akhirnya saya putuskan untuk masuk kesebuah gang kecil di utara pasar. Tak jauh
masuk melewati gang, saya menemukan bangunan yang terbuat dari kayu yang
dilindungi dengan kawat berduri berdiri di seberang rel. Setelah saya amati,
ternyata itulah bangunan halte yang saya cari.
Saya pun bergegas memutar arah dan
menuju tempat tersebut. Jalan masuk
menuju Halte Kalisamin terletak disamping sebuah toko. Hanya berjarak sepuluh
meter dari jalan raya, saya sudah sampai dilokasi halte yang letaknya
bersebelahan dengan rumah warga tersebut.
Halte Kalisamin
Sayapun
mencoba untuk masuk kedalam bangunan halte. Secara fisik, sebenarnya bangunan
ini masih tampak bagus dan cukup terawat. Atapnya pun masih utuh dengan tulisan
nama halte yang masih terlihat jelas. Disana masih bisa saya lihat ruang tempat
menjual karcis dengan kondisi papan kayu yang belum lapuk termakan waktu, akan
tetapi banyak coretan-coretan tangan jahil yang mengurangi keindahan bangunan
halte. Kondisi disekitar Halte Kalisamin sekarang nampak sepi. Mungkin karena
letaknya yang agak tersembunyi dari jalan raya yang membuat tak banyak orang
mengetahui bahwa di lokasi tersebut terdapat sebuah halte yang dulunya
digunakan warga
untuk naik kereta api.
Tempat Penjualan
Loket Halte Kalisamin
Emplasemen Halte
Kalisamin
Puas melihat Halte
Kalisamin perjalananpun saya lanjutkan kembali. Kali ini perjalanan saya
lanjutkan mencari Halte Kronelan yang terletak di Desa Plumbon Kecamatan
Mojolaban. Sempat bertanya pada salah seorang warga yang berada di pinggir
jalan, akhirnya saya di tunjukkan jalan menuju Desa Plumbon. Tak sulit
sebenarnya menemukan Desa Plumbon. Lokasinya tepat berada di sebelah pintu
perlintasan kereta api atau sebelah timur dari jembatan Mojo kalau dari arah
Solo. Sebelum perlintasan kereta api saya belok ke kanan masuk ke jalan kampung.
Tepat di depan kantor Desa Plumbon terdapat sebuah gang kecil yang diapit oleh
rumah warga, saya kemudian mencoba mencari lokasi halte melewati gang sempit
tersebut. Dan benar dugaan saya, disitulah Halte Kronelan berdiri.
Halte Kronelan
Halte ini
memiliki ukuran bangunan yang jauh lebih besar dari Halte Kalisamin. Akan
tetapi kondisi bangunannya tidak lebih baik dari Halte Kalisamin. Atap dari
bangunan halte terlihat sudah tidak utuh lagi. Bahkan nama halte yang menjadi
penanda pun sudah tidak terlihat jelas. Yang membuat halte ini nampak miris
adalah halte ini juga dipakai warga sekitar sebagai kandang ayam, sehingga bangunan
ini tampak kotor dan bau. Disekitar bangunan halte terlihat kumuh dengan sampah
rumah tangga yang berserakan. Banyaknya sampah yang berceceran menambah kesan
tidak terawatnya tempat ini. Pagar pelindung bangunan pun juga sering dijadikan
warga sebagai tempat menjemur pakaian.
Berhubung
hari sudah sore dan sudah banyak dokumentasi yang saya dapatkan di Halte
Kronelan, maka saya putuskan untuk kembali ke Solo. Kurang lebih pukul enam
sore saya sampai di Solo dan berharap besok bisa melanjutkan perjalanan kembali
menyusuri jalur Solo – Wonogiri.
Emplasemen Halte
Kronelan
Blusukan
III
Selang sehari dari
blusukan saya yang kedua, tepat pada tanggal 10 September 2014 saya melanjutkan
penelusuran saya di jalur Solo – Wonogiri. Kali ini perjalanan saya awali pada
pukul tujuh pagi menunggu lengahnya jalan raya dari aktivitas masyarakat yang
hendak pergi ke sekolah atau tempat kerja. Tujuan utama saya yaitu mencari
keberadaan Stasiun Sukoharjo. Saya menuju Sukoharjo via Grogol, kemudian lurus
ke selatan menuju Pasar Sukoharjo. Awalnya saya agak susah menemukan lokasi
stasiun karena banyak gang kecil di sekitar pasar dan tidak adanya plang
penunjuk stasiun dari jalan raya seperti kebanyakan stasiun saat ini. Kebetulan
saya bertemu seorang ibu yang sedang menunggu angkot ditepi jalan dan
menanyakan lokasi stasiun kepada ibu tersebut. Secara singkat ibu tersebut
menunjukkan arah jalan menuju stasiun. Berbekal informasi yang saya peroleh, saya
pun bergegas melanjutkan perncarian.
Tidak jauh dari lokasi Pasar
Sukoharjo, saya berjalanan ke arah gang kecil yang berada di kiri jalan.
Kemudian saya masuk kurang lebih 50 meter dari jalan raya. Tak lama saya
melihat bangunan tua khas bangunan stasiun yang masih nampak bagus. Dan benar
saja, disanalah Stasiun Sukoharjo berdiri.
Stasiun
Sukoharjo
Stasiun Sukoharjo terletak di
Kecamatan Sukoharjo. Stasiun ini berdiri di ketinggian 98 meter diatas
permukaan air laut. Dahulu stasiun ini hanya disinggahi oleh kereta api feeder yang memiliki rute hingga
Wonogiri, akan tetapi kereta tersebut kini sudah lama tidak beroperasi karena
ada wacana akan digantikan dengan kereta perintis railbus. Sekarang kondisi stasiun nampak sepi, tak ada aktivitas
yang berarti di sekitar stasiun. Meskipun demikian, stasiun ini masih nampak
masih bagus dan terawat.
Dari Stasiun Sukoharjo perjalanan
saya lanjutkan mencari lokasi Halte Gayam. Perlu diketahui bahwa dari Stasiun
Sukoharjo hingga Stasiun Pasar Nguter terdapat empat halte, yaitu: Halte Gayam,
Halte Kepuh, Halte Songgorunggi, dan Halte Nguter. Perjalanan saya lanjutkan ke
selatan menuju Desa Gayam. Lokasi Desa Gayam sendiri tidaklah jauh dari Stasiun
Sukoharjo. Saya berjalan menyusuri jalanan kampung yang tepat berada di samping
jalur kereta api. Sempat saya bolak-balik beberapa kali untuk menemukan
bangunan halte tapi saya tidak juga menemukannya. Saya sempat berfikir bahwa
mungkin bangunan Halte Gayam sudah rusak atau sudah di bongkar. Beberapa orang
yang berada disana saya tanyai tentang lokasi halte, akan tetapi mereka tidak
mengetahuinya.
Hampir putus asa mencari lokasi Halte
Gayam, akhirnya saya bertemu dengan seorang kakek yang usianya kemungkinan
sudah 80 tahun sedang menyapu halaman rumahnya. Saya berhenti dan menanyakan
informasi mengenai Halte Gayam dengan harapan kakek tersebut memiliki informasi
yang saya cari. Ternyata saya bertemu dengan orang yang tepat, kakek tersebut
adalah saksi hidup dari keberadaan Halte Gayam.
Dengan bahasa yang tertatih-tatih
kakek tersebut menjelaskan lokasi Halte Gayam kepada saya. “Halte Gayam itu
tidak ada bangunannya Mas, bahkan pondasi atau lantai pun tidak ada”. Jelas
kakek tersebut sambil memandangi jalur kereta di samping kami. Beliau
menjelaskan bahwa tidak semua halte memiliki bangunan. “Halte itu zaman dahulu
digunakan warga untuk berkumpul menanti kedatangan kereta, memang ada yang
memiliki bangunan tetapi tidak semuanya”. Jelas sang kakek.
Selain menjelaskan mengenai Halte
Gayam, beliau juga menjelaskan beberapa halte yang ada di Solo. Beliaupun juga
tahu bahwa jalur kereta yang ada di samping rumahnya itu di bangun oleh NIS
yang merupakan perusahaan kereta api milik Hindia Belanda. Tak hanya itu beliau
juga tahu kepanjangan NIS, sejarah NIS, dan siapa nama pimpinan NIS kala itu.
Sungguh luar biasa ingatan kakek ini.
Kemudian beliau memberitahu saya
lokasi Halte Gayam pada zaman dahulu. Lokasinya tepat berada di belakang masjid
kampung yang tidak jauh dari lokasi rumah sang kakek. Beliau juga menyarankan
saya untuk mengikuti jalanan kampung yang berada disamping rel untuk memudahkan
saya menemukan lokasi halte. Setelah bercerita panjang lebar, akhirnya saya
berpamitan kepada sang kakek dan mencari lokasi keberadaan Halte Gayam. Tak
lama, akhirnya saya tiba di sebuah lokasi seperti yang ditunjukkan oleh kakek
tersebut. Lokasinya tepat berada di belakang masjid kampung, akan tetapi
lokasinya sekarang sudah dijadikan warga sebagai tempat membuang sampah,
sehingga area tersebut nampak kotor dan kumuh.
Perkiraan
Lokasi Halte Gayam
Dari
Desa Gayam, perjalanan pun saya lanjutkan menuju Desa Kepuh yang berada di
Kecamatan Nguter untuk mencari keberadaan lokasi Halte Kepuh. Sepuluh menit
dari Gayam, akhirnya saya tiba di Desa Kepuh. Menurut informasi yang saya
dapatkan lokasi Halte Kepuh berada di sekitar kantor Bank BRI cabang Kepuh.
Saya pun menemukan gang kecil disekitar area Bank BRI, dan mencoba masuk
kedalam gang tersebut. Sebelum masuk gang saya sempat bertemu dengan seorang
kakek yang sedang duduk disamping rumah dan menanyakan apakah benar Halte Kepuh
berada di gang tersebut. Kakek tersebut mengiyakan pertanyaan saya. Lokasi
Halte Kepuh sendiri hampir tidak terlihat dari jalan raya karena tertutup
dengan perumahan warga dan hampir menyerupai pemukiman warga. Hanya pagar kawat
berduri yang menjadi penanda
bahwa bangunan itu adalah sebuah halte.
Halte
Kepuh
Dilihat
dari bentuk fisik bangunannya, halte ini memiliki bentuk bangunan seperti Halte
Kalisamin. Bangunannya sendiri masih tampak terawat dengan adanya kursi tunggu
penumpang yang masih utuh. Ruang penjualan loket dan papan nama halte pun juga masih
nampak jelas. Kini bangunan halte nampak sepi senasib dengan sepinya jalur
kereta yang ada di sampingnya.
Emplasemen Halte
Kepuh
Puas berada di Halte Kepuh,
perjalanan saya lanjutkan menuju Desa Songgorunggi. Lokasinya tidak begitu jauh
dari Desa Kepuh. Sesampainya disana terlihat beberapa pekerja sedang melakukan
perbaikan rel kereta api yang rencananya akan di gunakan lagi untuk kereta
perintis. Saya sempat bertanya kepada beberapa warga sekitar mengenai
keberadaan Halte Songgorunggi, akan tetapi semuanya tidak mengetahui keberadaan
halte yang saya cari. Sempat juga bertanya kepada beberapa pekerja proyek rel
kereta tetapi mereka juga tidak mengetahuinya.
Sempat
hampir berputus asa karena tak kunjung menemukan orang yang bisa memberikan
informasi mengenai keberadaan Halte Songgorunggi, akhirnya tak jauh dari
perlintasan kereta api saya bertemu dengan seorang kakek yang berada di halaman
rumahnya. Saya menanyakan lokasi Halte Songgorunggi kepadanya. “Lokasinya dulu
disitu mas, dibelakang rumah bagus itu tetapi bangunannya sudah lama rusak jadi
sudah gak ada bekasnya”. Terang kakek tersebut. Berdasarkan informasi tersebut
saya kemudian menuju ke lokasi yang ditunjukkan oleh sang kakek. Benar saja,
dilokasi yang ditunjukkan kakek tersebut saya sudah tidak menjumpai bekas bangunan
halte. Bangunan halte mungkin sudah raib karena telah dirubuhkan seperti yang
diceritakan oleh sang kakek tadi.
Perkiraan Lokasi
Halte Songgorunggi
Dari
Desa Songgorunggi perjalanan saya lanjutkan menuju Desa Nguter yang berada di
Kecamatan Nguter Sukoharjo. Sempat bertemu dengan beberapa orang warga, saya menanyakan
mengenai keberadaan Halte Nguter. Dari semua orang yang saya tanyai tentang
keberadaan Halte Nguter, mereka semua tidak tahu dan hanya menjawab mengenai
Stasiun Pasar Nguter. Hipotesa saya mungkin Halte Nguter sama dengan Halte
Gayam yang tidak memiliki bangunan halte mengingat lokasinya yang dekat dengan
Stasiun Pasar Nguter. Perjalananpun saya lanjutkan menuju Stasiun Pasar Nguter.
Setibanya
di Stasiun Pasar Nguter, saya bertemu dengan kepala Stasiun Pasar Nguter dan
satu orang pegawai yang kebetulan juga berada disana. Sayapun menanyakan
mengenai keberadaan Halte Nguter apakah memang ada dulunya, karena menurut
beberapa referensi yang saya dapatkan sebelum Stasiun Pasar Nguter dulunya
berdiri Halte Nguter. Kepala stasiun menjelaskan bahwa dia tidak pernah
mendengar mengenai Halte Nguter, yang ada hanyalah Stasiun Pasar Nguter. Selain
itu saya juga menanyakan mengenai keberadaan Halte Kalikatir yang menjadi
tujuan saya berikutnya. Beliau pun juga menjawab hal yang sama, bahwa Halte Kalikatir
itu tidak ada yang ada hanyalah Halte Tekaran yang ada di wilayah Wonogiri.
Stasiun Pasar Nguter
Berhubung
hari semakin siang, perjalanan saya lanjutkan menuju ke Kecamatan Selogiri Wonogiri
untuk mencari lokasi Halte Kalikatir dan Halte Tekaran. Sepanjang perjalanan
menuju Wonogiri, rel kereta api berjarak lumayan dekat dengan jalan raya. Saya
pun berjalan sembari mengamati posisi rel dengan harapan menemukan halte yang
saya cari. Sampai di Desa Kalikajar Wonogiri saya belum bisa menemukan lokasi Halte
Kalikatir. Dalam pemikiran saya ada dua hal mengenai Halte Kalikatir. Pertama
halte tersebut tidak memiliki bangunan dan yang kedua bangunan halte telah
rusak.
Berhubung
sudah sampai di Desa Kalikajar, sayapun bergegas mencari lokasi Halte Tekaran
yang menurut informasi yang saya dapatkan bangunannya masih ada. Saya masuk
kesebuah gang yang berada di sebelah kiri jalan raya didepan terminal hingga
sampai di Balai Desa Gemantar. Dari balai desa tersebut saya terus berjalan
hingga tiba di SD 2 Tekaran yang letaknya di samping sebuah masjid. Kemudian
saya ambil jalan kekiri menuju ke pematang sawah. Tak lama bangunan halte pun
semakin terlihat dan saya sempatkan untuk singgah sejenak di bangunan halte
tersebut.
Halte Tekaran
Dilihat
dari fisik bangunannya, halte ini mirip dengan Halte Kronelan dengan atap yang
sama-sama terbuat dari seng. Ukurannya pun juga cukup besar jika dibandingkan
dengan Halte Kepuh atau Halte Kalisamin. Kondisi bangunannya cukup memprihatinkan
dengan beberapa atap yang sudah hilang. Papan kayu yang berfungsi sebagai
dinding pun juga sudah tidak lengkap.
Berhubung
hari sudah semakin siang, akhirnya perjalanan kali ini saya akhiri di Halte
Tekaran. Blusukan saya ke Stasiun Wonogiri akan saya bahas dalam tulisan saya
dengan judul terpisah yang akan membahas mengenai jalur kereta api Wonogiri –
Baturetno. Sekitar pukul setengah sebelas siang saya meninggalkan Desa Tekaran
menuju Solo. Tepat pukul satu siang saya tiba di Solo dengan masih menyisakan
beberapa misteri yang belum terpecahkan.
________________________________
artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
-------------------------------------------------
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama
Keep posting bro....
BalasHapusterimakasih mas atas kesediaannya membaca tulisan ini
BalasHapusBikin video juga mas, menyusuri relnya :)
BalasHapuskalau video terlalu besar size nya, lagian jalur ini juga masih bagus seperti jalur yang lain
Hapusjalur kereta api solo-wonogiri akhirnya dihidupkan kembali setelah tahun 2011 dihentikan pengoperasiannya, dan hari ini, Rabu 11 maret 2015 adalah perjalanan perdana railbus jurusan solo-wonogiri tersebut
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusjalur kereta api solo-wonogiri akhirnya dihidupkan kembali setelah tahun 2011 dihentikan pengoperasiannya, dan hari ini, Rabu 11 maret 2015 adalah perjalanan perdana railbus jurusan solo-wonogiri tersebut
BalasHapusyap benar sekali, tapi kalau hari rabu masih diperuntukkan bagi tamu undangan untuk penumpangnya karena bertepatan dengan hari peluncurannya. kalau operasional komersil perdana untuk umum hari kamis tgl 12 maret dan kebetulan saya adalah salah satu enumpang perdananya. hehehe
HapusWah sangat lengkap ulasannya sampai sejarahnya juga..
BalasHapuskebetulan lagi pengen naik, terima kasih sangat membantu
Salam
Bunda Umar
Cream Sari
Cream Anisa
Cream Adha