Senin, 06 Oktober 2014

JALUR KERETA SOLO - WONOGIRI

JALUR SOLO – WONOGIRI: HIDUP TIDAK, MATIPUN TIDAK

            Perkembangan zaman turut andil dalam perubahan mobilisasi masyarakat. Penemuan-penemuan baru yang berkembang pesat turut berpengaruh pada perubahan perilaku dan kebiasaan masyarakat dalam beraktivitas. Salah satu perkembangan zaman yang mengalami pertumbuhan pesat adalah alat transportasi darat. Di awal abad 18 seiring ditemukannya mesin uap, perkembangan moda transportasi masal yaitu kereta api mengalami masa kejayaannya. Tak ketinggalan di Indonesia, jalur kereta api mulai dibangun sebagai sarana transortasi masal dan sarana angkutan barang oleh Belanda kala itu.
            Seiring dengan berkembangnya moda transportasi darat, kereta api sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Masyarakat mulai beralih keangkutan lain seperti bus, mobil, dan angkutan lain berbasis jalan raya sebagai sarana mobilisasi. Kini banyak jalur kereta api yang cenderung sepi dan bahkan ditinggalkan, sebagai contoh jalur kereta api Semarang – Magelang yang ditutup pada tahun 1976 karena kalah bersaing dengan jalan raya. Tak kalah mirisnya adalah jalur Solo – Wonogiri yang merana ditengah hirukpikuknya jalan raya. Blusukan saya kali ini akan “menggarap”  jalur kereta api Solo – Wonogiri yang mulai ditinggalkan dan berpotensi menjadi jalur mati.

Sejarah Singkat
            Jalur Solo – Wonogiri dimulai dari Stasiun Purwosari, Stasiun Solo Kota (Sangkrah), Stasiun Sukoharjo, Stasiun Pasar Nguter, Stasiun Wonogiri dan Stasiun Baturetno. Jalur ini mulai dibangun oleh NISM pada tahun 1922. Pada awal pembangunannya jalur ini memiliki titik akhir di Baturetno Wonogiri. Akan tetapi seiring dengan pembangunan Waduk Gajah Mungkur yang pembangunannya dimulai sekitar tahun 1978, jalur Wonogiri – Baturetno pun terpaksa di matikan karena masuk dalam area terdampak pembangunan waduk.
            Pada masanya jalur ini ramai oleh penumpang yang hilir mudik dari Solo hingga Baturetno. Tercatat beberapa halte pernah berdiri dijalur ini, yaitu: Halte Pesanggrahan, Halte Ngadisuran, Halte Bondo, Halte Ngapeman, Halte Pasar Pon, Halte Coyudan, Halte Kauman, dan Halte Lojiwetan yang semuanya terletak di dalam Kota Solo. Sementara untuk daerah Sukoharjo tercatat ada tujuh halte, yaitu: Halte Kronelan, Halte Kalisamin, Halte Gayam, Halte Kepuh, Halte Songgorunggi, Halte Nguter, dan Halte Kalikatir. Sedangkan di daerah Wonogiri terdapat satu halte yaitu Halte Tekaran yang terletak sebelum Stasiun Wonogiri. Dari beberapa halte diatas, kondisinya sangat memprihatinkan dan bahkan ada yang sudah tidak berbekas.
            Rute sepanjang 37 kilometer tersebut menggunakan jenis rel R33, berbeda dengan rel yang digunakan saat ini yaitu R54 sehingga jalur ini hanya memungkinkan dilewati oleh lokomotif tipe BB300 atau D301. Jalur ini sekarang hanya digunakan untuk jalur kereta wisata Jaladara dari Stasiun Purwosari hingga Stasiun Solo Kota. Kereta feeder yang dulu sering meramaikan jalur ini kini sudah lama absen. Jalur ini sekarang nampak sepi meskipun kondisinya masih bagus dan terawat.

Stasiun Purwosari
Sumber: Tropen Museum

Kereta Melintas di Jalan Slamet Riyadi Solo Tahun 1951
Sumber: Koleksi Museum Kraton Solo

Kereta Feeder Melintas di Jalan Slamet Riyadi Solo
Sumber: kaskus

Kereta Wisata Jaladara
Sumber: Surakarta.go.id


Blusukan I
            Blusukan yang saya lakukan kali ini berbeda dengan blusukan yang pernah saya lakukan sebelumnya. Kali ini saya melakukan blusukan dengan waktu atau hari yang berbeda-beda. Blusukan pertama, saya lakukan di Stasiun Solo Kota atau Stasiun Sangkrah. Pada hari Minggu pagi tanggal 24 Agustus 2014 saya menuju Stasiun Sangkrah. Pukul tujuh saya tiba dilokasi stasiun. Suasana riuh pun menyambut kedatangan saya. Stasiun ini riuh ramai bukan karena aktivitas di stasiun melainkan ramai dengan aktivitas Pasar Sangkrah yang tepat berada disamping stasiun.
            Stasiun Solo Kota adalah stasiun yang terletak di Desa Sangkrah, Pasar Kliwon, Surakarta. Karena letaknya yang berada di Sangkrah inilah orang-orang lebih akrab dengan nama Stasiun Sangkrah. Stasiun Sangkrah dibangun oleh NISM atau Nederlandsch-Indische Spooweg Maatschappij. Sebuah perusahaan swasta Belanda yang bergerak dalam bidang perkeretaapian. Stasiun ini dibangun pada tahun 1922 dan terletak di ketinggian 85 meter diatas permukaan laut. Saat ini Stasiun Sangkrah hanya disinggahi oleh kereta wisata Jaladara sebagai pemberhentian akhir.

Sinyal Masuk Stasiun Solo Kota

Stasiun Solo Kota

Emplasemen Stasiun Solo Kota

Setibanya di stasiun saya mencoba untuk mencari informasi seputar aktivitas yang masih dilakukan di stasiun. Disana saya bertemu dengan seorang kakek yang kebetulan sedang duduk di pinggir rel. Kakek tersebut bernama Mulyono. Meskipun beliau bukan asli warga Sangkrah, namun beliau tahu aktivitas yang berada di sana. “Sekarang stasiunnya sepi Mas, hanya kereta wisata Jaladara saja yang mampir, itupun kebanyakan bule-bule yang naik”. Jelas Mbah Mul kepada saya. Beliau juga menjelaskan bahwa jalur ini mulai tidak dipakai lagi untuk kereta reguler semenjak jembatan yang berada di Sukoharjo rusak. Beliau juga menambahi, semenjak perbaikan jembatan tersebut jalur ini juga tak kunjung dilewati kereta api. Mungkin karena sepinya penumpang sehingga PT. KAI memutuskan untuk menghentikan pelayanan di jalur ini untuk sementara waktu.
            Jalur Solo – Wonogiri dahulunya dilalui oleh kereta feeder atau kereta pengumpan kereta Senja Bengawan ke Stasiun Purwosari. Jalur ini sangatlah unik karena melintas di tengah Kota Solo dan Jalur kereta aktif yang membelah kota seperti ini hanya ada satu di Indonesia yakni di Kota Solo. Biasanya kereta ini hanya menarik satu atau dua gerbong saja, itu pun sehari hanya melakukan perjalanan sekali ke Wonogiri. Kecepatan kereta inipun juga dibatasi, yaitu hanya berkisar 20-30 km/jam.
            Puas dengan informasi yang saya dapatkan seputar Stasiun Sangkrah, saya memutuskan untuk kembali. Sebenarnya ada rencana untuk melanjutkan blusukan ke Sukoharjo, akan tetapi waktu itu saya tidak memiliki cukup informasi yang bisa saya jadikan petunjuk. Kurang lebih pukul sembilan, saya meninggalkan Stasiun Sangkrah dengan keramaian Pasar Sangkrah yang belum terurai.

Blusukan II
            Blusukan saya yang kedua di jalur Solo – Wonogiri saya lakukan tiga minggu berselang setelah blusukan pertama yang saya lakukan di Stasiun Sangkrah. Tepatnya blusukan kali ini saya lakukan pada tanggal 9 September 2014 pada sore hari. Saya berniat untuk mencari tahu mengenai dua halte antara Stasiun Sangkrah dan Stasiun Sukohardjo yang menurut informasi masih memiliki bangunan asli yang bisa dilihat.
            Pukul setengah empat sore perjalanan saya mulai dari Solo menuju Sukhoharjo melewati Grogol. Kemudian saya ambil arah ke kiri melewati Jalan Ciu. Tujuan pertama saya adalah mencari keberadaan Halte Kalisamin. Sebenarnya urutan halte setelah Stasiun Sangkrah adalah Halte Kronelan, Halte Kalisamin, dan Stasiun Sukoharjo. Akan tetapi saya memilih untuk mencari halte terjauh terlebih dahulu dengan anggapan akan lebih dekat ketika pulangnya nanti. Perjalananpun saya lanjutkan menuju Desa Bugel Kecamatan Polokarto Sukoharjo.
            Sempat tersesat beberapa kali akhirnya saya tiba di Desa Bugel. Disana terdapat perlintasan kereta api yang letaknya berada di samping Pasar Bugel. Sempat berputar-putar beberapa kali, akhirnya saya putuskan untuk masuk kesebuah gang kecil di utara pasar. Tak jauh masuk melewati gang, saya menemukan bangunan yang terbuat dari kayu yang dilindungi dengan kawat berduri berdiri di seberang rel. Setelah saya amati, ternyata itulah bangunan halte yang saya cari.
            Saya pun bergegas memutar arah dan menuju tempat tersebut.  Jalan masuk menuju Halte Kalisamin terletak disamping sebuah toko. Hanya berjarak sepuluh meter dari jalan raya, saya sudah sampai dilokasi halte yang letaknya bersebelahan dengan rumah warga tersebut.

Halte Kalisamin

Sayapun mencoba untuk masuk kedalam bangunan halte. Secara fisik, sebenarnya bangunan ini masih tampak bagus dan cukup terawat. Atapnya pun masih utuh dengan tulisan nama halte yang masih terlihat jelas. Disana masih bisa saya lihat ruang tempat menjual karcis dengan kondisi papan kayu yang belum lapuk termakan waktu, akan tetapi banyak coretan-coretan tangan jahil yang mengurangi keindahan bangunan halte. Kondisi disekitar Halte Kalisamin sekarang nampak sepi. Mungkin karena letaknya yang agak tersembunyi dari jalan raya yang membuat tak banyak orang mengetahui bahwa di lokasi tersebut terdapat sebuah halte yang dulunya digunakan warga untuk naik kereta api.

Tempat Penjualan Loket Halte Kalisamin

Emplasemen Halte Kalisamin

            Puas melihat Halte Kalisamin perjalananpun saya lanjutkan kembali. Kali ini perjalanan saya lanjutkan mencari Halte Kronelan yang terletak di Desa Plumbon Kecamatan Mojolaban. Sempat bertanya pada salah seorang warga yang berada di pinggir jalan, akhirnya saya di tunjukkan jalan menuju Desa Plumbon. Tak sulit sebenarnya menemukan Desa Plumbon. Lokasinya tepat berada di sebelah pintu perlintasan kereta api atau sebelah timur dari jembatan Mojo kalau dari arah Solo. Sebelum perlintasan kereta api saya belok ke kanan masuk ke jalan kampung. Tepat di depan kantor Desa Plumbon terdapat sebuah gang kecil yang diapit oleh rumah warga, saya kemudian mencoba mencari lokasi halte melewati gang sempit tersebut. Dan benar dugaan saya, disitulah Halte Kronelan berdiri.

Halte Kronelan

            Halte ini memiliki ukuran bangunan yang jauh lebih besar dari Halte Kalisamin. Akan tetapi kondisi bangunannya tidak lebih baik dari Halte Kalisamin. Atap dari bangunan halte terlihat sudah tidak utuh lagi. Bahkan nama halte yang menjadi penanda pun sudah tidak terlihat jelas. Yang membuat halte ini nampak miris adalah halte ini juga dipakai warga sekitar sebagai kandang ayam, sehingga bangunan ini tampak kotor dan bau. Disekitar bangunan halte terlihat kumuh dengan sampah rumah tangga yang berserakan. Banyaknya sampah yang berceceran menambah kesan tidak terawatnya tempat ini. Pagar pelindung bangunan pun juga sering dijadikan warga sebagai tempat menjemur pakaian.
Berhubung hari sudah sore dan sudah banyak dokumentasi yang saya dapatkan di Halte Kronelan, maka saya putuskan untuk kembali ke Solo. Kurang lebih pukul enam sore saya sampai di Solo dan berharap besok bisa melanjutkan perjalanan kembali menyusuri jalur Solo – Wonogiri.

Emplasemen Halte Kronelan

Blusukan III
            Selang sehari dari blusukan saya yang kedua, tepat pada tanggal 10 September 2014 saya melanjutkan penelusuran saya di jalur Solo – Wonogiri. Kali ini perjalanan saya awali pada pukul tujuh pagi menunggu lengahnya jalan raya dari aktivitas masyarakat yang hendak pergi ke sekolah atau tempat kerja. Tujuan utama saya yaitu mencari keberadaan Stasiun Sukoharjo. Saya menuju Sukoharjo via Grogol, kemudian lurus ke selatan menuju Pasar Sukoharjo. Awalnya saya agak susah menemukan lokasi stasiun karena banyak gang kecil di sekitar pasar dan tidak adanya plang penunjuk stasiun dari jalan raya seperti kebanyakan stasiun saat ini. Kebetulan saya bertemu seorang ibu yang sedang menunggu angkot ditepi jalan dan menanyakan lokasi stasiun kepada ibu tersebut. Secara singkat ibu tersebut menunjukkan arah jalan menuju stasiun. Berbekal informasi yang saya peroleh, saya pun bergegas melanjutkan perncarian.
            Tidak jauh dari lokasi Pasar Sukoharjo, saya berjalanan ke arah gang kecil yang berada di kiri jalan. Kemudian saya masuk kurang lebih 50 meter dari jalan raya. Tak lama saya melihat bangunan tua khas bangunan stasiun yang masih nampak bagus. Dan benar saja, disanalah Stasiun Sukoharjo berdiri.

Stasiun Sukoharjo

            Stasiun Sukoharjo terletak di Kecamatan Sukoharjo. Stasiun ini berdiri di ketinggian 98 meter diatas permukaan air laut. Dahulu stasiun ini hanya disinggahi oleh kereta api feeder yang memiliki rute hingga Wonogiri, akan tetapi kereta tersebut kini sudah lama tidak beroperasi karena ada wacana akan digantikan dengan kereta perintis railbus. Sekarang kondisi stasiun nampak sepi, tak ada aktivitas yang berarti di sekitar stasiun. Meskipun demikian, stasiun ini masih nampak masih bagus dan terawat.
            Dari Stasiun Sukoharjo perjalanan saya lanjutkan mencari lokasi Halte Gayam. Perlu diketahui bahwa dari Stasiun Sukoharjo hingga Stasiun Pasar Nguter terdapat empat halte, yaitu: Halte Gayam, Halte Kepuh, Halte Songgorunggi, dan Halte Nguter. Perjalanan saya lanjutkan ke selatan menuju Desa Gayam. Lokasi Desa Gayam sendiri tidaklah jauh dari Stasiun Sukoharjo. Saya berjalan menyusuri jalanan kampung yang tepat berada di samping jalur kereta api. Sempat saya bolak-balik beberapa kali untuk menemukan bangunan halte tapi saya tidak juga menemukannya. Saya sempat berfikir bahwa mungkin bangunan Halte Gayam sudah rusak atau sudah di bongkar. Beberapa orang yang berada disana saya tanyai tentang lokasi halte, akan tetapi mereka tidak mengetahuinya.
            Hampir putus asa mencari lokasi Halte Gayam, akhirnya saya bertemu dengan seorang kakek yang usianya kemungkinan sudah 80 tahun sedang menyapu halaman rumahnya. Saya berhenti dan menanyakan informasi mengenai Halte Gayam dengan harapan kakek tersebut memiliki informasi yang saya cari. Ternyata saya bertemu dengan orang yang tepat, kakek tersebut adalah saksi hidup dari keberadaan Halte Gayam.
            Dengan bahasa yang tertatih-tatih kakek tersebut menjelaskan lokasi Halte Gayam kepada saya. “Halte Gayam itu tidak ada bangunannya Mas, bahkan pondasi atau lantai pun tidak ada”. Jelas kakek tersebut sambil memandangi jalur kereta di samping kami. Beliau menjelaskan bahwa tidak semua halte memiliki bangunan. “Halte itu zaman dahulu digunakan warga untuk berkumpul menanti kedatangan kereta, memang ada yang memiliki bangunan tetapi tidak semuanya”. Jelas sang kakek.
            Selain menjelaskan mengenai Halte Gayam, beliau juga menjelaskan beberapa halte yang ada di Solo. Beliaupun juga tahu bahwa jalur kereta yang ada di samping rumahnya itu di bangun oleh NIS yang merupakan perusahaan kereta api milik Hindia Belanda. Tak hanya itu beliau juga tahu kepanjangan NIS, sejarah NIS, dan siapa nama pimpinan NIS kala itu. Sungguh luar biasa ingatan kakek ini.
            Kemudian beliau memberitahu saya lokasi Halte Gayam pada zaman dahulu. Lokasinya tepat berada di belakang masjid kampung yang tidak jauh dari lokasi rumah sang kakek. Beliau juga menyarankan saya untuk mengikuti jalanan kampung yang berada disamping rel untuk memudahkan saya menemukan lokasi halte. Setelah bercerita panjang lebar, akhirnya saya berpamitan kepada sang kakek dan mencari lokasi keberadaan Halte Gayam. Tak lama, akhirnya saya tiba di sebuah lokasi seperti yang ditunjukkan oleh kakek tersebut. Lokasinya tepat berada di belakang masjid kampung, akan tetapi lokasinya sekarang sudah dijadikan warga sebagai tempat membuang sampah, sehingga area tersebut nampak kotor dan kumuh.

Perkiraan Lokasi Halte Gayam

  
Dari Desa Gayam, perjalanan pun saya lanjutkan menuju Desa Kepuh yang berada di Kecamatan Nguter untuk mencari keberadaan lokasi Halte Kepuh. Sepuluh menit dari Gayam, akhirnya saya tiba di Desa Kepuh. Menurut informasi yang saya dapatkan lokasi Halte Kepuh berada di sekitar kantor Bank BRI cabang Kepuh. Saya pun menemukan gang kecil disekitar area Bank BRI, dan mencoba masuk kedalam gang tersebut. Sebelum masuk gang saya sempat bertemu dengan seorang kakek yang sedang duduk disamping rumah dan menanyakan apakah benar Halte Kepuh berada di gang tersebut. Kakek tersebut mengiyakan pertanyaan saya. Lokasi Halte Kepuh sendiri hampir tidak terlihat dari jalan raya karena tertutup dengan perumahan warga dan hampir menyerupai pemukiman warga. Hanya pagar kawat berduri yang menjadi penanda bahwa bangunan itu adalah sebuah halte.

Halte Kepuh

            Dilihat dari bentuk fisik bangunannya, halte ini memiliki bentuk bangunan seperti Halte Kalisamin. Bangunannya sendiri masih tampak terawat dengan adanya kursi tunggu penumpang yang masih utuh. Ruang penjualan loket dan papan nama halte pun juga masih nampak jelas. Kini bangunan halte nampak sepi senasib dengan sepinya jalur kereta yang ada di sampingnya.

 Emplasemen Halte Kepuh

            Puas berada di Halte Kepuh, perjalanan saya lanjutkan menuju Desa Songgorunggi. Lokasinya tidak begitu jauh dari Desa Kepuh. Sesampainya disana terlihat beberapa pekerja sedang melakukan perbaikan rel kereta api yang rencananya akan di gunakan lagi untuk kereta perintis. Saya sempat bertanya kepada beberapa warga sekitar mengenai keberadaan Halte Songgorunggi, akan tetapi semuanya tidak mengetahui keberadaan halte yang saya cari. Sempat juga bertanya kepada beberapa pekerja proyek rel kereta tetapi mereka juga tidak mengetahuinya.
Sempat hampir berputus asa karena tak kunjung menemukan orang yang bisa memberikan informasi mengenai keberadaan Halte Songgorunggi, akhirnya tak jauh dari perlintasan kereta api saya bertemu dengan seorang kakek yang berada di halaman rumahnya. Saya menanyakan lokasi Halte Songgorunggi kepadanya. “Lokasinya dulu disitu mas, dibelakang rumah bagus itu tetapi bangunannya sudah lama rusak jadi sudah gak ada bekasnya”. Terang kakek tersebut. Berdasarkan informasi tersebut saya kemudian menuju ke lokasi yang ditunjukkan oleh sang kakek. Benar saja, dilokasi yang ditunjukkan kakek tersebut saya sudah tidak menjumpai bekas bangunan halte. Bangunan halte mungkin sudah raib karena telah dirubuhkan seperti yang diceritakan oleh sang kakek tadi.

Perkiraan Lokasi Halte Songgorunggi

Dari Desa Songgorunggi perjalanan saya lanjutkan menuju Desa Nguter yang berada di Kecamatan Nguter Sukoharjo. Sempat bertemu dengan beberapa orang warga, saya menanyakan mengenai keberadaan Halte Nguter. Dari semua orang yang saya tanyai tentang keberadaan Halte Nguter, mereka semua tidak tahu dan hanya menjawab mengenai Stasiun Pasar Nguter. Hipotesa saya mungkin Halte Nguter sama dengan Halte Gayam yang tidak memiliki bangunan halte mengingat lokasinya yang dekat dengan Stasiun Pasar Nguter. Perjalananpun saya lanjutkan menuju Stasiun Pasar Nguter.
Setibanya di Stasiun Pasar Nguter, saya bertemu dengan kepala Stasiun Pasar Nguter dan satu orang pegawai yang kebetulan juga berada disana. Sayapun menanyakan mengenai keberadaan Halte Nguter apakah memang ada dulunya, karena menurut beberapa referensi yang saya dapatkan sebelum Stasiun Pasar Nguter dulunya berdiri Halte Nguter. Kepala stasiun menjelaskan bahwa dia tidak pernah mendengar mengenai Halte Nguter, yang ada hanyalah Stasiun Pasar Nguter. Selain itu saya juga menanyakan mengenai keberadaan Halte Kalikatir yang menjadi tujuan saya berikutnya. Beliau pun juga menjawab hal yang sama, bahwa Halte Kalikatir itu tidak ada yang ada hanyalah Halte Tekaran yang ada di wilayah Wonogiri.


Stasiun Pasar Nguter

Berhubung hari semakin siang, perjalanan saya lanjutkan menuju ke Kecamatan Selogiri Wonogiri untuk mencari lokasi Halte Kalikatir dan Halte Tekaran. Sepanjang perjalanan menuju Wonogiri, rel kereta api berjarak lumayan dekat dengan jalan raya. Saya pun berjalan sembari mengamati posisi rel dengan harapan menemukan halte yang saya cari. Sampai di Desa Kalikajar Wonogiri saya belum bisa menemukan lokasi Halte Kalikatir. Dalam pemikiran saya ada dua hal mengenai Halte Kalikatir. Pertama halte tersebut tidak memiliki bangunan dan yang kedua bangunan halte telah rusak.
Berhubung sudah sampai di Desa Kalikajar, sayapun bergegas mencari lokasi Halte Tekaran yang menurut informasi yang saya dapatkan bangunannya masih ada. Saya masuk kesebuah gang yang berada di sebelah kiri jalan raya didepan terminal hingga sampai di Balai Desa Gemantar. Dari balai desa tersebut saya terus berjalan hingga tiba di SD 2 Tekaran yang letaknya di samping sebuah masjid. Kemudian saya ambil jalan kekiri menuju ke pematang sawah. Tak lama bangunan halte pun semakin terlihat dan saya sempatkan untuk singgah sejenak di bangunan halte tersebut.

Halte Tekaran

Dilihat dari fisik bangunannya, halte ini mirip dengan Halte Kronelan dengan atap yang sama-sama terbuat dari seng. Ukurannya pun juga cukup besar jika dibandingkan dengan Halte Kepuh atau Halte Kalisamin. Kondisi bangunannya cukup memprihatinkan dengan beberapa atap yang sudah hilang. Papan kayu yang berfungsi sebagai dinding pun juga sudah tidak lengkap.
Berhubung hari sudah semakin siang, akhirnya perjalanan kali ini saya akhiri di Halte Tekaran. Blusukan saya ke Stasiun Wonogiri akan saya bahas dalam tulisan saya dengan judul terpisah yang akan membahas mengenai jalur kereta api Wonogiri – Baturetno. Sekitar pukul setengah sebelas siang saya meninggalkan Desa Tekaran menuju Solo. Tepat pukul satu siang saya tiba di Solo dengan masih menyisakan beberapa misteri yang belum terpecahkan.

 ________________________________
artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
-------------------------------------------------
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA: @primautama 














9 komentar:

  1. terimakasih mas atas kesediaannya membaca tulisan ini

    BalasHapus
  2. Bikin video juga mas, menyusuri relnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau video terlalu besar size nya, lagian jalur ini juga masih bagus seperti jalur yang lain

      Hapus
    2. jalur kereta api solo-wonogiri akhirnya dihidupkan kembali setelah tahun 2011 dihentikan pengoperasiannya, dan hari ini, Rabu 11 maret 2015 adalah perjalanan perdana railbus jurusan solo-wonogiri tersebut

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. jalur kereta api solo-wonogiri akhirnya dihidupkan kembali setelah tahun 2011 dihentikan pengoperasiannya, dan hari ini, Rabu 11 maret 2015 adalah perjalanan perdana railbus jurusan solo-wonogiri tersebut

    BalasHapus
    Balasan
    1. yap benar sekali, tapi kalau hari rabu masih diperuntukkan bagi tamu undangan untuk penumpangnya karena bertepatan dengan hari peluncurannya. kalau operasional komersil perdana untuk umum hari kamis tgl 12 maret dan kebetulan saya adalah salah satu enumpang perdananya. hehehe

      Hapus
  5. Wah sangat lengkap ulasannya sampai sejarahnya juga..
    kebetulan lagi pengen naik, terima kasih sangat membantu

    Salam
    Bunda Umar
    Cream Sari
    Cream Anisa
    Cream Adha

    BalasHapus